
Dear Pak Jokowi, Ini APBN Ending-nya Mau Kayak Gimana?

Semua harus menerima, pemulihan ekonomi ternyata lesu di tengah tahun. Masih bergerak pulih, tapi ya tidak secepat dibayangkan. Hal ini akhirnya akan berpengaruh besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Undang-undang (UU) no. 2 tahun 2020 menentukan batas defisit anggaran harus kembali ke bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2023 mendatang. Hanya tersisa kurang dari dua tahun lagi.
Penurunan defisit tidak bisa dadakan seperti jualan tahu bulat. Ini harus dilakukan secara gradual sehingga terhindar dari goncangan atau efek negatif terhadap perekonomian. Sederhananya, duit bantuan ratusan triliun yang kini ada bakal dihapus nanti.
Makanya pemerintah menyusun skenario. Tahun ini defisit anggaran 5,7% dan pada 2022 diperkirakan 4,51-4,85%. Kemudian 2023 akan turun menjadi 2,71-2,97%. Selanjutnya pada 2024 defisit akan dijaga pada kisaran yang hampir sama.
Sementara itu pendapatan negara pada 2022 ditargetkan tumbuh 10,18-10,44%. Pada 2023 diproyeksikan tumbuh 10,19-10,89% dan 2024 nantinya diharapkan bisa di atas 11%.
Belanja negara turun drastis dengan pertumbuhan 14,69-15,30% pada 2022 menjadi 12,90-13,86% pada tahun berikutnya. Asumsi tersebut dengan pertimbangan perekonomian di 2023 cukup resilien untuk menahan dampak dari turunnya belanja negara.
"Di 2023 untuk kembali defisit dibawah 3% agak kurang realistis dengan PPKM darurat ini," ungkap Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia.
David menyarankan agar pemerintah memperpanjang hingga 2025 mendatang. "Karena agak sulit, kalau defisit dikurangin, artinya kan ekonomi direm mendadak. Padahal di masa pemulihan daya dorong datang dari APBN," terangnya.
Dari perpanjangan tersebut, maka pemerintah tetap bisa menarik utang baru sekitar Rp 1.000 triliun setiap tahunnya demi mencukupi dana belanja yang mencapai Rp 700-800 triliun untuk pemulihan ekonomi.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga melihat hal yang senada. Hanya saja pemerintah harus membangun komunikasi yang baik dengan investor dan lembaga pemeringkat internasional. Sebab bisa berakibat pada penurunan peringkat utang Indonesia.
"Ini akan berdampak (negatif) ke pasar keuangan, bisa ke rupiah, obligasi. Meskipun tidak akan seburuk seperti 2013," terangnya.
(mij/dru)[Gambas:Video CNBC]