Ganasnya Covid Kuras APBN, Batas Defisit Bakal Diperlonggar?

Jakarta, CNBC Indonesia - Berdasarkan data Worldometers sampai dengan Jumat, 30 Juli 2021, Indonesia menempati posisi ketiga dalam jumlah penambahan kasus harian corona terbanyak di dunia.
Adapun jumlah pasien yang terinfeksi Covid-19 di Indonesia bertambah 43479 orang hingga Kamis (29/7/2021). Penambahan pasien itu menyebabkan kasus Covid-19 di Indonesia kini mencapai 3.331.206 orang.
Dari jumlah tersebut, ada tambahan 1.893 orang meninggal sehingga total menjadi 90.552 jiwa meninggal dunia. Kemudian, ada tambahan 45.494 orang yang sembuh sehingga total menjadi 2.686.170 orang lainnya dinyatakan sembuh.
Baru-baru ini, Bloomberg merilis hasil analisis daftar negara dengan ketahanan Covid-19 terbaik dan terburuk periode Juli 2021. Indonesia sayangnya berada di posisi 53 atau posisi terbelakang dari survei ini dengan nilai 40,2. RI dianggap masih berkutat dengan tingginya angka kematian, rendahnya vaksinasi, dan ketatnya pembatasan aktivitas masyarakat.
Melihat masih tingginya ketidakpastian dan angka penularan covid-19 terus meluas, pemerintah mengaku bahwa akan terus memantau dan mengkalibrasi APBN 2021 dan RAPBN 2022 untuk bisa memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
"Pada saatnya, Presiden atau Menkeu akan menyampaikan strategi untuk menahkodai APBN agar tetap memenuhi ketentuan perundang-undangan," ujar Direktur Jenderal Anggaran Isa Rachmatawarta kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/2021).
Sebelumnya, Kepala Ekonom BCA David Sumual dan Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menyarankan agar pemerintah bisa melakukan revisi target agar defisit APBN 3% bisa diperpanjang hingga 2024-2025.
Pasalnya jika pemerintah memaksakan untuk memenuhi target defisit APBN 3% pada 2023, akan semakin memperburuk situasi ekonomi Indonesia ke depannya. Guna menghindari masalah sosial kepada masyarakat dan dunia usaha yang terkena imbas dari pandemi Covid-19.
Di sisi lain, jika defisit APBN 3% diperpanjang hingga lebih dari 2023, maka akan timbul kekhawatiran peringkat investasi di dalam negeri akan diturunkan oleh lembaga rating dunia.
"Paling cepet diperpanjang hingga 2024-2025. Kalau rem mendadak itu khawatir. Dengan diperpanjang ini justru bisa menghindari masalah sosial, karena insentif-insentif pemerintah gak langsung dicabut," jelas David kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/2021).
Terpenting menurut David dan Josua adalah pemerintah harus terus mengkomunikasikan situasi Indonesia saat ini. Pemerintah diharapkan untuk segera melakukan komunikasi dengan DPR dan para lembaga pemeringkat rating seperti S&P Ratings, Moody's, dan lain sebagainya.
Pemerintah bisa dengan menyampaikan bahwa manajemen fiskal dilakukan secara prudent. Defisit fiskal memang membengkak, tapi jika dibandingkan dengan negara lainnya, Indonesia lebih moderat.
Ketidakpastian yang masih terus terjadi ini, perlu selalu dikomunikasikan oleh pemerintah, baik kepada lembaga rating dan investor. Toh, pemerintah pun sudah melakukan reformasi struktural, aturan hukum undang-undang cipta kerja sudah sudah mulai berjalan.
"Kalau assessment lembaga rating turun satu notes tidak sampai membuat pasar panik. Sementara kalau di atas satu notes, akan berdampak ke pasar keuangan, bisa ke rupiah, obligasi, saham," jelas Josua kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/2021).
Kendati demikian, Josua memastikan bahwa jika pasar keuangan Indonesia bergejolak, maka tidak akan separah seperti taper tantrum pada 2013, karena saat ini kepemilikan asing SBN hanya berkisar 22% - 23%. "SBN kita saat ini sudah didominasi domestik. Jadi meskipun bergejolak tidak akan seburuk seperti 2013."
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Skenario Sri Mulyani: Defisit Anggaran Balik ke 2,71% di 2023
