Tangani Skenario Terburuk Covid, Menkeu Diminta Lakukan Ini!

Jakarta, CNBC Indonesia - Lonjakan penularan kasus positif Covid-19 masih menyentuh angka tertingginya, Senin (13/7/2021) kemarin angka kasus positif baru di Indonesia bertambah 40.427 orang.
Pemerintah pun telah mengambil ancang-ancang untuk memperpanjang pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat hingga 6 minggu. Lantas, akankah pemerintah akan memperpanjang juga masa pelebaran defisit APBN di atas 3%?
Badan Anggaran (Banggar) DPR sebenarnya juga sudah mendukung penuh pemerintah agar bisa menyusun skenario terburuk untuk APBN 2021 maupun RAPBN 2022. Kendati demikian, sampai saat ini pemerintah masih berlindung di bawah Undang-Undang No.2 Tahun 2020, untuk mengembalikan defisit APBN di bawah 3% pada 2023.
Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengungkapkan situasi saat ini, memang fiskal mengalami dilema, sementara pandemi Covid-19 juga belum bisa dipastikan kapan akan berakhir.
Sampai saat ini, defisit fiskal Indonesia, kata Myrdal masih relatif rendah, Kemenkeu memproyeksikan outlook defisit APBN 2021 hanya akan sebesar Rp 939,6 triliun, secara persentase sebesar 5,7% dari PDB. Namun outlook tersebut masih lebih rendah dari target yang dipatok sebesar Rp 1.006,4 triliun.
"Problematikanya adalah spending pemerintah untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga masih relatif lambat, terutama untuk sektor kesehatan yang notabene merupakan sektor paling penting untuk digerakan dan untuk dibelanjakan," jelas Myrdal dalam program Squawk Box CNBC Indonesia TV, Selasa (13/7/2021).
Padahal klaster kesehatan merupakan klaster yang harus bisa lekas pulih, vaksinasi bisa berjalan merata dan cepat, sehingga tercipta herd immunity yang pada akhirnya pelaku ekonomi bisa dengan leluasa untuk beraktivitas secara normal.
Myrdal khawatir kondisi kesehatan yang berlarut-larut ini akan mengganggu aktivitas perekonomian, dan membuat aktivitas ke depan secara keseluruhan menjadi terganggu.
Situasi fiskal Indonesia saat ini, dimana target pemerintah untuk mempertahankan defisit APBN 2021 5,7% dari PDB, di tengah penerimaan negara terutama perpajakan masih sulit untuk melakukan intensifikasi. Namun di sisi lain, belanja mau tidak mau harus terus digenjot terutama untuk program PEN dan belanja rutin lainnya.
"Sehingga memang untuk saat ini masih relatif aman. Tapi, ke depan kalau kondisi covid terus berlarut dan belum terselesaikan masalah ini, mau tidak mau terulang lagi situasi dimana pemerintah harus melakukan penerbitan atau rilis seperti UU 2 Tahun 2020."
"Dimana ketentuan posisi defisit fiskal yang lebih fleksibel lagi, ke depannya kami melihat ada relaksasi fiskal lagi," jelas Myrdal.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal juga mengungkapkan hal yang sama. Menurut dia defisit APBN harus dibuat lebih lebar jika pemerintah mau menerapkan PPKM Darurat selama 6 minggu.
"Defisit harus dibuat lebih lebar, cuma masalahnya dari pengumuman Kemenkeu dengan PPKM Darurat itu belum menangkap atau belum bisa menunjukkan respon yang terbaik dengan PPKM Darurat ini," jelas Fithra saat dihubungi terpisah.
Seharusnya, dana pemulihan ekonomi (PEN), kata Fithra bisa ditambah sebanyak Rp 13 triliun sampai Rp 15 triliun.
"Kalau diperpanjang ya perlu ada tambahan lagi (dana PEN), karena perlu untuk memberikan semacam topangan bagi sektor-sektor yg paling berat. Kalau gak ditopang, itu akan ada lay off, harus ada subsidi tenaga kerja, operasional listrik harus dibayarkan. Masyarakat kelas menengah bawah, juga harus ditambah bansosnya," kata Fithra melanjutkan.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ganasnya Covid Kuras APBN, Batas Defisit Bakal Diperlonggar?