Banyak Negara Beri Sanksi Myanmar, Investor Bisa Kabur nih

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 February 2021 15:10
Myanmar
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi kudeta militer di Myanmar akhirnya membuat AS turun tangan. Presiden ke-46 Negeri Adikuasa itu Joe Biden memutuskan untuk memberi sanksi kepada pihak ada dibalik aksi penculikan pemimpin Partai Liga Demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi.

Sementara Biden tidak merinci siapa yang akan terkena sanksi baru, Washington kemungkinan akan menargetkan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing dan jenderal papan atas lainnya.

Sebagai informasi, para jenderal tersebut sudah berada di bawah sanksi AS yang diberlakukan pada tahun 2019 atas pelanggaran terhadap Muslim Rohingya dan hak asasi manusia kelompok minoritas lainnya.

Melansir Reuters, AS kemungkinan juga menyasar Myanmar Economic Holdings Limited dan Myanmar Economic Corp, perusahaan induk militer dengan investasi yang mencakup berbagai sektor termasuk perbankan, permata, tembaga, telekomunikasi, dan pakaian.

Aksi kudeta ini ditempuh dengan dalih untuk menjaga stabilitas negara. Karena pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang tidak beres bulan November lalu. Menurut lembaga pemantau internasional, pemilu 2020 merupakan pemilu demokratis kedua Myanmar sejak 2011, setelah berada dalam cengkeraman militer selama 49 tahun.

Dalam pemilu tersebut partai Nasional Liga Demokrasi (NLD) memenangkan mayoritas suara atau sebesar 83%. Namun pihak militer mengeluhkan bahwa pelaksanaan pemilu penuh dengan kecurangan. Pihak militer mengklaim ada penipuan sebanyak 10 juta pemilih.

Selain AS, Inggris juga akan mengenakan sanksi untuk militer Myanmar. Pekan lalu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengutuk kudeta di Myanmar yang melakukan penangkapan terhadap Suu Kyi, Win Myint, bersama dengan petinggi partai NLD lainnya.

Tahun lalu Inggris juga sempat mengumumkan sanksi yang menargetkan dua jenderal Myanmar atas perlakuan terhadap kaum Rohingya, minoritas Muslim yang teraniaya.

Tidak hanya AS dan Inggris yang mengutuk aksi kudeta tersebut. Australia dan Selandia Baru juga memprotes keras. Bahkan Selandia Baru memilih untuk memutus kontrak tingkat tinggi dengan Myanmar dan memberlakukan larangan perjalanan pada para pemimpin militer.

Dengan adanya aksi kudeta ini, prospek perekonomian Myanmar yang cerah kini dibayangi oleh kabut yang kelam. Perekonomian Myanmar yang menjadi lebih demokratis disambut baik oleh publik internasional.

Transformasi dari pemerintahan militer ke demokrasi membuat Aung San Suu Kyi naik ke tampuk kekuasaan dari tahanan rumah pada tahun 2015 dan berimplikasi pada pencabutan sanksi AS.

Hal tersebut berdampak pada adanya aliran modal asing yang masuk ke negara tersebut. Myanmar digadang-gadang bakal menjadi salah satu motor penggerak perekonomian regional Asia Tenggara. 

Reuters melaporkan lima tahun lalu, Myanmar menjadi daya tarik yang besar bagi investor global terutama Asia. 

Telenor dari Norwegia dan Ooredoo dari Qatar meraup kontrak untuk memasang jaringan seluler pada tahun 2013. Beberapa tahun kemudian, Kirin dari Jepang merogoh uang senilai US$ 560 juta untuk membeli saham mayoritas di pabrik bir terbesar di negara itu.

Menurut Bank Dunia, investasi asing langsung ke Myanmar antara 2010 dan 2019 mencapai US$ 37 miliar, naik 40% dari dekade sebelumnya. Baru-baru ini pada bulan Desember, perusahaan investasi CVC Capital setuju untuk membeli perusahaan menara telekomunikasi terbesar di Myanmar.

Ketika Myanmar kewalahan dilanda Covid-19 tahun lalu, modal asing masih terus mengalir deras ke Myanmar. Bahkan total realisasi investasi mencapai 98% dari target. Hanya meleset 2% saja. 

Para investor yang tertarik dengan Myanmar tidak hanya berasal dari Jepang dan Eropa saja, tetapi juga dari Indonesia. Perusahaan obat raksasa nasional yaitu PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) juga mendirikan pabrik di Myanmar. 

Myanmar saat ini tengah merampungkan pembangunan pabrik obat Mixagrip di negara Pagoda Merah. Namun menurut pihak manajemen, kejadian force majeure ini tak akan berdampak signifikan bagi rencana operasional dan komersialisasi pabrik yang merogoh kocek senilai Rp 200 miliar tersebut. 

KLBF mantap dan optimis pabrik tersebut mampu meningkatkan distribusi berbagai produk obat perusahaan ke Myanmar. Bahkan perusahaan yang juga tengah mengembangkan vaksin Covid-19 ini menargetkan pabrik obat over the counter (OTC)-nya dapat beroperasi secara komersil di kuartal terakhir tahun ini. 

Selain KLBF, perusahaan Indonesia yang juga beroperasi di Myanmar adalah perusahaan unggas PT Japfa Comfeed Myanmar (JCMA). Belum ada kabar resmi terkait kondisi operasional JCMA di Myanmar di tengah adanya kudeta militer seperti sekarang.

Peristiwa pendudukan militer ini kembali mencoret citra Myamnar di dunia internasional. Hal ini tentu saja membuat para investor yang hendak menanamkan modalnya ke negara yang berpenduduk 50 juta jiwa tersebut menjadi urung. Padahal sebelumnya Burma sudah mulai kebanjiran aliran modal asing.

Proyek investasi strategis di sektor energi di Myanmar pun ikut terancam. Pengurangan investasi energi bisa saja melanda, terutama dari negara-negara yang pro terhadap demokrasi Myanmar seperti Jepang, AS dan Australia.

Pasalnya negara-negara tersebut meningkatkan investasi saat Myanmar lepas dari jeratan militer ke pemerintahan sipil 10 tahun lalu. 

"Militer sekarang memiliki cengkeraman yang kuat di negara itu, tapi tetap akan ada risiko kerusuhan sosial yang signifikan," kata Kepala Praktik Grup Eurasia untuk Asia Tenggara dan Selatan, Peter Mumford, dikutip dari S&P Global.

"Sanksi tambahan oleh AS atau negara-negara Barat dapat diterapkan, terutama jika militer menindak keras pendemo."

Ini akan menjadi masalah bagi negara itu. Perusahaan barat yang ada di Myanmar pasti akan melakukan upaya tertentu untuk menjauhi sanksi yang diberikan. Investor energi besar seperti Jepang misalnya yaitu Puma Energy akan terus memperhatikan kelanjutan kudeta.

"Kami menyadari perkembangan di Myanmar dan memantau situasi dengan hati-hati," kata juru bicara Puma Energy, yang mengoperasikan terminal impor produk minyak bumi terbesar di Myanmar.

"Prioritas utama kami di Puma Energy adalah keselamatan dan keamanan kolega kami selama periode ketidakpastian ini."

Mereka menyebut telah menghentikan sementara operasi pengangkutan minyak. Bukan hanya karena corona (Ccovid-19), mereka juga bersiaga atas apa yang akan terjadi di negeri Burma itu.

Seorang pejabat Marubeni, yang mewakili konsorsium Jepang dengan Sumitomo dan Mitsui yang mengerjakan proyek LNG-to-power di Thilawa juga mengatakan perusahaan sedang mengumpulkan informasi dan memantau situasi. Namun sayangnya mereka menolak menjelaskan lebih lanjut.

Myanmar sendiri memiliki lading gas Yadana. Di sana terdapat sejumlah kontraktor migas barat beroperasi seperti Total Perancis dengan mitra Chevron. Petronas Malaysia juga memilik operasi di sana termasuk POSCO Korea Selatan. Investor lainnya adalah Nippon Oil Jepang, Kogas dan ONGC dan GAIL India.

Proyek lepas pantai utama lainnya yang sedang dikembangkan adalah ladang Shwe Yee Htun di Blok A-6, di mana Woodside Australia adalah operatornya. Mitra termasuk Total dan MPRL E&P India.

Gejolak politik di Myanmar akan menjadi pukulan telak bagi perekonomiannya. Investor yang belum masuk ke Burma bisa saja urung, sementara yang sudah terlanjur akan kembali menimbang-nimbang apakahg perlu relokasi atau tidak. Maklum salah satu alasan investor mau menanamkan modalnya ke suatu negara adalah stabilitas ekonomi dan politiknya

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular