Jakarta, CNBC Indonesia - Penyaluran kredit perbankan pada Desember 2020 kembali tumbuh negatif alias terkontraksi. Ini membuat kontraksi pertumbuhan kredit terjadi selama empat bulan beruntun.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, nominal penyaluran kredit yang disalurkan perbankan pada Desember 2020 adalah Rp 5.482,5 triliun. Tumbuh 2,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Kontraksi penyaluran kredit perbankan sudah terjadi sejak September 2020. Lebih mengkhawatirkan, kian lama kontraksinya semakin dalam.
Berdasarkan jenisnya, seluruh kredit membukukan kontraksi. Paling dalam dialami Kredit Modal Kerja (KMK), bahkan kontraksinya semakin parah.
Sedangkan Kredit Investasi (KI) yang November 2020 masih tumbuh positif, sebulan kemudian minus. Sementara Kredit Konsumsi (KK) bernasib sama seperti KMK, kontraksinya semakin dalam.
 Sumber: BI |
Untuk KI, yang semula tumbuh positif menjadi negatif, penyebabnya adalah penyaluran ke sektor pertanian peternakan, kehutanan, dan perikanan. Pada November 2020, penyaluran kredit ke sektor ini sudah terkontraksi 0,5% YoY, tetapi bulan berikutnya lebih parah menjadi kontraksi 1,9% YoY.
"KI sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan mengalami kontraksi lebih dalam pada Desember 2020. Terutama karena kredit yang disalurkan untuk sub-sektor perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah," sebut laporan BI.
Kemudian untuk KMK, kontaksi yang lebih parah itu disebabkan oleh sektor industri pengolahan yang tumbuh -8,4% YoY pada Desember 2020. Memburuk dibandingkan sebulan sebelumnya yang -4%. Penurunan tersebut terutama terjadi di industri pupuk di Jawa Timur dan Sumatera Selatan.
Lalu KK, kontraksinya juga lebih dalam dari -0,2% YoY pada November 2020 menjadi -0,7% YoY pada bulan berikutnya. Ini disebabkan oleh penurunan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), dan kredit multiguna.
Perbankan masih menjadi pemain utama, urat nadi yang menyalurkan darah ke perekonomian. Menurut catatan Bank Dunia, 77,3% aset lembaga keuangan di Indonesia dikuasai oleh bank. Aset perbankan mencapai 55,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Peran perbankan begitu dominan. Jadi kala perbankan lesu menyalurkan darah (dalam hal ini likuiditas), maka ekonomi akan lemah lunglai. Oleh karena itu, kelesuan penyaluran kredit perbankan adalah gambaran lemahnya perekonomian secara keseluruhan.
Bank kerap menjadi sasaran tembak, disalahkan saat penyaluran kredit turun. Banyak yang bilang rendahnya penyaluran kredit karena perbankan mematok bunga yang terlalu tinggi sehingga membuat dunia usaha dan rumah tangga enggan meminjam.
Padahal, seiring penurunan suku bunga acuan, suku bunga kredit perbankan sudah turun. Sepanjang 2020, suku bunga KMK turun 87 basis poin (bps) secara point-to-point. Sementara suku bunga KI KK masing-masing berkurang 65 bps dan 28 bps.
Kali ini, biang keladi kelesuan penyaluran kredit adalah permintaan yang rendah. Ya, bukan perbankan yang pelit tetapi masyarakat memang yang tidak mau mengambil kredit.
Ini terlihat dari permintaan kredit baru yang digambarkan dengan Saldo Bersih Tertimbang (SBT). Rata-rata SBT untuk KMK sepanjang 2020 adalah 22,72%, jauh di bawah 2019 yang 65%. Ini juga terjadi untuk KI dan KK.
 Sumber: BI |
Baca: Kredit Seret Gara-gara Bunga Ketinggian? Nggak Juga Lho...
Penyebabnya apalagi kalau bukan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Penyebaran virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini telah menghancurkan perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Virus corona menyebar dengan sangat cepat. Per 31 Desember 2020, jumlah pasien positifc corona di Indonesia mencapai 743.198 orang. Sejak corona mulai mewabah pada 1 Maret 2020, rata-rata pasien baru bertambah 2.428 orang setiap harinya.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menerapkan kebijakan social distancing. Dalam kearifan lokal, namanya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku mulai akhir Maret 2020 seperti amanat Peraturan Presiden (PP) No 21/2020, belum dicabut.
Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:
1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Seperti halnya social distancing yang membuat ekonomi dunia rontok, PSBB juga membuat PDB Tanah Air menyusut. Pada kuartal I-2020, ekonomi Ibu Pertiwi masih bisa tumbuh 2,97%. Namun pada dua kuartal berikutnya, PDB terkontraksi masing-masing 5,52% dan 3,49%. Indonesia pun resmi masuk masa resesi karena PDB tumbuh negatif dua kuartal beruntun.
Di sektor riil, dampak pandemi virus corona sangat terasa. Bahkan menjadi yang terdepan merasakan dampak ketimbang sektor keuangan, karena social distancing membuat aktivitas dan mobilitas masyarakat berkurang drastis.
Aktivitas manufaktur yang diukur dari Purchasing Managers' Index (PMI) sempat berada di titik terendah sepanjang sejarah pada April 2020. Penjualan ritel yang mencerminkan daya beli masyarakat sebagai penopang perekonomian terus mengalami kontraksi. Begitu pula Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang masih berada di zona pesimistis di bawah 100.
Data PMI, penjualan ritel, dan IKK menggambarkan dunia usaha dan rumah tangga tidak melakukan ekspansi. Kalau tidak ada ekspansi, buat apa ambil kredit? Saat darah di perekonomian mampet, maka resesi tidak akan terhindarkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA