Nggak Sehat Ini, Kita Terlalu Bergantung ke China!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 December 2020 12:56
Bongkar Muat Pelabuhan Sunda Kelapa (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (AS), kerentanan ekonomi dunia terkuak. Perang dagang AS-China yang membuat seluruh dunia terluka membuat kita sadar bahwa struktur ekonomi planet ini tidak seimbang.

Trump mulai menjadi penunggu Gedung Putih pada Januari 2017. Pendekatan America First dan Make America Great Again membuat sang presiden ke-45 ini menerapkan kebijakan yang agresif.

Eks pembawa acara reality show The Apprentice itu melihat, bahwa defisit perdagangan AS terlalu dalam. Pada Januari 2017, defisit neraca perdagangan AS mencapai US$ 42,92 miliar. Dari jumlah tersebut, AS paling tekor saat berdagang dengan China.

Untuk mengerem defisit neraca perdagangan itu, Trump memberlakukan bea masuk terhadap ribuan produk impor asal China. Selain bertujuan membatasi impor, kebijakan itu juga bermaksud mendorong perusahaan-perusahaan untuk membangun basis produksi di AS, agar tidak harus membayar bea masuk.

China tentu tidak terima diperlakukan begitu rupa. Beijing membalas dengan kebijakan serupa, pengenaan bea masuk terhadap ribuan produk made in the USA.

Di sini terlihat bahwa yang terlibat perang dagang adalah AS dan China. Namun dampaknya dirasakan di seluruh dunia.

Pada 2017, ekonomi dunia masih bisa tumbuh 3,26%, tertinggi sejak 2010. Namun pada 2018, laju pertumbuhannya melambat jadi 3,04% dan 2019 turun lagi ke 2,48%.

Friksi AS-China yang dampaknya mengglobal semakin menunjukkan betapa timpangnya ekonomi dunia. AS dan China adalah pengendali dunia, AS sebagai konsumen dan China sebagai produsen. Saat keduanya terlibat friksi, ekonomi dunia jadi goyang.

Bagi AS, China adalah negara pemasok terbesar. Bagi China, AS adalah pasar terbesar. Bea masuk merusak dinamika tersebut.

Penerapan bea masuk membuat impor produk China oleh AS berkurang. Saat permintaan dari AS berkurang, dunia usaha di China tentu mengurangi kapasitas produksi sehingga membatasi pembelian bahan baku dari negara-negara lain (termasuk Indonesia). Volume perdagangan dan aktivitas ekonomi dunia menyusut, ekonomi pun melambat.

Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) semakin membuat kesenjangan terpampang nyata. Saat dunia sedang membutuhkan alat-alat kesehatan, lagi-lagi China yang jadi pemain utama.

Misalnya untuk kebutuhan perlindungan diri (masker, sarung tangan, pembersih tangan, pelindung wajah, dan sebagainya), China adalah eksportir terbesar dunia dengan pangsa 17,2% pada 2019. Jarak dengan Jerman di peringkat kedua cukup lebar.

Pepatah mengatakan, jangan menyimpan telur di satu keranjang. Jangan menggantungkan hidup kepada dari satu sumber, sebab kalau sumber itu sedang terganggu maka rusak semuanya.

Jalan paling ideal tentu membangun industri dalam negeri agar ketergantungan akan produk impor bisa ditekan. Namun membangun industri dalam negeri bukan perkara gampang, butuh waktu, tenaga, dan tentu saja biaya. Apalagi membangun industri perlu bahan baku, yang lagi-lagi harus diimpor.

Oleh karena itu, solusi yang rasanya paling masuk akal adalah membangun industri yang saling terintegrasi di satu kawasan. Misalnya di ASEAN, setiap negara bisa berkontrbusi untuk membangun industri bersama dengan menyumbang kelebihan masing-masing.

Contoh, negara-negara ASEAN tentu butuh pembersih tangan (hand sanitizer) saat situasi pandemi sedang menjadi-jadi. Indonesia dan Malaysia bisa menyediakan bahan baku yaitu minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Lokasi produksi silakan didiskusikan, yang jelas produknya adalah milik bangsa Asia Tenggara.

Untuk memperlancar pasokan hand sanitizer itu, negara-negara ASEAN perlu menyepakati perjanjian perdagangan bebas. Produk hand sanitizer bersama ini harus bebas bea masuk, agar bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dengan harga yang lebih terjangkau.

Perang dagang dan pandemi virus corona memberi pelajaran berharga. Sudah saatnya dunia berubah, sudah saatnya kemakmuran dirasakan dengan lebih merata. Jangan lagi ada satu-dua negara yang menjadi pemain besar dan menikmati segala keuntungan dari aktivitas ekonomi dunia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular