Selamat Datang Resesi, Please be Nice to Me...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2020 12:54
Ilustrasi pasar Cempaka Putih. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi pasar Cempaka Putih (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelesuan ekonomi Indonesia semakin lama semakin jelas terlihat. Kali ini yang memberi konfirmasi adalah data inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, terjadi inflasi -0,05% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada September 2020. Deflasi lagi, lagi-lagi deflasi.

Deflasi sudah terjadi selama tiga bulan beruntun. Artinya, kuartal III-2020 sepenuhnya diwarnai oleh deflasi. Kali terakhir Indonesia mengalami deflasi panjang adalah pada Maret-September 1999.

Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) pada September 2020 tercatat 1,42%, dan inflasi tahun kalender semakin jauh di bawah 1%, tepatnya 0,89%. Kemudian inflasi inti adalah 0,13% MtM dan 1,86% YoY. Inflasi inti secara YoY menyentuh titik terendah sejak 2004, sejak kali pertama BPS mencatat inflasi inti.

"Secara MtM, ada empat kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi. Makanan, minuman, dan tembakau -0,37%, pakaian dan alas kaki -0,01%, transportasi -0,33%, serta informasi, komunikasi, dan jasa keuangan -0,01%," kata Suhariyanto, Kepala BPS.

Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto, menambahkan bahwa fenomena deflasi disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah pasokan yang memadai sehingga tidak menimbulkan tekanan harga.

"Namun daya beli masyarakat juga rendah, sangat-sangat lemah. Ini ditunjukkan oleh inflasi inti yang terus menurun," ungkapnya.

Ya, inflasi inti memang kerap dipakai untuk mengukur kekuatan daya beli. Sebab komponen ini berisi pengeluaran yang harganya susah naik-turun alias persisten. Jadi kalau harga barang dan jasa yang persisten saja sampai bergerak turun, artinya dunia usaha sudah desperate, terpaksa menurunkan harga saking rendahnya permintaan.

Gambaran dunia usaha yang terpaksa mengalah dan menurunkan harga jual produknya sudah terlihat dari data yang dirilis pagi tadi. IHS Markit mencatat Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia pada September 2020 berada di angka 47,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50 berarti kontraksi, di atas 50 berarti ekspansi.

Penurunan pada September adalah yang pertama setelah PMI terus merangkak naik sejak April. Menurut IHS Markit, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang lebih ketat pada pertengahan September menjadi penyebabnya.

Penurunan permintaan membuat produksi kembali turun. Akibatnya, penciptaan lapangan kerja ikut berkurang. Bahkan laju Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin cepat.

Selain itu, dunia usaha juga mengurangi pembelian bahan baku sebagai upaya efisiensi. Laju penurunan pembelian bahan baku pada September bahkan menjadi yang tercepat dalam tujuh bulan terakhir.

Situasi yang sulit bahkan membuat dunia usaha sampai menurunkan harga jual produk demi mendongkrak penjualan. Ini membuat tekanan inflasi pada kuartal III-2020 sangat ringan, bahkan hampir tidak ada.

Melihat dua data ekonomi yang dirilis hari ini, sepertinya sudah terpampang nyata bahwa konsumsi masyarakat sedang 'sakit keras'. Padahal konsumsi adalah kontributor terbesar dalam pembentukan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dengan porsi lebih dari 50%.

growthBadan Pusat Statistik

Meski datanya belum diumumkan, tetapi kontraksi atau pertumbuhan negatif PDB pada kuartal III-2020 rasanya sudah terjadi. Proyeksi terbaru Kementerian Keuangan untuk pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 adalah -2,9% hingga -1%.

Pada kuartal sebelumnya, Indonesia membukukan kontraksi ekonomi 5,32%. Jadi PDB Tanah Air mengalami kontraksi dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi resesi.

Kembali lagi, data resmi memang baru diumumkan pada awal November mendatang. Namun sepertinya Indonesia sudah resmi masuk resesi, bergabung dengan banyak negara lainnya di dunia.

"Pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease-2019) menghantam dari dua sisi. Dari sisi supply dia terganggu karena adanya pembatasan aktivitas warga. Dari sisi demand, ada upaya menghambat penyebaran virus seperti dengan PSBB sehingga permintaan rendah," kata Kecuk.

So, resesi kali ini berbeda dengan krisis ekonomi 1997-1998 yang akrab dipanggil krisis moneter (krismon). Sekarang penyebabnya adalah penyebaran virus mematikan, yang membuat masyarakat harus menahan diri untuk beraktivitas seperti sedia kala.

Jadi sebelum urusan kesehatan dituntaskan, maka ekonomi harus mengalah dulu. Upaya yang bisa dilakukan paling mentok adalah buka-tutup. 'Keran' aktivitas bisa dibuka saat kasus corona menunjukkan perlambatan, dan ditutup lagi saat terjadi lonjakan. Buka-tutup, buka-tutup, gas-rem, gas-rem, ketat-kendur, ketat-kendur, begitu saja terus.

Oleh karena itu, kehadiran vaksin anti-virus corona begitu dinantikan oleh seluruh penduduk dunia. Vaksin bisa memberikan kekebalan tubuh sehingga mengenyahkan serangan virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Selama vaksin belum ada, maka sulit berharap hidup bisa normal seperti dulu. Berat memang, tetapi mau bagaimana lagi...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular