Trump vs Biden, Ini Isu Utama di Debat Perdana Pilpres AS

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
29 September 2020 20:50
INFOGRAFIS, Joe Biden Resmi Jadi Lawan Donald Trump
Foto: Infografis/Joe Biden Resmi Jadi Lawan Donald Trump/Edward Ricardo

Biden mampu menarik pemilih AS karena membawa solusi yang moderat. Dia tidak terlalu konservatif layaknya kaum republiken dan juga tidak terlalu sosialis seperti koleganya di Partai Demokrat yang sempat menjadi kandidat capres yakni Bernie Sanders.

"Kawan-kawan yang di posisi puncak itu [500 miliarder terkaya AS] bukanlah orang jahat. Namun kesenjangan ini melebar dan membuat kita terpisah," tutur Biden dalam diskusi di Brookings Institute pada 10 Mei 2018, mengomentari soal kesenjangan pendapatan di AS.

Program yang dibuatnya cenderung populis dan bakal menarik pasar besar pemilih AS, yakni warga menengah. Pasalnya, 52% warga dewasa AS merupakan kaum menengah dengan pendapatan per tahun sebesar Rp 600 juta-Rp 2 miliar.

Isu yang diserang Biden adalah isu perpajakan. Trump pada 2017 merilis Peraturan soal Lapangan Kerja dan Pemangkasan Pajak pada 2017. Salah satu klausulnya memutuskan pemangkasan pajak penghasilan (Pph) korporasi AS menjadi 21%, dari sebelumnya 35%.

Insentif pajak yang secara filosofis ditujukan untuk membuka lapangan kerja ini justru dinilai hanya menguntungkan segelintir kaum kaya. Apalagi, The New York Times melaporkan bahwa Trump ternyata hanya membayar Pph pribadi sebesar US$ 750 usai terpilih pada 2016.

Dengan diskon pajak, setoran pajak dari korporasi raksasa AS pun mengempis hingga US$ 260 miliar lebih dan pemerintah terpaksa menarik lebih banyak utang untuk membiayai anggaran Negara Adidaya. Banyak ekonom dan politisi yang menilai insentif pajak itu sebagai stimulus yang tak berguna.

Kini di tengah pandemi, Biden menawarkan pajak berkeadilan, yang dibungkus dalam jargon Rencana Pajak Progresif (Progressive Tax Plan). Klausul utamanya adalah: Pph pribadi kaum tajir melintir AS harus dipajaki lebih besar. Semakin kaya, semakin tinggi kewajiban pajak mereka.

Dalam tataran teknisnya, Biden berencana menaikkan kembali Pph pribadi menjadi 39,6% (dari sebelumnya 37%). Plus, mereka yang memiliki penghasilan lebih dari US$ 1 juta per tahun bakal dikenakan pajak pendapatan investasi dengan besaran yang sama seperti Pph pribadinya.

Di luar itu, Biden akan menaikkan Pph Badan menjadi 28%, alias mengoreksi kebijakan Trump yang mematok tarif 21%. Dalam estimasi Washington Post, Biden bakal mendulang pemasukan tambahan US$3,5 triliun-US$4 triliun dalam 10 tahun, yang separuh di antaranya bakal berasal dari 0,1% populasi AS yang memiliki penghasilan tertinggi di negara itu.

Cukup populis memang. Namun, harap diingat, meski polling sejauh ini berpihak pada Biden, pilpres AS berjalan dengan sistem elektoral yang dihitung per negara bagian, bukan pemungutan suara per kepala. Sejarah menunjukkan Trump memenangi pilpres 2016 karena memenangi suara elektoral, meski Hillary Clinton unggul hingga 2,8 juta suara.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular