Trump vs Biden, Ini Isu Utama di Debat Perdana Pilpres AS

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
29 September 2020 20:50
Pemilu di Amerika Serikat (AS)
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) mengawali rangkaian hajatan politik nasional besok pagi, Rabu (30/9/2020) waktu Indonesia, dengan dimulainya debat perdana calon presiden (capres). Kedua calon dinilai memiliki keunggulan masing-masing dalam isu pandemi dan ekonomi.

Tahun ini, negara dengan tradisi demokrasi tertua dunia tersebut bakal menggelar hajatan politik yang paling menegangkan karena berlangsung di tengah kepungan tiga sentimen negatif: pandemi Covid-19 yang terus menyebar, pelemahan ekonomi, dan protes rasisme skala besar.

Dunia juga bakal mencermati debat perdana di Ohio, Selasa pukul 21:00 waktu setempat (Rabu, pukul 08:00 WIB). Pasalnya, sang petahana adalah tokoh "semau gue" yang meneriakkan proteksionisme hingga berujung pada perang dagang dan pelemahan ekonomi sejak tahun lalu.

Mengutip CNBC International, para pemilih AS cenderung menyoroti tiga isu penting untuk diulas dalam debat yang akan diulas besok pagi yakni isu perbaikan ekonomi, pandemi, dan kesetaraan ras.

Saat ini, sebanyak 7 juta warga AS terjangkiti virus corona (strain terbaru), dengan 200.000 orang kehilangan nyawa, menurut data Worldometers. Dalam polling CNBC International dan Change Research di 3.000 titik pertarungan pilpres, 44% responden memiliki perhatian yang serius terhadap isu Covid-19, dan 21% di antaranya menilai agak serius.

Sebanyak 57% responden menyatakan khawatir Trump bakal merilis vaksin corona lebih cepat guna mendongkrak elektabilitasnya jelang pilpres. Ini sejalan dengan rekam pemberitaan Trump yang sempat memperkirakan bahwa vaksin bakal siap dibagikan ke masyarakat sebelum masa pencoblosan pada 3 November.

Isu rasialisme di kala pandemi semakin menjadi perhatian setelah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDCP) AS mempublikasikan riset bahwa warga kulit hitam AS 2,6 kali lebih berisiko tertular corona ketimbang warga kulit putih, sedangkan warga hispanik 2,8 kali lebih berpeluang tertular.

Untuk risiko kematian, CDCP memperkirakan warga kulit hitam 2,1 kali lebih berpeluang meninggal karena pandemi ini, sedangkan warga hispanik 1,1 kali lebih berisiko meninggal dibandingkan dengan warga kulit putih (anglo).

Terakhir, Isu ekonomi pun tidak kalah penting untuk disorot. Ekonomi AS pada kuartal kedua ambles 31,7% (disetahunkan) pada kuartal II-2020. Pemulihan kian kabur di tengah kenaikan kasus Covid-19.

Angka pengangguran memang anjlok menjadi 8,4% pada Juli, setelah sempat menyentuh 15% akibat pandemi. Namun, itu belum cukup untuk kembali ke level sebelum krisis finansial 2009 yang berada di kisaran 6%.

Pembatasan aktivitas sosial dan larangan kerumunan yang diberlakukan di berbagai negara bagian pun kian memperparah prospek perekonomian dan lapangan kerja AS.

Sejauh ini, Trump cenderung kurang popular dibandingkan penantangnya yang diusung Partai Demokrat, yakni Joe Biden. Polling Washington Post dan ABC News menunjukkan bahwa Biden sukses mencuri suara Trump di Pennsylvania, meraih 54% suara sementara Trump hanya 45%.

Pennsylvania ini terhitung penting dalam percaturan pilpres di AS karena negara bagian tersebut merupakan yang terpadat, dan terbukti menjadi kunci kemenangan Trump dalam pemilihan tahun 2016. Wilayah ini menyumbang 20 suara elektoral.

Sepanjang sejarah, Pennsylvania bersama Wisconsin dan Michigan dikenal sebagai kantong suara Partai Demokrat dalam enam pilpres sebelum tahun 2016, ketika negara bagian tersebut menjatuhkan pilihan mereka pada Trump.

Polling kedua media arus utama AS yang berlangsung 5 pekan jelang pemilihan itu menemukan bahwa 53% pemilih di Pennsylvania menyetujui pengelolaan ekonomi Trump, tetapi 57% tidak menyukai cara Trump menangani pandemi.

qSumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Menurut hasil polling, isu mengenai pandemi ini bakal lebih memengaruhi psikologi pemilih, ketimbang persoalan ekonomi. Secara total, peringkat persetujuan (approval rating) Trump di negara bagian itu hanya 43% yang positif, dan 55% negatif. Dari yang negatif, alias menolak, 49% di antaranya menyatakan menolak "dengan keras."

Jika ditelisik lebih jauh, Biden meraih kemenangan dibandingkan dengan Trump dari pemilih perempuan di Pennsylvania, termasuk juga para wisudawan yang baru lulus, serta pemilih pemula. Dari sisi gender, pemilih perempuan mendukung Biden dengan keunggulan 23 poin dibandingkan Trump. Ini tentu terkait dengan sikap Trump yang dinilai seksis.

Uniknya, mayoritas responden pendukung Trump menilai isu ekonomi adalah isu terpenting, dengan 47% memilih mendukung Trump karena itu. Sebanyak 22% responden menilai isu kriminalitas sebagai isu terpenting kedua, dan 3% menilai pandemi isu penting ketiga.

Artinya, daya tarik Trump dinilai masih berkhasiat jika bicara kebijakan ekonomi, termasuk perang dagang yang dilancarkan terhadap negara lain, khususnya China. Mereka meyakini ekonomi AS baik-baik saja. Di sisi lain, responden yang khawatir dengan isu Covid-19 lebih memilih Biden karena yakin sang kandidat lebih menjanjikan solusi atas pandemi.

Mayoritas responden yang menyatakan mendukung Biden atau setara 30% menilai isu pandemi adalah isu terpenting yang harus digarisbawahi, diikuti isu kesetaraan hak (rasialisme) sebanyak 21% dan isu kesehatan (19%).

Terkait dengan isu rasisme dan kesetaraan hak, separuh lebih responden di Pennsylvania mendukung protes Black Live Matters (BLM). Biden dinilai lebih bisa dipercayai untuk urusan ini, ketimbang Trump, dengan margin keunggulan 20 poin.

Biden mampu menarik pemilih AS karena membawa solusi yang moderat. Dia tidak terlalu konservatif layaknya kaum republiken dan juga tidak terlalu sosialis seperti koleganya di Partai Demokrat yang sempat menjadi kandidat capres yakni Bernie Sanders.

"Kawan-kawan yang di posisi puncak itu [500 miliarder terkaya AS] bukanlah orang jahat. Namun kesenjangan ini melebar dan membuat kita terpisah," tutur Biden dalam diskusi di Brookings Institute pada 10 Mei 2018, mengomentari soal kesenjangan pendapatan di AS.

Program yang dibuatnya cenderung populis dan bakal menarik pasar besar pemilih AS, yakni warga menengah. Pasalnya, 52% warga dewasa AS merupakan kaum menengah dengan pendapatan per tahun sebesar Rp 600 juta-Rp 2 miliar.

Isu yang diserang Biden adalah isu perpajakan. Trump pada 2017 merilis Peraturan soal Lapangan Kerja dan Pemangkasan Pajak pada 2017. Salah satu klausulnya memutuskan pemangkasan pajak penghasilan (Pph) korporasi AS menjadi 21%, dari sebelumnya 35%.

Insentif pajak yang secara filosofis ditujukan untuk membuka lapangan kerja ini justru dinilai hanya menguntungkan segelintir kaum kaya. Apalagi, The New York Times melaporkan bahwa Trump ternyata hanya membayar Pph pribadi sebesar US$ 750 usai terpilih pada 2016.

Dengan diskon pajak, setoran pajak dari korporasi raksasa AS pun mengempis hingga US$ 260 miliar lebih dan pemerintah terpaksa menarik lebih banyak utang untuk membiayai anggaran Negara Adidaya. Banyak ekonom dan politisi yang menilai insentif pajak itu sebagai stimulus yang tak berguna.

Kini di tengah pandemi, Biden menawarkan pajak berkeadilan, yang dibungkus dalam jargon Rencana Pajak Progresif (Progressive Tax Plan). Klausul utamanya adalah: Pph pribadi kaum tajir melintir AS harus dipajaki lebih besar. Semakin kaya, semakin tinggi kewajiban pajak mereka.

Dalam tataran teknisnya, Biden berencana menaikkan kembali Pph pribadi menjadi 39,6% (dari sebelumnya 37%). Plus, mereka yang memiliki penghasilan lebih dari US$ 1 juta per tahun bakal dikenakan pajak pendapatan investasi dengan besaran yang sama seperti Pph pribadinya.

Di luar itu, Biden akan menaikkan Pph Badan menjadi 28%, alias mengoreksi kebijakan Trump yang mematok tarif 21%. Dalam estimasi Washington Post, Biden bakal mendulang pemasukan tambahan US$3,5 triliun-US$4 triliun dalam 10 tahun, yang separuh di antaranya bakal berasal dari 0,1% populasi AS yang memiliki penghasilan tertinggi di negara itu.

Cukup populis memang. Namun, harap diingat, meski polling sejauh ini berpihak pada Biden, pilpres AS berjalan dengan sistem elektoral yang dihitung per negara bagian, bukan pemungutan suara per kepala. Sejarah menunjukkan Trump memenangi pilpres 2016 karena memenangi suara elektoral, meski Hillary Clinton unggul hingga 2,8 juta suara.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Unggul di Polling, Biden Menang Pilpres & Jadi Presiden AS?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular