(Katanya) Terancam Resesi, Seperti Apa Kondisi Ekonomi RI?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 August 2020 13:47
Suasana Mall Metropolitan, Bekasi Barat, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Suasana Mall Metropolitan, Bekasi Barat, Jawa Barat, Rabu (11/3/2020). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah mengubah kehidupan umat manusia. Miliaran orang terpaksa harus mengubah cara hidup akibat virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.

Indonesia juga merasakan ganasnya serangan virus corona. Per 27 Agustus 2020, jumlah pasien positif corona di Tanah Air mencapai 162.844 orang. Bertambah 2.719 orang (1,7%) dibandingkan posisi sehari sebelumnya.

Tambahan pasien baru sebanyak 2.719 orang dalam sehari adalah rekor tertinggi sejak Indonesia mencatat kasus perdana pada awal Maret. Ini membuat kurva kasus corona bukannya melandai tetapi membumbung ke atas.

Virus mematikan yang masih bergentayangan membuat aktivitas masyarakat masih dibatasi. Betul pemerintah sudah mengendurkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tetapi masih ada pembatasan di sana-sini.

Misalnya di DKI Jakarta. Kemarin, Gubernur Anies Rasyid Baswedan memutuskan untuk kembali memperpanjang masa PSBB Transisi hingga 10 September. Restoran, pusat perbelanjaan, hingga tempat wisata memang sudah boleh buka, tetapi dengan kapasitas maksimal 50%.

Artinya, aktivitas ekonomi belum bisa kembali seperti masa pra-pandemi. Selain karena memang masih dibatasi, masyarakat juga masih ragu untuk terlalu intens berkegiatan di luar rumah karena virus corona bisa hinggap kapan dan di mana saja.

Morgan Stanley mencatat, penggunaan transportasi publik di Jakarta selama periode 15 Januari-9 Juni anjlok 76,5%. Di antara kota-kota besar di Asia, penurunan di Jakarta adalah yang paling dalam.

Kepadatan lalu lintas di Ibu Kota pun turun drastis. Pada Juni, kepadatan lalu lintas Jakarta berkurang sekitar 45% dari kondisi normal.

coronaMorgan Stanley

Mobilitas orang dan barang mencerminkan tingkat kesehatan ekonomi. Saat mobilitas tersendat seperti saat ini, artinya ekonomi sedang 'sakit'. Hasilnya akan tercermin di angka agregat ekonomi yaitu Produk Domestik Bruto (PDB).

Benar saja. Pada kuartal I-2020, PDB Indonesia memang masih tumbuh 2,97% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Namun ini adalah pencapaian terendah sejak 2001.

Pada kuartal berikutnya, Indonesia sudah tidak bisa menghindari kontraksi (pertumbuhan negatif). PDB pada periode April-Juni 2020 terkontraksi 5,32% YoY, terburuk sejak 1999.

Indonesia memang belum resmi masuk resesi, karena belum ada kontraksi PDB dua kuartal berturut-turut. Penentuannya ada di kuartal III-2020, kalau minus lagi maka Indonesia resmi masuk resesi.

Nah, bagaimana perkembangan ekonomi nasional sejauh ini? Apakah Indonesia mampu terhindar dari resesi?

Well, kuartal III masih tersisa sebulan lagi. Masih ada waktu untuk menggenjot. Namun kalau melihat data terkini sampai Juli, peluang Indonesia lolos dari jurang resesi masih 50-50.

'Saksi' yang memberatkan adalah data perpajakan. Pajak mencerminkan aktivitas ekonomi, karena pajak dibayarkan kalau ada aktivitas ekonomi. Pajak Penghasilan (PPh) dibayar kalau individu dan korporasi punya penghasilan atau laba, sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang 10% itu dibayar saat ada transaksi.

Sepanjang Januari-Juli 2020, penerimaan pajak tercatat Rp 601,91 triliun. Anjlok 14,67% dibandingkan bulan sebelumnya. Penerimaan PPh adalah Rp 369,62 triliun atau turun 16%, sedangkan PPN (dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah/PPnBM) adalah Rp 219,49 triliun atau turun 11,97%.

Catatan ini memburuk dibandingkan Januari-Juni 2020. Kala itu, total setoran pajak terkontraksi 12,01%. PPh turun 12,49% sementara PPN dan PPnBM turun 10,68%.

"Penerimaan pajak yang sempat menunjukkan peningkatan pada Juni, kemudian melambat kembali pada Juli. Penerimaan pajak ini menggambarkan kondisi ekonomi nasional kita," kata Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, dalam konferensi pers APBN Kita periode Agustus 2020.

Pemulihan ekonomi yang penuh ketidakpastian tergambar dari setoran pajak per sektor. Penerimaan pajak dari industri pengolahan pada Juli terkontraksi -28,91% YoY. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang -36,18% YoY.

Namun tidak demikian dengan sektor perdagangan. Setoran pajak dari sektor ini turun -27,34% YoY pada Juli. Lebih dalam ketimbang bulan sebelumnya yang -19,91% YoY.

Nasib lebih parah dialami sektor transportasi dan perdagangan. Pada Juli, setoran pajak dari sektor ini mengalami kontraksi 20,93% YoY. Jauh lebih parah ketimbang Juni yang mampu tumbuh 9,63% YoY.

Sektor transportasi menjadi penting karena merupakan sinyal pergerakan orang dan barang. Setoran pajak sektor transportasi yang anjlok menandakan laba dunia usaha di sektor ini nyungsep, yang penurunan mobilitas. Kala mobilitas turun, sulit berharap ekonomi bisa tumbuh.

pajakKementerian Keuangan

"Melihat indikator Juli, downside risk tetap merupakan suatu risiko nyata. Outlook kami adalah 0% sampai -2% (untuk kuartal III-2020). Kunci utama adalah konsumsi dan investasi. Kalau tetap negatif, meski pemerintah sudah all out, maka akan sulit masuk netral. Tidak bisa mendekati 0% dan bisa negatif kalau kelas menegah dan atas belum recovery," jelas Sri Mulyani.

Indikator lain yang agak memberatkan adalah penjualan ritel, yang dicerminkan dalam Indeks Penjualan Riil (IPR). Bank Indonesia (BI) melaporkan IPR pada Juni mengalami kontraksi 17,1% YoY.

Untuk Juli, BI memperkirakan masih terjadi kontraksi 12,3% YoY. Jika Juli negatif lagi, maka penjualan ritel belum pernah tumbuh positif sejak Desember tahun lalu.

Ini menandakan rumah tangga masih ragu untuk berbelanja. Bisa karena lebih memprioritaskan menabung untuk bersiap akan kemungkinan terburuk, atau memang daya belinya turun karena menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Ya, rumah tangga memang masih pesimistis melihat kondisi ekonomi saat ini. Tercermin dari Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini (IKE) yang merupakan bagian dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Pada Juli, nilai IKE adalah 50,7. Jauh di bawah 100, yang merupakan batas optimistis.

IKE terbagi menjadi tiga bagian yaitu Indeks Penghasilan Saat Ini, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja, dan Indeks Pembelian Barang Tahan Lama. Ketiganya masih jauh dari 100.

Data penjualan ritel dan IKK menggambarkan konsumsi rumah tangga nasional masih lesu. Padahal konsumsi rumah tangga adalah kontributor utama pembentukan PDB dengan sumbangan lebih dari 50%.

Ketika sang kontributor utama masih belum bisa diharapkan, maka PDB secara keseluruhan tentu akan terpengaruh. Bukan tidak mungkin konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2020 masih terkontraksi, seperti kuartal sebelumnya.

growthBadan Pusat Statistik

Namun bukan berarti tidak ada harapan. Data lain menunjukkan ekonomi Ibu Pertiwi mulai bergeliat selepas kuartal II-2020.

Misalnya, kegiatan dunia usaha pada kuartal III-2020 diperkirakan tumbuh setelah terkontraksi pada dua kuartal sebelumnya. Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada kuartal III-2020 diperkirakan sebesar 0,52%. Pada kuartal I dan II, SBT terkontraksi masing-masing -5,56% dan -35,75%.

Kemudian penjualan mobil dan sepeda motor. Sejak November 2019 hingga Mei 2020, penjualan mobil dan sepeda motor selalu turun setiap bulannya. Namun pada Juni-Juli, penjualan mulai pulih.

Penjualan mobil adalah salah satu indikator mula (leading indicator) untuk melihat arah ekonomi ke depan, ekspansi atau kontraksi. Saat orang-orang berkenan untuk membeli mobil, yang merupakan kebutuhan sekunder bahkan tersier, maka itu adalah cerminan kuatnya daya beli.

Lalu ada pula kabar baik dari ekspor. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Juli sebesar US$ 13,73 miliar. Melonjak 14,43% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM).

Dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019, ekspor memang masih terkontraksi 9,9%. Namun ini lebih landai ketimbang ekspektasi pasar.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi 18,205% YoY. Sementara konsensus versi Reuters berada di -16,55% YoY.

Data ini menunjukkan kinerja ekspor Indonesia terus membaik. Setelah menyentuh 'kerak neraka' pada Mei, ekspor terus berada dalam tren positif.

"Ekspor secara bulanan menunjukkan progress yang menggembirakan. Kita tentu berharap ke depan terus ada peningkatan," ujar Suhariyanto, Kepala BPS.

Ketika ekspor terus menampilkan tanda-tanda perbaikan, maka ada harapan PDB ikut membaik. Sebagai gambaran, ekspor menyumbang rata-rata 18,61% kepada PDB dalam 10 tahun terakhir.

Kalau kondisinya masih 50-50 seperti ini, adalah pemerintah yang menjadi kunci. Pemerintah melalui kebijakan fiskal harus mampu menjadi katalis, perangsang, pemantik pertumbuhan ekonomi.

Seperti halnya negara-negara lain, pemerintah Indonesia juga menggelontorkan stimulus fiskal dengan nama program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Anggarannya adalah Rp 695,2 triliun.

Hingga akhir Juli, realisasi anggaran PEN adalah Rp 174,79 triliun (25,1%). Terdiri dari anggaran kesehatan Rp 7,36 triliun, perlindungan sosial Rp 93,18 triliun, sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 12,4 triliun, insentif usaha dalam bentuk perpajakan Rp 17,23 triliun, serta dukungan Unit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Rp 44,63 triliun.

"Kita terus mendorong untuk mempercepat program ini sampai Desember nanti. Kalau ada yang belum jalan, akan dilakukan re-design sehingga bisa dilaksanakan dengan lebih baik," kata Sri Mulyani.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular