Pengusaha RI Masih 'Tiarap' Gegara Pandemi Corona

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
13 July 2020 13:08
Penjualan Seragam Sekolah (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Penjualan Seragam Sekolah (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) kian merebak di dalam dan di luar negeri pada kuartal II-2020, dunia usaha Indonesia mengalami kontraksi yang tajam. Namun pelaku usaha optimis kondisi akan membaik pada kuartal III-2020.

Bank Indonesia (BI) dalam rilis Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) triwulan II-2020 menunjukkan bahwa sektor usaha Tanah Air mengalami kontraksi yang dalam. Hal tersebut tercermin dari kontraksi nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pada kuartal II-2020 menjadi -35,75%, terkontraksi lebih dalam dibanding kuartal sebelumnya yang hanya -5,56%.

Pandemi Covid-19 mulai merebak di dalam negeri pada awal Maret. Lonjakan kasus besar-besaran terjadi pada April. Kala itu, berbagai wilayah di dalam negeri menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan diawali di DKI Jakarta sebagai hot spot Covid-19.

PSBB membuat mobilitas tersendat. Sekolah, bekerja, dan beribadah harus dilakukan dari rumah masing-masing. Alhasil pabrik-pabrik tutup atau beroperasi dengan kapasitas lebih rendah.

Survei SKDU BI mengkonfirmasi hal tersebut. Kapasitas produksi terpakai mengalami penurunan pada kuartal kedua dibanding kuartal satu tahun ini. Kapasitas utilisasi turun dari 74,09% pada kuartal pertama menjadi 69,28% di kuartal kedua.

Kapasitas produksi terpakai terendah dialami sektor Industri Pengolahan (61,83%) dan Industri Pertambangan dan Penggalian (65,98%). Rendahnya kapasitas produksi Industri Pengolahan dan sektor Pertambangan dan Penggalian masih dipengaruhi oleh dampak lanjutan pandemi Covid-19 yang berpengaruh pada penurunan permintaan dan menghambat pasokan.

Di sisi lain, kapasitas produksi sektor Listrik, Gas dan Air Bersih mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 82,04%, yang dipengaruhi oleh kebijakan work from home (WFH) dan berdampak terhadap peningkatan penggunaan listrik rumah tangga.

Penurunan kapasitas terpakai juga turut menurunkan kebutuhan akan tenaga kerja. Hal ini tercermin dari SBT tenaga kerja yang menurun di kuartal kedua menjadi -22,35% dari sebelumnya -1,13%.

Hal ini selaras dengan menjamurnya karyawan yang dirumahkan serta terkena PHK selama pandemi Covid-19 berlangsung. Berdasarkan catatan KADIN, ada lebih dari 6 juta pekerja yang dirumahkan dan di PHK selama pandemi.

Pandemi Covid-19 tak hanya berdampak dari sisi produksi saja. Pembatasan mobilitas publik juga turut berpengaruh terhadap permintaan yang membuat fenomena ini menjadi pukulan ganda bagi perekonomian.

Para pelanggan yang harus berdiam diri di rumah apalagi di tengah maraknya PHK harus lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh perusahaan konsultan manajemen global McKinsey & Company menunjukkan bahwa 65% responden yang merupakan konsumen di Tanah Air mengatakan mereka memangkas belanja mereka. Sementara itu 82% responden mengaku lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.

Daya beli yang tergerus membuat permintaan turun dan pada akhirnya memicu terjadinya penurunan harga jual. SKDU BI mencatat penurunan harga jual tercermin dari kontraksi SBT sebesar -7,16% pada kuartal II-2020 dari sebelumnya di kuartal I sebesar 12,63%.

Jelas ini berpengaruh terhadap kondisi keuangan dari dunia usaha. Pada kuartal II-2020, kondisi keuangan perusahaan mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari penurunan likuiditas serta kemampuan mencetak laba (rentabilitas) perusahaan. Saldo Bersih (SB) likuiditas perusahaan pada kuartal II-2020 tercatat sebesar -18,13% turun signifikan jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya di angka 14,94%.

"Sebanyak 29,56% responden menjawab kondisi likuiditas buruk pada triwulan II-2020, atau dengan persentase lebih besar dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 9,72%." tulis BI dalam laporannya tersebut

Senada dengan aspek likuiditas, aspek rentabilitas perusahaan juga terdampak. Hal ini tercermin dari SB pada kuartal kedua sebesar -25,56% dari 11,53% pada kuartal pertama tahun ini.

"Serupa dengan yang terjadi pada aspek likuiditas, terdapat peningkatan persentase responden yang menjawab rentabilitas dalam kondisi buruk yaitu sebesar 36,14% dari 12,30% pada triwulan sebelumnya." lanjut BI.

"Responden menilai akses kredit perbankan pada triwulan II-2020 cenderung lebih sulit dibandingkan triwulan sebelumnya. SB akses kredit pada triwulan II-2020 sebesar -9,14%, menurun dibandingkan 4,17% pada triwulan I-2020. Responden yang menjawab bahwa akses kredit selama 3 bulan terakhir lebih sulit tercatat sebesar 13,86%, meningkat dari triwulan sebelumnya sebesar 5,13%." tambah BI.

Penurunan kinerja keuangan serta akses terhadap kredit yang menjadi lebih terbatas membuat perusahaan harus mengerem ekspansinya. Hal ini juga terlihat dari SBT kondisi investasi yang mengalami kontraksi sebesar -13,06% di kuartal II-2020. Padahal sebelumnya sempat mencatatkan angka positif 2,61% pada kuartal pertama.


Kendati mengalami kontraksi yang tajam pada kuartal kedua, optimisme para pelaku usaha yang disurvei oleh BI membaik di kuartal ketiga. Hal ini tercermin dari prakiraan peningkatan SBT kegiatan dunia usaha yang sudah di zona positif, kontraksi penggunaan tenaga kerja yang berkurang hingga perbaikan dari sisi investasi di kuartal tiga.

Optimisme memang harus dijaga. Namun ada yang perlu diwaspadai. Pandemi Covid-19 belum benar-benar usai di Tanah Air. Setiap harinya gugus tugas penanganan Covid-19 masih terus mengumumkan terjadinya lonjakan kasus. 

Hingga 10 Juli lalu, rata-data pertambahan jumlah kasus baru per harinya mencapai 1.665 kasus dalam sepekan terakhir. Bahkan jumlah kasus sempat melonjak ke angka lebih dari 2.657 pada 9 Juli lalu. 

Klaster-klaster baru penyebaran Covid-19 justru terbentuk. Sebut saja klaster Secapa TNI AD, Bandung, klaster perusahaan di Kota Semarang, klaster tambang Kolaka Utara, Sultra, hingga klaster Pasar Youtefa Jayapura. 

Jumlah kasus aktif di Tanah Air juga 100 kali lipat dari China. Indonesia punya kasus aktif sebanyak 35.349 pada 10 Juli 2020. Sementara itu di waktu yang sama, China hanya memiliki 342 kasus aktif. 

Kasus yang terus bertambah membuat kurva epidemiologi RI belum melengkukng ke bawah. Kurva bergerak fluktuatif cenderung menanjak. Semakin banyaknya jumlah spesimen yang diuji serta berangsur membaiknya mobilitas masyarakat menjadi pemicu utama kenaikan kasus infeksi Covid-19 di dalam negeri.

Memasuki PSBB masa transisi terutam di DKI Jakarta, kasus bukannya melandai justru meningkat. Jika kenaikan kasus terus terjadi dan makin tak terkendali, Gubernur Anies Baswedan bisa-bisa mengambil langkah darurat dengan menetapkan kebijakan rem darurat. 

Saat PSBB juga mulai digalakkan kembali di berbagai wilayah, maka disrupsi rantai pasok dan pelemahan permintaan masih akan terjadi. Hal ini menjadi ancaman besar bagi dunia usaha tentunya. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular