Warisan Corona untuk Berbagai Pemerintahan di Dunia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 July 2020 12:02
Ilustrasi Mata Uang
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memang merupakan tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Belasan juta orang di seluruh dunia jatuh sakit dan ratusan ribu di antaranya kehilangan nyawa akibat serangan virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 7 Juli 2020 adalah 11.500.302 orang. Bertambah 172.512 orang (1,52%) dibandingkan posisi hari sebelumnya.

"Masyarakat tidak boleh lengah karena penambahan kasus di beberapa wilayah. (Virus corona) ada di mana-mana, dan orang-orang harus memahami ini. Virus masih menyebar dan orang-orang harus menganggapnya dengan sangat serius," tegas Margaret Harris, Juru Bicara WHO, seperti diberitakan Reuters.

Untuk menyelamatkan jutaan nyawa, pemerintahan di seluruh negara memberlakukan kebijakan ekstrem yaitu pembatasan sosial (social distancing) bahkan karantina wilayah (lockdown). Aktivitas masyarakat sangat dibatasi, jarak antar-manusia sebisa mungkin direnggangkan, dan jangan sampai terjadi kerumunan. Sebab virus akan lebih mudah menular seiring peningkatan interaksi dan kontak.

Kebijakan ini cukup efektif untuk meredam penyebaran virus corona. Namun di sisi lain, roda ekonomi tidak bisa berputar kala kegiatan masyarakat sangat terbatas.

Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi ekonomi dunia dari awalnya terkontraksi (tumbuh negatif) -3% menjadi -4,9%. Lembaga yang berbasis di Washington DC (Amerika Serikat/AS) itu tidak menyangka bahwa dampak social distancing terharap ekonomi ternyata begitu parah. "

Ada tekanan yang besar di sisi permintaan. Pasokan juga terganggu karena penerapan lockdown," sebut laporan IMF.

imfIMF

Poin dari proyeksi IMF adalah ada tekanan di berbagai sendi perekonomian. Di sisi pengeluaran, pukulan dialami oleh konsumsi rumah tangga, investasi, sampai ekspor.

Oleh karena itu, satu-satunya mesin pendorong pertumbuhan ekonomi yang bisa diharapkan adalah konsumsi pemerintah. Otoritas fiskal menjadi kunci untuk menopang perekonomian secara keseluruhan agar tidak jatuh terlalu dalam.

"Pemerintah akan menggunakan seluruh instrumen diskresi yang memungkinkan sebagai upaya stabilisasi. Belanja negara kemungkinan akan naik sampai dua kali lipat dibandingkan periode normal," tulis laporan IMF.

Pertanyaannya, dari mana sumber dana untuk membiayai pengeluaran yang membengkak itu?

Jawabannya adalah utang. Mustahil bagi pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak, karena dunia usaha dan rumah tangga sedang prihatin. Kalau pemerintah tega mengudak-udak pajak, yang ada kontraksi dunia usaha dan rumah tangga bakal semakin parah.

Jadi jalan keluarnya adalah menambah utang. Wajar jika IMF memperkirakan utang pemerintah bakal meningkat akibat pandemi virus corona.

Pada 2020, IMF meramal defisit fiskal global akan berada di 13,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB), melonjak tajam dari 3,9% pada tahun sebelumnya. Sedangkan rasio utang terhadap PDB diperkirakan sebesar 101,5% PDB, jauh lebih tinggi ketimbang 2019 yaitu 82,8%.

imfIMF

Indonesia pun tidak terhindar dari risiko lonjakan utang. Awalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 disusun dengan target defisit 1,76% PDB. Lebih rendah dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 2,2%.

Namun kemudian Negara Api, eh pandemi corona, menyerang. APBN sudah tidak bisa lagi business as usual, tetapi harus extra extra ordinary.

Sejak 2004, pelaksanaan APBN dibatasi dengan defisit anggaran maksimal 3% PDB sesuai titah UU Keuangan Negara. Akan tetapi, kondisi extra extra ordinary memaksa pemerintah untuk bermanuver karena APBN dengan defisit paling mentok 3% PDB tidak akan cukup untuk menjadi perangsang sosial-ekonomi.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terpaksa harus merombak disiplin anggaran. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 2/2020, pemerintah diperkenankan memasang target defisit anggaran lebih dari 3% PDB sampai 2022.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 54/2020, Presiden Jokowi merestui kenaikan defisit APBN 2020 menjadi 5,02% PDB. Kemudian direvisi menjadi 6,34% PDB dalam Perpres No 72/2020.

Artinya, utang pemerintah pada tahun ini bakal mencapai Rp 1.039,2 triliun. Total utang pemerintah sampai akhir Mei 2020 adalah Rp 5.258,56 triliun. Dengan tambahan yang signifikan, jumlah itu bakal semakin besar.

Rasio utang pemerintah terhadap PDB pun bakal semakin tinggi. Pada 2019, rasio utang pemerintah terhadap PDB ada di 30,18%. Tahun ini, angkanya diperkirakan membengkak menjadi sekitar 36%.

Akan tetapi, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami pembengkakan utang. Seperti yang dikatakan IMF, seluruh negara di dunia merasakannya. Ini adalah sebuah fenomena global.

AS mungkin menjadi yang paling ekstrem. Maklum, pemerintahan Presiden Donald Trump berencana menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai triliunan dolar AS. Kalau dirupiahkan, nilainya mencapai puluhan ribu triliun rupiah, lebih tinggi dibandingkan PDB Indonesia.

Per Juni 2020, total utang pemerintah Negeri Adidaya mencapai US$ 26,48 triliun. Jika dikonversi ke rupiah, hasilnya adalah Rp 381.432,46 triliun dengan kurs saat ini. Luar biasa...

Risiko krisis fiskal akibat gunungan utang menjadi sangat nyata di seluruh negara. Tema ini sampai diangkat oleh Economist Intelligence Unit (IEU) dalam laporan berjudul Sovereign Debt Crises are Coming.

"Bagi negara maju, terutama yang bisa mengakses pasar global dengan mata uang mereka sendiri dan memiliki pasar keuangan domestik yang cukup dalam, krisis utang sepertinya tidak akan menjadi isu. Namun tidak semua negara punya kemewahan itu. Negara-negara berkembang kemungkinan akan mengalami krisis utang," sebut riset IEU.

Negara-negara berkembang, apalagi negara miskin, akan menghadapi masalah baru setelah keluar dari pandemi virus corona yaitu krisis utang. Lolos dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.

"Negara miskin akan keluar dari pandemi virus corona dengan beban utang yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ini akan menjadi masalah, bagaimana cara mereka melunasinya?" tulis kajian IEU.

Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama dan pengertian dari seluruh pemangku kepentingan. Lembaga-lembaga multilateral diharapkan bisa memberikan keringanan dan restrukturisasi utang bagi negara-negara miskin.

Akan tetapi, menjadi agak sulit kalau bicara utang ke pasar melalui penerbitan obligasi. Apakah investor swasta mau terima kalau pemerintah minta keringanan pembayaran utang?

"Belum jelas apakah investor di pasar berkenan untuk menerima restrukturisasi. Jadi proses permohonan keringanan utang sepertinya harus dilakukan satu per satu, dari satu investor ke investor ke lainnya. Tidak bisa sekaligus," papar riset IEU.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular