Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat dunia berantakan. Jutaan orang jatuh sakit dan meninggal dunia, serta tidak sedikit yang kehilangan pekerjaan dan mengalami tekanan finansial.
Untuk mempersempit ruang gerak penyebaran virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu, pemerintah di hampir seluruh negara memberlakukan pembatasan sosial. Aktivitas dan mobilitas publik dibatasi, karena virus ini lebih mudah menular saat terjadi peningkatan interaksi dan kontak antar-manusia.
Padahal mobilitas adalah kunci dari pertumbuhan ekonomi. Tanpa mobilitas yang berarti, 'roda' ekonomi akan seret, tidak bisa berputar kencang. Masa depan ekonomi menjadi samar-samar karena situasi tidak kunjung normal.
Ekonomi yang belum bisa dipacu sesuai kapasitasnya karena ada pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat membuat dunia usaha kelimpungan. Kapasitas produksi berkurang, pendapatan turun, tentu harus diimbangi dengan efisiensi pengeluaran.
Maka dari itu, dampak terhadap lapangan kerja akan sulit terhindarkan sepanjang kapasitas produksi dan permintaan belum bisa normal lagi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ada 19,1 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi virus corona pada Februari 2021 dengan rincian sebagai berikut:
- 1,62 orang menjadi pengangguran.
- 0,65 juta menjadi bukan angkatan kerja.
- 1,11 juta orang sementara tidak bekerja.
- 15,72 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Gangguan di pasar tenaga kerja pada akhirnya akan berdampak kepada angka kemiskinan. Per September 2020, BPS mencatat jumlah penduduk miskin mencapai 27,55 juta orang, bertambah 2,76 juta orang dari periode yang sama tahun sebelumnya. Ini adalah yang tertinggi sejak Maret 2017.
Halaman Selanjutnya --> BPK Cemas Pemerintah Susah Bayar Utang
Saat dunia usaha dan rumah tangga 'tiarap', negara yang harus menjadi pemeran utama. Negara, salah satunya melalui kebijakan fiskal, wajib menjadi penopang baik itu di aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Seperti saat krisis keuangan global 2008-2009, stimulus fiskal menjadi motor utama. Kali ini bahkan nilainya lebih besar karena pandemi virus corona memukul perekonomian dari dua sisi sekaligus, pasokan dan permintaan. Butuh duit yang banyak untuk memulihkan dua sisi itu.
Pemerintah Indonesia pun menggelontorkan stimulus fiskal yang diberi nama program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pagu anggaran PEN untuk 2021 adalah Rp 699,4 triliun, naik 21% dibandingkan realisasi 2021.
Tambahan belanja negara demi membiayai PEN tidak (atau belum?) dibarengi sisi belanja. Per akhir Mei 2021, belanja negara tumbuh 12,05% dibandingka periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sementara penerimaan negara hanya naik 9,31% yoy. Ini membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin lebar.
 Sumber: Kementerian Keuangan |
Ini membuat utang pemerintah bertambah. Per akhir Mei 2021, total utang pemerintah adalah Rp 6.418,15 triliun. Dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), angka ini setara dengan 40.49%.
Lonjakan utang yang tidak (atau belum?) diimbangi oleh penerimaan membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.
BPK juga mengungkapkan bahwa utang pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perhitungan International Debt Relief (IDR), rasio debt service terhadap penerimaan yang direkomendasikan adalah 25-35%, sementara Indonesia berada di 46,77%. Kemudian rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan yang ideal ada di 4,6-6,8%, Indonesia sudah di 19,06%.
Kalau Indonesia sampai tidak bisa membayar utang (amit-amit jabang bayi), kira-kira apa yang bakal terjadi? Apakah Indonesia bubar?
Kalau di level korporasi mungkin sudah bangkrut, tetapi negara tidak bisa dibangkrutkan. Sudah ada pengalaman negara-negara yang tidak bisa membayar utang dan negaranya masih ada sampai detik ini.
Misalnya Yunani. Negeri Dewa-Dewi sempat mengalami krisis fiskal yang sangat berat pada awal dekade 2010-an. Krisis fiskal Yunani bahkan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan dunia.
Untuk bisa bertahan hidup, Yunani kemudian harus rela menjadi 'pasien' Dana Moneter Internasional (IMF). Pada 2015, Yunani gagal membayar kewajian sebesar EUR 1,6 miliar kepada sang pengutang.
Kalau sudah begini, apa yang terjadi? Apakah negara itu kemudian bangkrut dan bubar?
Tidak juga. IMF meminta Yunani untuk melakukan reformasi fiskal dengan mengetatkan ikat pinggang. Bahasanya kerennya, autherity measures.
Pada 2001-2010, rata-rata belanja pemerintah Yunani naik 11,44% per tahun. Satu dasawarsa berikutnya, rata-rata pertumbuhan belanj pemerintah adalah -4,13% per tahun. Benar-benar prihatin...
Negara lain yang bolak-balik gagal bayar utang (default) adalah Argentina. Terakhir, negara asal pesebakbola Lionel Messi ini mengalami default pada Mei tahun lalu setelah gagal membayar kupon obligasi sekira US$ 500 juta.
Sejak merdeka dari jajahan Spanyol pada 1816, Argentina sudah sembilan kali default. Lebih banyak dibandingkan raihan Ballon d'Or Messi yaitu enam kali.
Bulan lalu, Presiden Alberto Fernandez berharap ada negosiasi dengan IMF seputar pembayaran utang yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya pimpinan Mauricio Macri. Roman-romannya bakal gagal bayar lagi nih...
"Kami bukannya tidak mau membayar, tetapi ada kesepakatan untuk menjaga target ekonomi dan pembangunan di negara kami. Jangan lupa, masih ada 40% populasi kami yang hidup di bawah garis kemiskinan," kata Fernandez dalam wawancara di televisi nasional, seperti dikutip dri Reuters.
Semestinya Argentina dijadwalkan mulai membayar cicilan utang kepada IMF yang nilainya mencapai US$ 44 miliar. Jumlah yang jatuh tempo tahun ini adalah US$ 3,5 miliar, tahun depan US$ 18 miliar, dan 2023 adalah US$ 19 miliar.
Tahun lalu, Argentina lolos dari lubang jarum setelah berhasil merestrukturisasi utang kepada kreditur swasta bernilai total US$ 65 miliar. Pemerintah bernegosiasi dengan para pemegang obligasi utama, di mana BlackRock menjadi yang terdepan.
Dalam negosiasi itu, para pemegang obligasi setuju untuk mengalihkan obligasi yang gagal bayar menjadi surat utang baru. Bahkan investor legowo dana mereka 'hangus', karena setiap US$ 1 nantinya hanya dibayar di bawah US$ 55 sen saat obligasi jatuh tempo.
Tidak sedikit korporasi yang jatuh karena tumpukan utang tidak terbayar. Namun kalau level negara, sepertinya gagal bayar utang tidak akan berujung bangkrut. Paling hanya disuruh prihatin dan berhemat. Sisanya tergantung keahlian negosiasi di hadapan para kreditur...
TIM RISET CNBC INDONESIA