
Ada Nggak Negara yang 'Bangkrut' Karena Utang? Cek Nih

Saat dunia usaha dan rumah tangga 'tiarap', negara yang harus menjadi pemeran utama. Negara, salah satunya melalui kebijakan fiskal, wajib menjadi penopang baik itu di aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Seperti saat krisis keuangan global 2008-2009, stimulus fiskal menjadi motor utama. Kali ini bahkan nilainya lebih besar karena pandemi virus corona memukul perekonomian dari dua sisi sekaligus, pasokan dan permintaan. Butuh duit yang banyak untuk memulihkan dua sisi itu.
Pemerintah Indonesia pun menggelontorkan stimulus fiskal yang diberi nama program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pagu anggaran PEN untuk 2021 adalah Rp 699,4 triliun, naik 21% dibandingkan realisasi 2021.
Tambahan belanja negara demi membiayai PEN tidak (atau belum?) dibarengi sisi belanja. Per akhir Mei 2021, belanja negara tumbuh 12,05% dibandingka periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) sementara penerimaan negara hanya naik 9,31% yoy. Ini membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin lebar.
![]() |
Ini membuat utang pemerintah bertambah. Per akhir Mei 2021, total utang pemerintah adalah Rp 6.418,15 triliun. Dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), angka ini setara dengan 40.49%.
Lonjakan utang yang tidak (atau belum?) diimbangi oleh penerimaan membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.
BPK juga mengungkapkan bahwa utang pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam perhitungan International Debt Relief (IDR), rasio debt service terhadap penerimaan yang direkomendasikan adalah 25-35%, sementara Indonesia berada di 46,77%. Kemudian rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan yang ideal ada di 4,6-6,8%, Indonesia sudah di 19,06%.
(aji/aji)