Apakah Utang Pemerintah Bahaya & Negara Bisa Kolaps?

Lidya Julita Sembiring & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
25 June 2021 07:00
Utang Indonesia
Foto: Infografis/Utang RI/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit laporan keuangan pemerintah pusat selama 2020. BPK memperhatikan beberapa hal yang harus diwaspadai pemerintah, salah satunya penambahan utang.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara, yang dikhawatirkan pemerintah tidak mampu untuk membayarnya.

"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," jelas Agung Firman dalam Rapat Paripurna.

BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78t triliun atau mencapai 96,93% dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75% dari anggaran. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14% dari PDB.

Kendati demikian, realisasi pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp 1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya. Sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp 245,59 triliun.

Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman dalam negeri, dan pembiayaan luar negeri sebesar Rp 1.225,9 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

BPK juga mengungkapkan bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% - 35%.

Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6% - 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7% - 19%. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92% - 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% - 150%.

Untuk diketahui, hingga akhir Desember 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia bertambah Rp 1.296,56 triliun dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.

Kementerian Keuangan mencatat utang Pemerintah hingga akhir Mei senilai Rp 6.418,15 triliun. Realisasi ini naik Rp 1.159,58 triliun dibandingkan posisi Mei 2020 yang mencapai Rp 5.258,57 triliun.

"Posisi utang pemerintah per akhir Mei 2021 berada di angka Rp 6.418,15 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 40,49%," tulis Kemenkeu dalam buku APBN KiTa edisi Juni.

Utang pemerintah ini masih didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94% dan pinjaman sebesar 13,06%.

Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.580,02 triliun yang terdiri dari SBN domestik Rp 4.353,56 triliun dan valas Rp 1.226,45 triliun.

Sedangkan utang melalui pinjaman tercatat Rp 838,13 triliun. Pinjaman ini terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp 825,81 triliun.

Adapun utang dari pinjaman luar negeri ini terdiri dari pinjaman bilateral Rp 316,83 triliun, pinjaman multilateral Rp 465,52 triliun dan pinjaman dari commercial banks Rp 43,46 triliun.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo mengungkapkan bukan hanya Indonesia saja yang rasio utangnya sudah melebihi batas seperti yang ditetapkan IMF. Karena hampir semua negara mengambil langkah kebijakan countercyclical untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonominya, yang berimplikasi ke pelebaran defisit.

"IMF memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30% per PDB. Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran itu. Misalnya saja di akhir tahun 2020 Indonesia (39,39%), Filipina (48,9%), Thailand (50,4%), China (61,7%), Korea Selatan (48,4%), dan Amerika Serikat (131,2%)," jelas Yustinus kepada CNBC Indonesia.

Dalam pengelolaan utang dan pembiayaan APBN, pemerintah mengklaim sudah menjaga pada kondisi aman. Pemerintah juga menekan biaya utang. Di antaranya melakukan sinergi dengan Bank Indonesia (BI) dalam kebijakan burden sharing.

"Sinergi Pemerintah dan BI (SKB II) untuk membiayai penanganan pandemi, dimana BI ikut menanggung biaya bunga utang," ungkapnya.

Kemenkeu juga, kata Prastowo melakukan kebijakan konversi pinjaman luar negeri, yakni dengan mengubah pinjaman dalam Dolar Amerika (USD) dan suku bunga mengambang (basis LIBOR) menjadi pinjaman dalam Euro dan Yen, dengan suku bunga tetap mendekati 0%. "Sehingga mengurangi risiko dan beban bunga ke depan," tuturnya.

Selain itu, upaya yang juga dijalankan oleh pemerintah dalam hal ini Kemenkeu adalah dengan melakukan strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield di tahun 2020 yang dapat menekan yield SBN sekitar 250 bps mencapai 5,85% di akhir tahun atau sudah turun 17% sejak awal tahun 2021 (year to date).

"Dengan berbagai respon kebijakan tersebut, ekonomi Indonesia di 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibanding negara lain," ujar Yustinus.

"Pemerintah sepakat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara. Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global," kata Yustinus melanjutkan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular