Bos Bappenas: Banyak Utang Negara Lain Lebihi Batas IMF

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
23 June 2021 16:47
Musyawarah perencanaan pembangunan nasional 2021. (Tangkapan layar Bappenas RI)
Foto: Musyawarah perencanaan pembangunan nasional 2021. (Tangkapan layar Bappenas RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengakui bahwa rasio utang Indonesia sudah melebihi batas ketentuan International Debt Relief (IDR) atau seperti yang direkomendasikan International Monetary Fund (IMF). Namun, hal ini terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi juga di negara lain.

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Suharso Monoarfa dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (23/6/2021).

"Pengelolaan utang kita dari tahun ke tahun tetap terjaga. Meskipun memang ada rasio-rasio yang kita ikutkan dari IDR, IMF, World Bank. Tapi, kalau kita lihat negara lain, saya kira hampir tidak ada negara yang standarnya dipenuhi baik standar IMF ataupun standarnya IDR," jelas Suharso.

Suharso menyebut, perkembangan utang pemerintah hari ini adalah sebesar 39,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Suharso hal itu masih wajar karena masih di bawah ambang batas Undang-Undang Keuangan Negara yang sebesar 60% dari PDB.

Suharso juga mengakui saat ini rasio utang Indonesia pada 2019-2020 telah meningkat 8%. Hal ini dikarenakan upaya pemerintah dalam komitmen pemerintah dalam penanganan Covid-19, yang membuat defisit APBN jadi lebih lebar.

"Rasio utang kita dibanding negara lain pada 2019-2020, kita memang meningkat sekitar 8% dari 30,2% ke 39,4%. Dan kita lihat Filipina, Korea Selatan, Chili, Vietnam, China, Kolombia, Turki, kita lihat semua utangnya membesar pada saat ini," jelas Suharso.

Kendati demikian Porsi utang Indonesia dalam rupiah pun lebih besar dibandingkan valas. Di mana kata Suharso porsi utang pemerintah dalam rupiah sebesar 66,5% dan dalam porsi valas 33,5%. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju lainnya.

"Kalo kita bercermin ke negara-negara lain sesungguhnya banyak negara termasuk China sendiri punya utang yang jauh lebih besar dari GDP-nya, AS juga di atas GDP-nya, Jepang dua kali dari GDP-nya. Kalau kita lihat dari hitungan nominal tapi sebagian besar memang berutang pada mata uangnya sendiri," kata Suharso melanjutkan.

Suharso juga sempat menyinggung mengenai hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan utang negara. Di mana BPK menyebut rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77%, dan telah melampaui rekomendasi IMF yang sebesar 25-35%.

Dalam laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2020, BPK juga mengungkapkan bahwa rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan sebesar 19,06%, juga telah melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-19%.

Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% yang telah melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF sebesar 90-150%. Hal ini juga yang menjadi kekhawatiran BPK apabila pemerintah tidak menyanggupi pembayaran utang tersebut.

Suharso tak menampik bahwa angka tersebut benar dan memang tinggi dan diharapkan rasionya bisa menurun.

"Kalau kita hitung berdasarkan debt ratio terhadap penerimaan negara, memang relatif tinggi. Inilah yang jadi PR kita bersama, bagaimana menurunkannya ke depan," katanya," jelas Suharso.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bappenas: Upacara 17 Agustus Tetap di IKN

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular