
BPK Beberkan 'Dosa' Kartu Prakerja, Ini Penjelasan Manajemen!

Jakarta, CNBC Indonesia - Manajemen Pelaksana Program (PMO) Kartu Prakerja menanggapi perihal temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal adanya pelanggaran pelaksanaan program Kartu Prakerja.
Head of Communications Manajemen Kartu Prakerja, Louisa Tuhatu menjelaskan bahwa yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai adanya pembayaran pelatihan yang sebenarnya tidak diikuti oleh peserta, sebesar Rp 125,93 miliar sampai dengan 31 Desember 2020.
Menurut Louisa, nilai yang dicatat BPK tersebut adalah nilai pelatihan yang sudah dibeli oleh penerima Kartu Prakera, namun belum diselesaikan pelatihannya sampai dengan 31 Desember 2020.
"Jumlah itu sebetulnya setara dengan 6,58% dari total dana pelatihan yang sudah terjadi transaksinya," jelas Louisa kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/6/2021).
Artinya, kemungkinan peserta sudah membeli pelatihannya, namun peserta belum menyelesaikan pelatihannya. Karena, kata Louisa banyak modul pelatihan yang ada di dalam program Kartu Prakerja berbentuk video dan bisa diakses oleh peserta paling tidak sampai satu tahun.
"Pada saat ini sudah terjadi pembayaran dari rekening virtual peserta ke rekening digital platform sebagai marketplace yang menaungi lembaga pelatihan," tuturnya.
"Kalau kemudian peserta tidak melakukan pelatihan atau tidak menyelesaikan pelatihan, tidak mungkin kami meminta digital platform/lembaga pelatihan untuk mengembalikan dananya," kata Louisa melanjutkan.
Kemudian, BPK juga menemukan adanya dana insentif yang belum disalurkan kepada penerima manfaat, nilainya hingga 31 Desember 2020 sebesar Rp 6,83 triliun. Louisa menjelaskan bahwa dana tersebut adalah campuran dana pelatihan dan dana insentif, baik yang tidak terpakai maupun yang akan disalurkan.
PMO, kata Louisa sudah mengembalikan dana yang tidak terpakai ke Kas Negara secara bertahap.
"Pada 31/12/2020, posisi rekening pemerintah lainnya (RPL) kami tinggal Rp 5,4 triliun. Angka ini terdiri dari Rp 2,6 triliun dana pelatihan dan insentif yang tidak terpakai. Serta Rp 2,8 triliun dana insentif dan pelatihan yang akan disalurkan sampai Maret 2021," jelas Louisa.
Louisa melanjutkan, dana pelatihan dan insentif tidak terpakai sebesar Rp 2,6 triliun telah disetorkan seluruhnya ke kas negara pada rentang 5-7 Januari 2021.
Sementara dana pelatihan dan insentif sebesar Rp 2,8 triliun berhasil disalurkan sebesar Rp 2,53 triliun pada Maret 2021 dan sisanya yang tidak terpakai sebesar Rp 278 miliar telah disetorkan ke Kas Negara pada akhir Maret 2021.
"Jadi tidak ada lagi saldo anggaran dari tahun anggaran 2020. Selesai pada 31 Maret 2021, saldo nol," tuturnya.
Dalam laporannya, BPK juga meminta PMO untuk memastikan nilai riil yang layak dibayarkan untuk lembaga pelatihan dan platform. Dalam hal ini, kata Louisa tidak ada standar yang bisa dipakai untuk mengatakan apakah harga suatu pelatihan layak atau tidak.
"Banyak faktornya, banyak variabelnya. Pada saat mendaftar sebagai mitra pelatihan melalui platform digital, lembaga pelatihan memberikan harga dari setiap pelatihan yang mereka tawarkan."
"Tetapi pada saat mereka menjual kepada peserta seringkali di bawah harga tersebut karena akan berlaku hukum pasar," ujarnya.
Peserta umumnya, kata Louisa melakukan pencarian pelatihan yang diminatinya di berbagai platform digital dan harga akan menjadi salah satu penentu peserta untuk membeli atau tidak.
Selain itu, ada mekanisme rating dan ulasan yang membuat lembaga pelatihan harus selalu memperbaiki produk dan layanan, bahkan juga harganya. "Platform digital adalah marketplace tempat orang membeli produk dari lembaga pelatihan," pungkasnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BPK Lacak Pelanggaran Program Kartu Prakerja, Ini Temuannya!