Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak awal Juli, berbagai kabar baik berdatangan dari dalam negeri. Kabar-kabar itu memberi angin segar, membawa harapan, mengatrol keyakinan bahwa Indonesia bisa bangkit dari serangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Pandemi virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu telah membuat puluhan ribu rakyat jatuh sakit dan lebih dari 3.000 orang di antaranya meninggal dunia.
Tidak butuh lama bagi pandemi virus corona untuk bertransformasi menjadi tragedi ekonomi. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan regulasi tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada akhir Maret, setelah Indonesia mencatatkan kasus corona perdana pada awal bulan tersebut.
Seperti di hampir seluruh negara di dunia, pembatasan sosial (social distancing) menjadi kebijakan yang dikedepankan untuk mencegah penyebaran virus corona. Aktivitas masyarakat sangat dibatasi, jarak antar-manusia sebisa mungkin direnggangkan, dan jangan sampai terjadi kerumunan. Sebab virus akan lebih mudah menular seiring peningkatan interaksi dan kontak.
Selama sekitar tiga bulan masyarakat terpaksa harus #dirumahaja. Bekerja, belajar, dan beribadah di rumah. Kebijakan ini cukup efektif untuk meredam penyebaran virus corona.
Namun di sisi lain, roda ekonomi tidak bisa berputar kala kegiatan masyarakat sangat terbatas. Pada kuartal I-2020, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 2,97%, terendah sejak 2001. Kemungkinan besar akan terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif) pada kuartal II-2020, pemerintah memperkirakan di kisaran -3,1%.Untuk kali pertama sejak 1999 Indonesia kembali merasakan pahitnya ekonomi yang mengkerut.
Dari sisi dunia usaha, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia merosot tajam. Pada kuartal I-2020, rata-rata PMI manufaktur Indonesia adalah 48,83. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Kalau di bawah 50, berarti industriawan belum melakukan ekspansi, yang ada malah terkontraksi.
Penurunan PMI berlanjut selepas kuartal I-2020. Pada April dan Mei, angka PMI manufaktur Indonesia masing-masing adalah 27,5 dan 28,6. Angka April adalah yang terendah sepanjang sejarah pencatatan PMI di Tanah Air.
Sementara di sisi rumah tangga, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga melorot. Rata-rata IKK pada kuartal I-2020 adalah 117,73. Berbeda dengan PMI, IKK menjadikan angka 100 sebagai titik start. Kalau masih di atas 100, berarti konsumen percaya diri dalam menghadapi perekonomian saat ini sampai enam bulan ke depan.
Namun selepas kuartal I-2020, keadaan memburuk. Pada April dan Mei, IKK tercatat masing-masing 84,8 dan 77,8. Pencapaian Mei adalah yang terendah sejak 2005.
Akibat dunia usaha dan rumah tangga yang sama-sama 'sakit', tekanan inflasi menjadi minim. Produsen tidak berani menaikkan harga terlalu tinggi karena khawatir produknya tidak laku.
Ramadan-Idul Fitri yang biasanya menjadi puncak inflasi karena lonjakan permintaan tahun ini serasa biasa-bisa saja. Datar. Inflasi pada April-Mei tercatat 0,08% dan 0,07% secara bulanan (month-on-month/MtM). Padahal pada tahun-tahun sebelumnya terjadi lesatan inflasi kala puasa dan lebaran.
Tiga data itu menggambarkan kelesuan ekonomi Indonesia yang begitu parah. Pandemi virus corona sudah resmi menjadi masalah besar bagi perekonomian nasional, menghantam dua sisi sekaligus yaitu pasokan dan permintaan.
* Syarat dan ketentuan berlaku
Namun mulai Juni situasi mulai membaik. Penyebaran virus corona terlihat agak melambat mulai April-Mei, sehingga pemerintah berani melonggarkan PSBB.
Sedikit demi sedikit, 'keran' aktivitas masyarakat kembali dibuka meski tetap harus patuh kepada protokol kesehatan. Indonesia mulai memasuki era normal baru alias new normal, masyarakat bisa kembali beraktivitas walau dengan rambu-rambu protokol kesehatan.
Hasilnya, ekonomi Indonesia mulai menunjukkan kebangkitan. Data Juni yang dirilis mulai awal Juli memberi bukti bahwa sepertinya badai telah berlalu, meski hujan masih lumayan lebat.
PMI manufaktur Indonesia pada Juni meningkat ke 39,1. Masih di bawah 50, berarti dunia usaha belum melakukan ekspansi. Namun sudah jauh membaik ketimbang titik nadir pada April.
"Data PMI terakhir menunjukkan bahwa penurunan di sektor manufaktur Indonesia semakin melandai seiring relaksasi upaya pencegahan penyebaran Covid-19. Dengan harapan pelonggaran lebih lanjut dan masyarakat kembali hidup normal, sentimen pelaku usaha meningkat tajam ke level tertinggi sejak Januari, sebelum meletusnya pandemi, dan perusahaan siap untuk meningkatkan produksi," sebut Bernard Awm Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.
Tidak hanya dunia usaha, optimisme rumah tangga pun membaik. Pada Juni, Bank Indonesia (BI) melaporkan IKK berada di 83,8. Lagi-lagi belum mencapai level optimistis, tetapi sudah ada peningkatan.
"Membaiknya optimisme konsumen terutama disebabkan oleh menguatnya ekspektasi terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada enam bulan mendatang, seiring dengan prakiraan meredanya pandemi Covid-19. Penguatan di sisi ekspektasi terutama ditopang oleh prakiraan ekspektasi kegiatan usaha yang meningkat pada enam bulan mendatang," tulis laporan BI.
Dunia usaha dan rumah tangga yang semakin pede membuat api inflasi kembali memercik. Pada Juni, inflasi berada di 0,18% MtM, tertinggi sejak Maret.
Ekonomi yang semarak lagi membuat permintaan meningkat, Menariknya, salah satu pengeluaran yang menyumbang inflasi adalah transportasi.
"Transportasi pada Juni 2020 mengalami inflasi 0,41% dengan andil 0,05%. Ada kenaikan tarif angkutan udara dengan andil inflasi 0,02%, sedangkan kenaikan tarif angkutan antar kota dan roda dua online masing-masing memberi andil 0,01%," papar Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).
Kenaikan tarif transportasi mencerminkan mobilitas masyarakat sudah berangsur meningkat. Ini menjadi bukti bahwa ekonomi sedang berjalan di lajur pemulihan.
Akan tetapi, rasanya jalan menuju kebangkitan ekonomi masih panjang dan berliku. Jangan lupa bahwa pandemi virus corona adalah fenomena kesehatan. Kalau ada masalah di aspek kesehatan, apalagi menyangkut keselamatan nyawa ratusan juta rakyat Indonesia, maka semua harus mengalah, termasuk ekonomi.
Masih ada kemungkinan pemerintah kembali mengetatkan PSBB andai terjadi lonjakan kasus corona. Kebetulan data saat ini memang agak mengkhawatirkan.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan, jumlah pasien positif corona per 7 Juli adalah 66.226 orang. Bertambah 1.268 orang (1,95%) dibandingkan hari sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan kenaikan pada 6 Juli yaitu 1.209 orang (1,9%).
Dalam 15 hari terakhir, penambahan pasien baru selalu di atas 1.000 per hari. Bahkan sejak 9 Juni, hanya ada empat hari kenaikan jumlah pasien kurang dari 1.000.
Oleh karena itu, kurva kasus corona di Indonesia sama sekali belum melandai, bahkan cenderung melengkung ke atas. Pertanda bahwa virus corona belum bisa dijinakkan.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan bahwa beberapa provinsi memiliki kecenderungan kasus positif meningkat. Penularan virus corona sudah tersebar di 456 kabupaten/kota. Gugus Tugas terus memonitor potensi penularan dari Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang berjumlah 38.702 orang dan pengawasan yang ketat terhadap Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 13.471 orang.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah daerah jangan segan menutup kembali daerah yang mengalami lonjakan kasus corona. Kepala Negara meminta pimpinan di daerah tidak perlu memaksakan diri untuk menjalankan new normal jika keadaan belum memungkinkan.
"Kalau memang keadaannya naik, ya tutup lagi. Harus berani putuskan seperti itu. Jangan sampai kita berani membuka, masuk ke new normal, tetapi keadaan data masih belum memungkinkan. Jangan dipaksa," terang Jokowi.
Oleh karena itu, pemulihan ekonomi Indonesia masih harus diberi tanda bintang atau astriks. Perlu ada keterangan bahwa syarat dan ketentuan berlaku. Ekonomi bisa pulih, dengan syarat tidak ada lagi pengetatan PSBB akibat lonjakan kasus corona.
Baca:Â Jokowi: Kalau Belum Siap New Normal, Jangan Dipaksa!
TIM RISET CNBC INDONESIA