Sepakbola dan Corona: Penyemangat atau Sumber Bencana?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 May 2020 11:00
mohamed salah (REUTERS/Phil Noble)
Penyerang Liverpoo Mohamed Salah (REUTERS/Phil Noble)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah tiga pekan penggemar sepakbola kembali dimanjakan dengan suguhan pertandingan sepakbola Bundesliga Jerman. Dalam beberapa pekan ke depan, berbagai liga top Eropa juga akan digelar kembali.

Sejak pertengahan Maret, kompetisi sepakbola di Benua Biru praktis terhenti akibat serangan virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Nasib musim kompetisi 2019/2020 jadi penuh tanda tanya.

Dari enam liga terpopuler Eropa, Eredivisie Belanda dan Ligue-1 Prancis memilih untuk berhenti di tengah jalan. Eredivisie bahkan memutuskan bahwa musim 2019/2020 dihapus dari sejarah, null and void. Tanpa juara, zonder degradasi.

Sementara Ligue-1 menetapkan Paris St Germain sebagai juara musim 2019/2020. Kylian Mbappe dan rekan menjadi juara setelah memuncaki klasemen hingga pekan ke-27 dengan raihan 68 poin. Berjarak 12 poin dari Marseille di posisi kedua.


Bundesliga menjadi liga top 6 yang berani menggelar ulang kompetisi mulai pertengahan bulan ini. Sebagaimana kehidupan di luar lapangan, sepakbola juga menerapkan kenormalan baru (new normal). Laga digelar tertutup di stadion tanpa penonton, pemain melakukan selebrasi gol tanpa pelukan, dilarang meludah atau membuang kumur di lapangan, dan lain-lain.

Namun itu tidak mengurangi keseruan the beautiful game. Demi menghadirkan atmosfer keseruan, sejumlah klub memasang poster penonton di bangku stadion. Ada pula yang memutar audio nyanyian dan sorak-sorai penonton.


Sebagian pihak menilai kembalinya sepakbola memberi harapan bagi masyarakat. Moral dan psikologis publik merosot karena harus tinggal di rumah akibat kebijakan karantina wilayah (lockdown) di banyak negara Eropa. Kehadiran sepakbola bisa menjadi penyemangat dan suntikan moral untuk kembali menata kehidupan.

"Saya rasa (sepakbola) akan mengangkat semangat rakyat. Orang-orang tentu ingin kembali bekerja dan sekolah, sepakbola bisa menjadi contohnya," kata Dominic Raab, Menteri Luar Negeri Inggris, seperti dikutip dari BBC.

Oleh karena itu, Liga Primer Inggris punya rencana berupa Project Restart. Setelah berbagai rapat dan perdebatan, akhirnya disepakati bahwa Liga Primer akan kembali dimainkan paling cepat 17 Juni.

"Kami tidak akan mencapai titik ini tanpa bantuan pemerintah. Kami telah berencana untuk memulai kembali Liga Primer pada 17 Juni, dengan pertimbangan keselamatan dari seluruh pihak yang terlibat. Kalau semuanya lancar, maka kita akan sangat bahagia untuk melanjutkan musim 2019/2020 dua minggu lagi," sebut Richard Masters, CEO Liga Primer, seperti dikutip dari keterangan tertulis.



Tidak hanya Liga Primer, Serie A Italia juga akan dimulai kembali bulan depan. Vincenzo Spadafora, Menteri Olahraga Italia, memberi lampu hijau agar Juventus dan klub-klub lainnya kembali bertanding mulai 20 Juni.

"Italia sudah memulai kembali kehidupannya, akan lengkap jika sepakbola pun dimainkan kembali. Kami bisa bilang bahwa kompetisi bisa dimulai kembali mulai 20 Juni. Serie A harus kembali menjadi kompetisi paling indah di dunia," ungkap Spodafora, seperti dikutip dari Reuters.

La Liga Spanyol akan menjadi yang tercepat menyusul Bundesliga. Mengutip BBC, otoritas La Liga dan Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) sudah mencapai kesepakatan dengan pemerintah untuk kembali menggelar kompetisi pada 11 Juni. Musim 2019/2020 akan berakhir pada 12 September.

"Hal yang terpenting adalah memastikan musim ini selesai dan bersiap menyambut musim depan. Dengan izin Tuhan, itu akan terjadi pada 12 September. Semoga kita bisa melalui periode yang sulit ini dan melakukan persiapan yang lebih baik," kata Javier Tebas, Presiden La Liga.


Di satu sisi, sepakbola mungkin bisa mengangkat moral publik yang jatuh akibat lockdown. Namun di sisi lain, perlu diwaspadai bahwa sepakbola bisa menjadi ajang penularan virus corona. Maklum, sepakbola adalah olahraga dengan intensitas kontak fisik yang tinggi, sesuatu yang disukai virus corona.

Patut dicatat bahwa kasus corona di Inggris, Italia, dan Spanyol termasuk yang tertinggi di Eropa. Per 30 Mei, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah pasien positif corona di Inggris, Spanyol, dan Italia masing-masing 271.226 orang, 238.936 orang, dan 232.248 orang. Ketiganya hanya kalah dari Rusia.



Boleh saja pertandingan dihelat tanpa penonton. Namun masih ada pemain, ofisial tim, dan perangkat pertandingan. Mereka berisiko menjadi pembawa (carrier) virus corona di komunitasnya.

Akan tetapi kalau berkaca dari pengalaman Jerman yang sudah tiga pekan menggelar Bundesliga, kekhawatiran itu tidak (atau belum) terbukti. Sejak 15 Mei, kala Bundesliga dimulai lagi, persentase kenaikan kasus corona di Negeri Panser rata-rata adalah 0,32% per hari.

Pada 15 Mei, jumlah kasus naik 0,53% dibandingkan hari sebelumnya. Kemudian pada 30 Mei, pertumbuhannya adalah 0,41%. Artinya, Jerman tetap mampu menjaga pertumbuhan kasus dalam tren turun meski sepakbola kembali dimainkan.




Meski demikian, kondisi di negara lain tentu tidak bisa disamakan. Ini kembali ke peran pemerintah dan masing-masing individu sejauh mana menaati protokol kesehatan. Semakin tinggi ketaatan maka semakin efektif penularan virus bisa dicegah.

Namun kalau tidak patuh, maka gelombang penularan kedua (second wave outbreak) bisa terjadi dan sepakbola bakal dituduh menjadi salah satu biang keroknya. Amit-amit...


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Corona, Sepak Bola, & Triliunan Rupiah yang Menguap ke Udara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular