Saran Buat Pak Jokowi: BLT yang Josss Butuh Rp 39 T/Bulan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 April 2020 09:23
Penukaran uang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Desease-2019/Covid-19) memang fenomena kesehatan. Akan tetapi, dampaknya terhadap perekonomian sama sekali tidak bisa disepelekan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh dunia per 20 April 2020 mencapai 2.314.621 orang. Bertambah 72.846 orang dibandingkan hari sebelumnya.

Sementara pasien meninggal tercatat 157.847 orang. Bertambah 5.296 orang dari hari sebelumnya.



Penyebaran virus yang sangat cepat membuat pemerintahan di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat (social distancing). Pabrik dan kantor tidak beroperasi, sekolah diliburkan, rumah ibadah ditutup untuk umum, restoran tidak lagi melayani makan-minum di tempat, dan sebagainya.

Social distancing bertujuan menyelamatkan nyawa, dan sudah kelihatan dampaknya. Contohnya di Spanyol, negara dengan kasus corona terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Negeri Matador menerapkan bentuk ekstrem dari social distancing yaitu karantina wilayah alias lockdown sejak 14 Maret hingga sekarang.

Sebelum lockdown, rata-rata tambahan kasus corona di Spanyol mencapai 91,53% per hari. Luar biasa.

Namun setelah lockdown berlaku, laju kenaikannya jauh melambat menjadi 11,85% per hari. Bahkan sejak 31 Maret-20 April, persentase kenaikan kasus corona di Spanyol stabil di kisaran satu digit dengan kecenderungan menurun.





Akan tetapi, kebijakan untuk menyelamatkan nyawa ini harus dibayar dengan harga mahal. Lockdown membuat ekonomi Spanyol lumpuh. Bank sentral memperkirakan ekonomi tahun ini bisa terkontraksi (tumbuh negatif) -6,8% hingga -12,4%.

 

Sejak pertengahan Maret, sekitar 900.000 lapangan kerja di Spanyol hilang. Akibatnya, jumlah pengangguran di Spanyol pada Maret naik 9,3% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi sekitar 3,5 juta orang.


Untuk mengatasi dampak sosial-ekonomi dari virus corona, pemerintah Spanyol akan menggelontorkan bantuan tunai kepada rakyatnya. Belum disepakati berapa besarannya, tetapi katanya akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bisa menjadi pengganti gaji bulanan.

Rencananya bantuan tersebut akan disalurkan kepada sekitar 1 juta rumah tangga termiskin di Spanyol. Jose Luis Escriva, Menteri Perlindungan Sosial Spanyol, mengatakan pendapatan rumah tangga miskin tersebut tidak sampai EUR 246 (sekitar Rp 4,19 juta dengan kurs saat ini) per bulan.

Escriva menambahkan kebutuhan dana untuk bantuan ini akan berasal dari utang. Dengan asumsi jumlah penerima bantuan adalah 1 juta rumah tangga dengan pendapatan EUR 246, maka pemerintah Spanyol akan membutuhkan dana EUR 246 juta (Rp 4,19 triliun) setiap bulannya. Itu yang akan menjadi tambahan utang pemerintah.


Indonesia pun mengalami situasi serupa dengan Spanyol. Virus corona telah 'membobol' Indonesia pada awal Maret, dan per 21 April pukul 12:00 WIB jumlah pasien positif corona tercatat 7.135 orang.

Spanyol memilih lockdown, sedangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan PSBB diserahkan ke masing-masing daerah, atas persetujuan pemerintah pusat cq Kementerian Kesehatan.


Seperti halnya di Spanyol, penerapan social distancing dan PSBB membuat roda ekonomi Tanah Air berputar dengan sangat pelan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini hanya 2,3%.



Roda ekonomi yang bergerak perlahan berdampak pula ke penciptaan lapangan kerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di mana-mana.

Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, per 16 April 2020 jumlah pekerja yang dirumahkan (furlough) dan PHK mencapai 1,94 juta orang. Terdiri dari pekerja di sektor formal sebanyak 1,27 juta dan sektor non-formal 443.760.



Untuk membantu masyarakat yang sudah sangat terjepit, pemerintah berencana kembali menghidupkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Rencananya, BLT akan mulai disalurkan pekan ini.

Belum jelas berapa nominal yang akan diterima oleh masyarakat. Belum jelas pula berapa jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang akan mendapatkan BLT.


BLT populer saat krisis keuangan global 2008. Krisis yang membuat investor hilang kepercayaan kepada aset-aset keuangan dan memburu komoditas seperti minyak. Akibatnya, harga si emas hitam melonjak sampai di atas US$ 100/barel.



Kala itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih memberikan subsidi yang besar untuk Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk menjaga agar anggaran subsidi tidak membengkak dan membuat APBN berdarah-darah, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpaksa menaikkan harga BBM.


Gara-gara harga BBM naik, harga semua kebutuhan pokok ikut terdongrak. Pada 2008, inflasi domestik mencapai 11,06%.



Agar daya beli masyarakat terjaga, pemerintah memberikan BLT sebesar Rp 100.000 per bulan per RTS selama tujuh bulan. BLT diberikan kepada rumah tangga miskin dan hampir miskin yang berjumlah hampir 19 juta.

BLT mendapatkan kritik tajam. Ada yang bilang BLT tidak mendidik dan merendahkan harga diri karena seolah-olah membuat rakyat menjadi pengemis. Ada juga yang bilang dana BLT berasal dari utang sehingga menjadi beban buat anak-cucu kita pada masa mendatang.


Namun untuk kasus pandemi virus corona sekarang, pemerintah tidak perlu malu dengan BLT. Negara lain juga memberikan bantuan serupa, misalnya Spanyol yang sudah disebut sebelumnya. Bahkan AS pun memberikan BLT kepada rakyatnya senilai US$ 1.200.


BLT memang sudah seharusnya diberikan karena sekarang pilihan bagi para korban PHK relatif terbatas. Mau berdagang sulit, modal tidak ada dan kalaupun ada berisiko 'digaruk' aparat karena bisa menciptakan kerumunan sehingga melanggar PSBB. Berbeda dengan krisis keuangan 2008 bahkan krisis Asia 1998, pandemi virus corona membuat Usaha Mikro, Kecil, dan Mengah (UMKM) terpukul paling depan karena adanya social distancing.

Sekarang masalahnya tinggal seberapa besar nominal BLT dan siapa saja yang berhak menerimanya...

Untuk nominal, indikator yang layak menjadi pertimbangan adalah garis kemiskinan yang mencerminkan besaran konsumsi masyarakat miskin. Per September 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat garis kemiskinan adalah Rp 440.538 per kapita per bulan.



Satu rumah tangga miskin rata-rata memiliki 4,58 anggota pada September 2019. Jadi pengeluaran rumah tangga miskin per bulan rata-rata adalah Rp 2,02 juta.


Jumlah ini yang layak dipertimbangkan untuk menjadi nominal BLT, jangan tanggung-tanggung. Nyuwun sewu, tetapi sepertinya kalau BLT hanya Rp 100.000 per bulan seperti 2008, ya tidak cukup...

Konsep BLT kali ini harus seperti di Spanyol atau AS, bisa menjadi pengganti gaji untuk sementara waktu agar para korban PHK akibat pandemi corona bisa bertahan hidup dengan layak dan manusiawi. Mereka mau tidak mau harus dibantu karena beralih menjadi wirausahawan UMKM berisiko terbentur aturan PSBB.

Selain itu, nilai BLT yang layak juga membuat kelompok masyarakat berpendapatan miskin tidak perlu repot memikirkan hari ini dan besok mau makan apa. Tidak perlu kelayapan di luar rumah untuk mencari nafkah sehingga penyebaran virus corona bisa lebih cepat dikendalikan. Plus meredam risiko gejolak keresahan sosial (social unrest).


Selanjutnya, berapa jumlah RTS yang layak menerima BLT?

Per September 2019, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 24,79 juta orang. Dibagi 4,58 orang per keluarga berarti ada sekitar 5,41 juta rumah tangga.

Akan tetapi, BLT juga harus mencakup mereka yang hampir miskin gara-gara pandemi virus corona. Menurut kajian Bank Dunia, jumlah penduduk yang hampir miskin ini adalah 64,7 juta jiwa pada 2018.

Kala itu, satu rumah tangga miskin rata-rata beranggotakan 4,63 orang. Anggap rumah tangga hampir miskin pun demikian, sehingga jumlah rumah tangga hampir miskin adalah 13,97 juta.


Jadi, total RTS miskin dan hampir miskin yang layak menerima BLT kira-kira ada 19,38 juta. Dengan alokasi Rp 2,02 juta per bulan, maka pemerintah perlu menyiapkan anggaran Rp 39,1 triliun per bulan.

Katakanlah BLT diberikan pada Mei-Desember, berarti delapan bulan. Total kebutuhan dana untuk BLT sampai akhir tahun adalah Rp 312,8 triliun.

Angka itu bukan sembarangan, sudah memakan 77,21% dari total anggaran stimulus fiskal yang Rp 405,1 triliun itu. Andai pemerintah mau fokus memberikan BLT yang layak, maka perlu ada pergeseran anggaran.

Apakah anggaran untuk Kartu Pra-Kerja yang salah satunya memberikan pelatihan membuat kroket itu bisa dialihkan untuk BLT? Monggo dipertimbangkan...



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular