Perry Warjiyo kemarin menyampaikan kabar yang mengejutkan. Bank sentral memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini lumayan tajam, dari 5-5,4% menjadi 4,2-4,6%.
Titik tengah dari angka tersebut adalah 4,4%. Jika pertumbuhan ekonomi Tanah Air tahun ini benar-benar 4,4%, maka akan menjadi yang terendah sejak 2001.
Ini membuat BI lebih pesimistis dibandingkan sejumlah institusi internasional. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 sebesar 5,1%.
Bank Pembangunan Asia (ADB) punya ramalan yang lebih pede yaitu 5,2%. Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memproyeksikan di angka 4,8%, masih lebih optimistis dari MH Thamrin.
Namun proyeksi yang dibikin oleh tiga lembaga tersebut dikeluarkan pada awal tahun. Kemungkinan besar mereka pun akan bersikap seperti BI, merevisi ke bawah perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Melambatnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia menurunkan prospek pertumbuhan ekspor barang Indonesia, meskipun pada Februari 2020 meningkat didorong ekspor batu bara, CPO, dan beberapa produk manufaktur. Ekspor jasa terutama sektor pariwisata diprakirakan juga menurun akibat terhambatnya proses mobilitas antar negara sejalan dengan upaya memitigasi risiko perluasan COVID-19. Investasi non-bangunan berisiko melambat dipengaruhi menurunnya prospek ekspor barang dan jasa serta terganggunya rantai produksi," papar Perry.
Ya, semua gara-gara COVID-19 alias
Coronavirus Desease-19. Virus yang kali pertama menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China. Sekarang virus itu sudah menyebar di lebih dari 150 negara.
Berdasarkan data satelit pemetaan ArcGis pada Kamis (19/3/2020) pukul 21:33 WIB, kasus corona di seluruh dunia mencapai 222.643. Korban jiwa sudah lebih dari 9.000 orang, tepatnya 9.115.
Virus mematikan yang bergentayangan membuat aktivitas publik menjadi terbatas. Sekolah, kampus, kantor pabrik, sampai tempat hiburan tutup untuk menghindari penularan lebih lanjut.
Sejumlah negara bahkan sudah melakukan isolasi, tidak memperbolehkan warganya untuk keluar negeri dan tidak mengizinkan pendatang mancanegara. Ini sudah diterapkan di 26 negara anggota Uni Eropa.
Di beberapa negara bahkan lebih ekstrem lagi yaitu menerapkan karantina wilayah alias
lockdown. Warga benar-benar tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang amat sangat mendesak sekali. Contoh negara yang melakukannya adalah Filipina dan Italia.
"Keputusan paling tepat saat ini adalah tetap di rumah. Masa depan berada di tangan kita semua. Tangan ini harus memikul tanggung jawab lebih besar dari sebelumnya," tegas Giuseppe Conte, Perdana Menteri Italia, seperti diberitakan Reuters.
Upaya untuk menyelamatkan nyawa dan masa depan memang prioritas pertama dan yang paling utama. Namun kebijakan menutup diri tersebut membuat roda perekonomian berjalan lambat, bahkan mungkin berhenti sama sekali.
Ini yang membuat prospek perekonomian global begitu suram karena tidak ada yang tahu sampai kapan penyebaran virus corona akan berhenti. Sepanjang virus masih menghantui, maka aktivitas ekonomi akan terhambat.
Kelesuan ini dialami oleh hampir seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Jadi, wajar saja kalau optimisme Gubernur Perry dan kolega berkurang.
Di sisi mana saja dampak virus corona bakal terasa di perekonomian Indonesia?
Sektor pertama yang paling merasakannya adalah pariwisata. Pemerintah memutuskan untuk menutup jalur penerbangan dan dan ke China, termasuk transit. Pendatang dari negara-negara dengan risiko tinggi seperti Italia, Korea Selatan, dan Iran juga untuk sementara tidak bisa mendatangi Indonesia.
Berharap akan wisatawan nusantara (wisnus) pun berat. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganjurkan agar masyarakat sebisa mungkin tidak beraktivitas di luar rumah. Ada kampanye untuk bekerja, belajar, dan beribadah di dalam rumah.
"Kebijakan belajar di rumah, kebijakan bekerja di rumah, kebijakan beribadah di rumah, jangan sampai kebijakan ini dianggap sebagai sebuah kesempatan untuk liburan. Saya lihat Sabtu, Minggu kemarin di Pantai Carita, di Puncak, lebih ramai dari biasanya," kata Jokowi.
Jadi, sulit untuk mengandalkan kunjungan wisatawan. Tanpa wisatawan, mau jadi apa sektor pariwisata?
World Travel & Tourism Council mencatat pada 2018 sektor pariwisata menyumbang 6% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Ini sudah menggabungkan dampak langsung dan tidak langsung.
Jadi untuk 2020, sepertinya sulit berharap kepada sumbangan 6% ini. Tanpa sumbangan dari sektor pariwisata, pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal.
Selain itu, sektor pariwisata juga menyumbang sekitar 10% dari penciptaan lapangan kerja. Ada sekira 13 juta orang mencari nafkah di sektor ini.
Saat 'lapak' sepi, tentu konsumsi dan daya beli orang-orang yang menggantungkan hidup dari sektor pariwisata akan menurun. Dampaknya akan terasa di di konsumsi rumah tangga, yang dari sisi pengeluaran menyumbang hampir 60% dari PDB Indonesia.
Sektor kedua yang bakal merasakan 'serangan' virus corona adalah industri pengolahan alias manufaktur. Tidak bisa dipungkiri bahwa industri manufaktur nasional masih sangat tergantung pasokan barang impor, terutama untuk bahan baku/penolong.
Masalahnya, pasokan bahan baku/penolong sedang seret. China, negara utama pemasok bahan baku/penolong untuk industri manufaktur Indonesia, masih terpukul akibat virus corona karena banyak pabrik yang belum beroperasi.
Pada Februari 2020, produksi industri China anjlok 13,5%
year-on-year (YoY). Ini adalah catatan terburuk sejak 1990.
Akibatnya, impor bahan baku/penolong Indonesia ikut anjlok. Pada Februari, impor bahan baku/penolong turun 1,5% YoY dan 15,89%
month-on-month.
Minimnya
input bahan baku/penolong pada gilirannya akan menekan
output barang jadi/setengah jadi dari industri manufaktur Indonesia. Oleh karena itu, perlambatan di sektor ini sepertinya adalah sebuah keniscayaan.
Padahal industri manufaktur merupakan kontributor terbesar dalam pembentukan PDB nasional dari sisi sektoral. Tahun lalu, industri manufaktur memberi sumbangsih hampir 20%.
Ketika
output produksi berkurang, maka dunia usaha tentu berpikir ribuan kali untuk melakukan ekspansi. Jangan dulu memikirkan ekspansi, prioritas utama adalah bertahan hidup.
Prospek ekspansi yang suram membuat pertumbuhan investasi alias Penanaman Modal tetap Bruto (PMTB) menjadi penuh tanda tanya. Sementara PMTB adalah kontributor terbesar kedua di PDB Indonesia, hanya kalah dari konsumsi rumah tangga.
Sektor ketiga yang kemungkinan bakal terpukul adalah pertambangan. Pada 2019, sektor ini menyumbang 7,26% dari PDB nasional.
Pertambangan bakal terpukul karena risiko berkurangnya permintaan. Aktivitas ekonomi global yang melambat membuat kebutuhan akan barang tambang berkurang.
Contohnya batu bara. Permintaan batu bara Indonesia paling besar adalah dari China.
Pada Februari, volume pengiriman batu bara Indonesia ke China tercatat 10,85 juta ton. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebanyak 11,54 juta ton.
Pada Maret, sepertinya volume pengiriman si batu hitam dari Indonesia ke China akan turun drastis. Selama periode 1-19 Maret, volume ekspornya hanya 2,85 juta ton.
 Volume Ekspor Batu Bara Indonesia ke China (Refinitiv) |
Permintaan batu bara di China turun karena kebutuhan energi di Negeri Panda juga turun. Maklum, 'hantu' virus corona membuat banyak pabrik masih tutup sehingga kebutuhan energi tidak banyak.
IHS Markit memperkirakan permintaan energi di China pada 2020 akan turun 73 miliar kWh atau sekitar 1,5%. Pada akhirnya permintaan sumber energi primer seperti batu bara akan turun, termasuk dari Indonesia.
Penurunan ekspor batu bara akan mempengaruhi kinerja ekspor secara keseluruhan. Sebab, batu bara adalah komoditas andalan ekspor Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor batu bara Indonesia sepanjang 2019 bernilai US$ 18,87 miliar. Sumbangannya adalah 11,27% dari total ekspor.
Artinya, lagi-lagi Indonesia akan sulit mengandalkan ekspor sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Ekspor menempati urutan ketiga dalam hal sumbangan terhadap PDB dari sisi permintaan dengan pangsa 18.41 pada 2019.
Ternyata terpaan virus corona terhadap perekonomian Indonesia akan dirasakan di banyak sisi. Corona menyerang hampir seluruh sendi ekonomi sehingga sulit berlari kencang.
BI sudah memberi peringatan bahwa dampak virus corona terhadap ekonomi Indonesia tidak main-main. Jadi jangan kaget lagi kalau melihat pertumbuhan ekonomi di bawah 5% karena BI sudah memberi wanti-wanti di depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA