Jakarta, CNBC Indonesia - Perang diĀ
Suriah masih terjadi di wilayah Barat Laut negeri itu. Setidaknya dua wilayah yakni Idlib dan Aleppo tak henti-hentinya digempur suara senapan dan bom.
Dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), banyak warga menjadi korban. Bukan hanya tewas, 900.000 orang juga harus mengungsi akibat perang konflik yang terjadi sejak 2011 itu.
PBB bahkan menyebut krisis kemanusiaan terjadi merupakan yang paling mengerikan saat ini. "Mengerikan," tegas Kepala Urusan Kemanusiaan PBB dan Bantuan Darurat, Mark Lowcock, sebagaimana dikutip dari France24.
Perang yang terjadi di Suriah merupakan situasi yang sangat rumit, tidak sesederhana satu sisi melawan sisi yang lain. Ada tiga pemeran utama dalam konflik Suriah, yakni Tentara Suriah rezim Assad, rezim anti Assad dan (IS).
Namun di sini ada pemain pendukung yang tak kalah penting, yakni seperti Iran, Rusia serta Turki termasuk AS. Namun diantara semuanya, Rusia dan Turki-lah yang terjerumus paling dalam di perang sipil ini.
Rusia mendukung Assad. Sedangkan Turki berada di belakang massa kontra Assad, terutama di daerah Idlib.
Bahkan keduanya tak segan saling serang pernyataan karena konflik Suriah. Kini, Turki dan Rusia pun maju paling depan membahas perdamaian di kawasan itu.
Lalu, mengapa keduanya begitu dalam terlibat?
[Gambas:Video CNBC]
Turki sebenarnya masuk dalam perang sipil di Suriah sejak 2011. Pemerintah Turki mendukung Free Syrian Army, yang menjadi lawan Assad.
Bahkan Turki dengan Organisasi Intelijen Nasional-nya (MIT) melatih khusus tentara FSA. Bukan cuma untuk memerangi tentara Assad, tapi juga memerangi ISIS yang ketika itu tengah jadi musuh bersama di seluruh dunia.
Bergabungnya Turki bukan tanpa alasan. Turki melalui Presidennya Recep Tayyip Erdogan mengatakan Presiden Assad telah melakukan kejahatan perang di wilayah yang berbatasan dengan Turki ini.
Namun sebenarnya, mungkin masalah ini dimulai dari 1999 lalu. Di mana ayah Assad yang memimpin Suriah saat itu mendukung Kurdi untuk masuk dalam pemerintahannya.
Sejak saat itu, kedua negara panas. Bahkan di 2003, Turki menolak untuk bekerja sama dengan koalisi menentang Saddam Hussein, karena ada Suriah di dalamnya.
Sebagaimana dikutip dari Politico, suku kurdi merupakan etnis terbesar di Timur Tengah. Tapi setelah Perang Dunia I, Kurdi tak bisa memiliki negara sendiri, dan tersebar di Turki, Suriah, Irak dan Iran.
Sebagaimana kelompok minoritas, suku ini kerap menghadapi represi. Dengan sokongan dari grup milisi Partai Pekerja Kurdi (PKK), kelompok ini meminta kemerdekaan dari Turki.
Tahun 1980, kekerasan terjadi antara pemerintah Turki dan PKK. Ini membunuh 10 ribu orang. Saat itu PKK disebut sebagai organisasi teroris, baik oleh Ankara, AS maupun Uni Eropa.
Saat perang Suriah terjadi, pemerintah Suriah yang diyakini Turki terafiliasi dengan PKK yakni melalui Unit Proteksi Rakyat (YPG). YPG mengontrol Suriah Barat Laut di kawasan di mana Idlib dan Aleppo berada, yang dekat dengan Turki.
Banyak kelompok berbeda yang memiliki tujuan berbeda, di Suriah, termasuk beberapa kelompok yang didukung oleh al-Qaeda dan ISIS.
Secara teori, Rusia ada untuk melawan ISIS. Namun dalam praktiknya, mereka juga menyerang pemberontak anti-Assad lainnya, beberapa di antaranya juga didukung oleh Barat.
Awalnya Rusia terlibat dengan Suriah dimulai dari kisah masa Perang Dingin, ketika Uni Soviet mendapat pengaruh di Suriah pada 1970-an, memberikan bantuan dan senjata. Tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1990-an, pengaruhnya di Suriah berkurang.
Pada tahun 2000, Vladimir Putin menjadi presiden Rusia dan Bashar al-Assad menjadi presiden Suriah. Mereka tidak memiliki hubungan dekat, tetapi pada pertengahan 2000-an, Putin mulai memperluas militer Rusia ke Suriah.
"Putin mulai berpikir tentang mengembangkan Rusia sebagai kekuatan besar lagi," kata Richard Reeve, direktur Program Keamanan Berkelanjutan di sebuah think-tank keamanan Oxford Research Group, dikutip dari BBC Internasional.
Hubungan Rusia dengan Suriah mulai menguat karena hubungan Perang Dingin mereka sebelumnya. Dukungan Rusia di Suriah juga meningkat secara dramatis ketika ada serangkaian pemberontakan di Timur Tengah dimulai pada musim semi 2011.
Hubungan makin dekat saat pemimpin Libya Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011. Akibatnya, Presiden Putin mulai mencari sekutu di tempat lain di wilayah ini.
Hal ini juga diamini Margot Light, profesor emeritus dalam hubungan internasional di LSE. Namun, ia menegaskan keterlibatan Rusia di Timur Tengah juga sebagai cara untuk eksistensi di kawasan itu.
"Ingin bernegosiasi untuk mengakhiri konflik, Anda tidak bisa mengabaikan pandangan Rusia tentang bagaimana konflik itu harus diselesaikan. Itu bagian dari tekad, sebagian besar oleh Putin, untuk menunjukkan bahwa Rusia adalah kekuatan kuat yang harus diperhitungkan," kata Margot
"Timur Tengah lebih dekat ke Rusia daripada kita [di Inggris], atau AS, sehingga mereka menemukan kerusuhan di sana sebagai ancaman keamanan."
Sementara itu, ada sebuah teori konspirasi yaitu rencana pembangunan pipa gas. Mengutip ANSA, kantor berita Italia, ada rencana untuk membangun jaringan pipa gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dari Qatar yang tersambung sampai ke Eropa.
Pipa tersebut membentang melalui Arab Saudi, Kuwait, dan Irak. Qatar adalah eksportir LNG terbesar di dunia. Pada 2018, ekspor LNG Qatar mencapai 104,8 miliar meter kubik.
"Pipa sudah siap di Turki untuk menerima pasokan gas tersebut. Hanya saja ada penghalang yaitu Al-Assad. Pada 2009, Al-Assad menolak proposal dari Qatar karena menjaga kepentingan sekutunya, Rusia," sebut Felix Imonti, pengamat energi, seperti dikutip dari ANSA.
Rusia adalah pemasok gas utama di Benua Biru. Mengutip data Eurostat, sekitar 37% pasokan gas di Uni Eropa datang dari Negeri Beruang Merah.
Qatar dan Turki yang sudah bersiap membangun jaringan gas tentu gigit jari. Oleh karena itu, Turki menentang kepemimpinan Assad dan Rusia membantu Assad "menangani" Turki.