Ekonomi RI 'Tertular' Virus Corona, Butuh 'Vaksin' BLT

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 February 2020 16:25
Ekonomi RI 'Tertular' Virus Corona, Butuh 'Vaksin' BLT
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Anastasia Arvirianty)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rasanya ekspor bakal sulit diandalkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Oleh karena itu, konsumsi domestik harus digenjot agar pertumbuhan ekonomi tidak lagi di bawah 5%.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor pada Januari 2020 terkontraksi atau tumbuh negatif 3,71% secara year-on-year (YoY). Sementara impor juga terkontraksi 4,78% YoY. Hasilnya, neraca perdagangan defisit US$ 870 juta.



Realisasi ini lebih rendah ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan nilai median pertumbuhan ekspor di 1,37% YoY (YoY). Sementara impor masih menunjukkan kontraksi sebesar 6,24% YoY dan neraca perdagangan diperkirakan tekor US$ 152 juta.

Kinerja perdagangan internasional Indonesia belum bisa bangkit setelah tahun lalu terpukul cukup keras. Sepanjang 2019, neraca perdagangan Indonesia membukukan defisit US$ 3,19 miliar.



Awalnya, ada harapan ekspor mampu bangkit pada 2020. Pasalnya, Amerika Serikat (AS) dan China sudah menyepakati perjanjian damai dagang Fase I. Ini menjadi pertanda berakhirnya perang dagang AS-China yang berlangsung selama hampir dua tahun.

Perang dagang AS-China memang luar biasa. Sebab, keduanya adalah perekonomian terbesar di dunia. Kala AS-China saling hambat, rantai pasok global pun rusak.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mencatat sepanjang Oktober 2018 hingga Oktober 2019 terjadi penerapan bea masuk terhadap importasi produk senilai US$ 747 miliar. Jumlah ini mencapai 27% dari total perdagangan dunia.

Kala hampir 30% dari nilai perdagangan dunia seret, maka dampaknya tentu luar biasa. Ini yang membuat neraca perdagangan Indonesia defisit pada 2018 dan 2019.

Oleh karena itu, damai dagang AS-China memberi harapan besar akan pemulihan rantai pasok global. Ke depan, restriksi perdagangan akan berkurang sehingga ekspor kembali lancar.



Namun sejauh ini harapan tersebut masih jauh panggang dari api. Sebab kini muncul risiko baru bernama penyebaran virus Corona.

Virus ini bermula dari Kota Wuhan di Provinsi Hbei (China). Kebetulan kasusnya terjadi saat musim liburan Tahun Baru Imlek, yang membuat mobilitas masyarakat Negeri Tirai Bambu meningkat pesat. Pergerakan manusia antar-kota dan antar-negara melonjak, yang membuat penyebaran virus Corona semakin cepat.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 09:53 WIB, jumlah kasus Corona di seluruh dunia mencapai 71.331 di mana 70.550 terjadi di China. Sementara korban jiwa mencapai 1.775, empat di antaranya ada di luar China.




Penyebaran virus Corona membuat aktivitas ekonomi menjadi terbatas. Dihantui virus mematikan, masyarakat dan dunia usaha tentu sebisa mungkin menghindari aktivitas di luar rumah.

Akibatnya, roda perekonomian tidak mampu melaju kencang. Ini terjadi terutama di China, episentrum dari virus Corona. Di China, orang-orang yang baru kembali ke Beijing setelah pulang kampung untuk merayakan Tahun Baru Imlek tidak boleh pergi ke mana-mana.

"Mulai sekarang, semua orang yang kembali dari Beijing harus tetap di rumah atau melapor ke kelompok observasi selama 14 hari setelah kedatangan. Barang siapa yang melanggar akan diberikan sanksi sesuai aturan hukum yang berlaku," sebut pengumuman Beijing Virus Prevention Working Group, sebagaimana diberitakan Reuters.

Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China hampir pasti melambat. Reuters melakukan jajak pendapat terhadap 40 ekonom yang hasilnya pertumbuhan ekonomi China kuartal I-2019 diperkirakan sebesar 4,5%. Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 6%.

Untuk pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020, proyeksinya adalah 5,5%. Juga jauh melambat dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 6,1%.

China adalah perekonomian terbesar kedua di dunia, sehingga perlambatan di sana akan mempengaruhi seluruh negara. Apalagi China adalah negara tujuan ekspor utama Indonesia.

Jadi walau AS-China sudah menyelesaikan perang dagang, ada risiko baru yang bisa membuat ekspor Indonesia tetap lesu. Apabila sentimen virus Corona bertahan lama, maka sepertinya ekspor masih sulit diharapkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi.



Senada dengan ekspor, investasi juga berisiko melambat. Ini bisa terlihat dari impor bahan baku/penolong dan barang modal yang terkontraksi masing-masing 7,35% YoY dan 5,26% YoY. Bahan baku/penolong dan barang modal ini akan bertransformasi menjadi investasi dalam beberapa bulan ke depan.

Oleh karena itu, faktor domestik harus mampu menjadi pendongkrak pertumbuhan ekonomi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah berpesan bahwa konsumsi pemerintah harus digenjot agar menjadi stimulus bagi perekonomian nasional.

"Saya ingin kembali lagi menyampaikan, mengingatkan kepada seluruh K/L (Kementerian/Lembaga) agar belanja di bulan-bulan awal ini dipercepat. Terutama yang berkaitan dengan anggaran-anggaran modal, belanja modal. Sekali lagi agar belanjanya dipercepat, ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi," tegas Jokowi, pekan lalu.

Kepala Negara tentu tidak ingin kejadian seperti kuartal I-2019 terulang lagi. Kala itu, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,48% YoY. Konsumsi pemerintah yang loyo membuat pertumbuhan ekonomi tidak sampai 5%, tepatnya di 4,97%.




Itu pertama. Kedua, dan paling penting, adalah menjaga (kalau bisa meningkatkan) konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga adalah kunci, karena menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Cara menjaga konsumsi rumah tangga adalah mempertahankan inflasi tetap rendah. Tidak mudah, karena harga sejumlah bahan pangan mulai melonjak gara-gara pasokan dari China yang menipis. Penyebabnya apa lagi kalau bukan Corona.

Contoh, Indonesia banyak mendatangkan bawang putih dari China, bahkan sekitar 90% bawang putih impor datang dari negara tersebut. Pada Januari-Oktober 2019, nilai impor bawang putih Indonesia dari China adalah US$ 332,91 juta.

Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), rata-rata harga bawang putih ukuran sedang secara nasional pada 21 Januari adalah Rp 35.600/kg. Hari ini, harganya adalah Rp 53.250/kg. Luar biasa...


Cara lain untuk mendorong konsumsi rumah tangga adalah melalui intervensi fiskal. Misalnya dengan pemberian subsidi langsung kepada masyarakat seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Pemberian BLT adalah solusi cepat (quick fix) yang terbukti mampu menjaga konsumsi rumah tangga. Pemerintahan SBY memberi BLT pada 2008 sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. BLT ampuh membuat pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 5,3% pada 2008, bahkan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5%.

Oleh karena itu, mungkin pemerintah perlu memasukkan opsi pemberian BLT jika dampak serangan virus Corona berkepanjangan. Sebab kala ekspor dan investasi lesu, BLT bisa jadi adalah obat yang cespleng untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular