Ulasan 2019

Inflasi 2019: 'Jinak' Sih, Tapi...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 December 2019 09:41
Inflasi 2019: 'Jinak' Sih, Tapi...
Ilustrasi Pasar Tradisional (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi sepanjang 2019 masih 'jinak', sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun alih-alih inflasi terkendali akibat stabilnya harga barang dan jasa, ada tendensi daya beli masyarakat sudah agak terpukul akibat perlambatan ekonomi.

Hingga November 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi berada di 3% secara year-on-year (YoY). Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi sepanjang 2019 sekitar 3,1%.

Sejak 2016, inflasi Indonesia relatif stabil di kisaran 3%. Sesuatu yang belum pernah terjadi, setidaknya sejak 1997.

 


Sampai November, inflasi domestik masih didominasi oleh komponen harga bergejolak (volatile goods, terutama bahan makanan) yaitu 5,02% YoY. Inflasi kelompok bahan makanan menjadi penyumbang terbesar dengan laju 4,97% YoY hingga November.

Dari sini terlihat bahwa ekonomi Indonesia masih bergeliat. Dunia usaha berani menaikkan harga karena tahu konsumen masih mampu membeli.


Akan tetapi, sejak Agustus terlihat tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Indeks Harga Konsumen (IHK) kelompok harga bergejolak menurun, pertanda optimisme dunia usaha mulai melambat. Sudah ada kecemasan bahwa konsumen tidak mampu mengikuti kenaikan harga, sehingga dunia usaha menyesuaikan dengan menurunkan harga jual.

Kekhawatiran itu terkonfirmasi dengan perlambatan laju inflasi inti. Pada November, inflasi inti tercatat 3,08% YoY, terendah sejak April. Inflasi inti menurun dalam dua bulan terakhir.

 

Untuk mengecek keterkaitan inflasi dan konsumsi, yang bisa menjadi rujukan adalah inflasi inti. Komponen ini menggambarkan pengeluaran yang bersifat persisten, susah turun-naik.

Selama inflasi inti masih terakselerasi, berarti masyarakat masih mau membeli barang dan jasa yang harganya cenderung stabil. Ketika harga barang dan jasa yang semacam ini masih bisa naik, artinya konsumsi masih tumbuh sehat.

Namun yang terjadi sejak Oktober adalah perlambatan laju inflasi inti. Ini bisa diartikan bahwa konsumen mulai menahan diri. Pelemahan konsumsi sepertinya sudah tidak bisa dipungkiri lagi.

Baca: Tak Bisa Dipungkiri Lagi, RI Kena Virus Pelemahan Konsumsi


Konsumsi sudah merasakan dampak dari pelemahan ekspor dan investasi. Ekspor sudah mengalami kontraksi alias pertumbuhan negatif selama 13 bulan beruntun. Sementara investasi (yang dicerminkan dengan Penanaman Modal Tetap Bruto/PMTB) hanya tumbuh 4,21%, terlemah sejak kuartal II-2016.

 


Indonesia tidak bisa mengelak dari perekonomian global yang penuh guncangan. Perang dagang, utamanya Amerika Serikat (AS) vs China, menjadi isu utama. Saling hambat dalam perdagangan yang dilakukan oleh dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi ini membuat ekspor dan investasi tertekan.

Ekspor dan investasi yang bermasalah tentu menyebabkan tekanan di pasar tenaga kerja. Pada Agustus 2019, tingkat partisipasi angkatan kerja adalah 67,49%. Hanya naik 0,34% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, laju yang relatif minim.

 

Baca: Di Agustus 2019, Jumlah Orang Menganggur Naik Jadi 7,05 Juta

Perlambatan pertumbuhan penciptaan lapangan kerja sudah pasti memperlambat laju konsumsi. Oleh karena itu, kunci untuk mendorong laju konsumsi dan pertumbuhan ekonomi adalah dengan meningkatkan penciptaan lapangan kerja.

Menambah lapangan kerja berarti investasi harus ditingkatkan. Seluruh pembuat kebijakan, baik di sisi moneter dan fiskal, perlu all out untuk memastikan Indonesia semakin ramah investasi.


Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan empat kali sepanjang tahun ini. Penurunan paling agresif sejak 2016. Harapannya adalah suku bunga kredit perbankan bisa ikut turun sehingga menumbuhkan minat korporasi untuk mengakses pembiayaan.

 

Baca: Makin Lambat, Kredit Perbankan Oktober 2019 Cuma Tumbuh 6,53%

Jadi kalau dari sisi penawaran sudah dilakukan upaya perbaikan, tinggal di sisi permintaan. Di sini menjadi tugas pemerintah untuk memastikan bahwa iklim investasi sudah kondusif sehingga dunia usaha mau menanamkan modalnya.

Bagaimana caranya? Bisa dengan insentif fiskal.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan akan menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 20%. Namun ini bukan langkah yang mudah, karena harus melalui amandemen UU PPh yang melibatkan DPR.

Pemerintah harus menyusun naskah akademik, dan kemudian DPR membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) serta mengundang masukan dari para pemangku kepentingan. Setelah proses itu kelar, baru bisa masuk masa pembahasan di komisi terkait. Proses pembahasan ini tentu memakan waktu.

Kemudian, Presiden Jokowi juga menjanjikan sebuah terobosan besar untuk menarik investasi bernama Omnibus Law. Nantinya, aturan ini akan mengumpulkan puluhan regulasi terkait investasi menjadi satu. Jadi investor tidak perlu melihat puluhan regulasi, cukup mengacu pada satu saja.


Akan tetapi, lagi-lagi ini akan harus melalui prosedur legislasi di parlemen. Sifat Omnibus Law yang palu gada (apa lu mau gua ada) itu membuatnya harus dibahas oleh berbagai komisi yang pastinya makan waktu lebih panjang.

Jadi, sekarang bola ada di pemerintah. Kira-kira apakah berbagai 'pemanis' untuk menarik investasi itu bisa dipercepat atau tidak? Kalau tidak, maka pelemahan konsumsi bakal sulit ditanggulangi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular