Inflasi 2019 Rendah Gara-gara Daya Beli Bermasalah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 January 2020 09:19
Inflasi 2019 Rendah Gara-gara Daya Beli Bermasalah?
Ilustrasi Gerai Ritel (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi 2019 yang sebesar 2,72%. Ini adalah laju paling lambat sejak 1999.

Inflasi rendah bisa dilihat dari dua kacamata. Pertama, keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan harga terutama kebutuhan pokok.

Namun untuk yang satu ini, sepertinya pemerintah tidak bisa melakukan klaim. Pasalnya, inflasi kelompok barang dengan harga bergejolak (volatile goods, yang sebagian besar adalah bahan pangan) tercatat 4,3% pada 2019. Lebih tinggi ketimbang pencapaian 2018 yang sebesar 3,39%.

Di kelompok ini, komoditas yang memberi sumbangan signifikan terhadap inflasi adalah cabai merah (andil inflasi 0,15%), bawang merah (0,1%), ikan segar (0,09%), dan bawang putih (0,06%). Sepertinya pemerintah masih belum mampu mengendalikan harga berbagai komoditas ini secara optimal.


Sudut pandang kedua adalah inflasi rendah adalah buah dari daya beli yang bermasalah. Untuk melihat daya beli, indikator yang kerap digunakan adalah inflasi inti.

Sepanjang 2019, laju inflasi inti pada 2019 tercatat 3,02%. Sedikit melambat dibandingkan 2018 yakni 3,07%.



Inflasi inti adalah kelompok barang dan jasa yang harganya susah naik-turun atau persisten. Ketika inflasi inti terakselerasi, tandanya konsumen masih mau membayar lebih tinggi untuk barang dan jasa yang sebenarnya harganya susah naik. Ini adalah cerminan daya beli yang sehat.

Namun pada 2019, terlihat ada sedikit perlambatan inflasi inti. Artinya, harus diakui bahwa konsumsi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja.

"Warning. Saya menilai ini segera jaga-jaga, karena inflasi inti kalau bisa 3,1%," ungkap Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers di kantornya, kemarin.



Konsumsi sudah merasakan pahitnya kinerja ekspor dan investasi. Ekspor Indonesia sampai November 2019 masih terkontraksi alias tumbuh negatif. Bahkan ekspor sudah mengalami kontraksi selama 13 bulan beruntun.

 

Baca: IMF: Perang Dagang Pangkas Pertumbuhan Global ke Titik Nadir

Kala ekspor lesu, dunia usaha pun enggan melakukan ekspansi. Ini terlihat dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di zona kontraksi selama enam bulan terakhir.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Jika di bawah 50, maka berarti dunia usaha belum melakukan ekspansi.




Saat produksi berkurang karena kontraksi di sektor manufaktur, pendapatan rumah tangga akan terpengaruh. Ini terlihat dari indeks penghasilan saat ini yang merupakan bagian dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Pada November 2019, indeks penghasilan saat ini berada di 119,6. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya tetapi sepanjang 2019 terlihat ada tren penurunan.



Situasi ini membuat rumah tangga mulai mengurangi konsumsi, terutama pembelian barang-barang tahan lama (durable goods). Indeks pembelian barang tahan lama pada November 2019 adalah 113,6. Naik dibandingkan bulan sebelumnya tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ada tren bergerak ke selatan sejak pertengahan 2019.




Sementara ndeks ekspektasi penghasilan enam bulan mendatang pada November 2019 adalah 151,2. Juga lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya tetapi berada dalam tren penurunan.



"Kondisi daya beli ini membutuhkan perhatian lebih terutama dari otoritas fiskal, bagaimana program Bantuan Sosial ke depan harus disalurkan dengan lebih efektif. Pada kuartal I-2020, perekonomian domestik akan lebih membutuhkan dukungan investasi dan belanja pemerintah karena daya beli berisiko tergerus karena kenaikan harga rokok, iuran BPJS, dan sejumlah tarif jalan tol yang berlaku mulai 1 Januari," papar Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, dalam risetnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular