
Jelang #MUNLIV, Apakah Liverpool adalah MU yang Dulu?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 October 2019 14:04

5. Menyampaikan Pesan dengan Tepat
Dalam berkomunikasi dengan pemain, Ferguson sangat berhati-hati dalam memilih kalimat. Termasuk ketika Ferguson menyampaikan kepada seorang pemain bahwa dia tidak akan bermain.
"Ini tidak mudah, dan saya mungkin membuat kesalahan. Namun saya pikir ini adalah yang terbaik bagi tim," begitu cara Ferguson.
Klopp juga demikian. Kala semifinal leg II melawan Barcelona di Anfield, Klopp memutuskan untuk tidak memasang Giorginio Wijnaldum di starting XI. Wijnladum sempat bertanya-tanya, tetapi Klopp menegaskan tim membutuhkan Wijnaldum pada saat yang tepat.
Benar saja. Wijnaldum yang baru masuk pada babak II menggantikan Andrew Robertson yang cedera berhasil mencetak dua gol dan menjadi pemain penting yang meloloskan Liverpool ke final. Andai Wijnaldum bermain sejak awal pertandingan, apakah hasilnya akan sama?
6. Bersiap untuk Menang
Ferguson tidak pernah menyiapkan tim untuk sekadar seri, apalagi kalah. Menang adalah tujuan, tidak bisa ditawar.
Oleh karena itu, United era Ferguson dikenal tidak kenal lelah sehingga kerap mencetak gol pada menit-menit akhir pertandingan. Fergie Time...
Kini, Liverpool di bawah asuhan Klopp seakan melakukan hal serupa. Seperti yang sudah disebutkan, walau bermain jelek tetapi Liverpool masih bisa menang.
Liverpool yang punya determinasi tinggi juga sering mencetak gol pada Fergie Time. Musim lalu, Liverpool mencetak 18 gol pada menit 80 ke atas. Terbanyak di antara tim Liga Primer lainnya.
7. Mengandalkan Kekuatan Observasi
"Untuk memahami aspek teknis sepakbola, seorang pelatih harus bisa membuat keputusan yang tepat. Inilah sebabnya observasi adalah kunci dalam struktur manajemen," kata Ferguson.
Kekuatan observasi ini yang membuat Klopp begitu efisien di bursa transfer. Hampir tidak pemain yang direkrutnya terbuang sia-sia. Mungkin hanya Naby Keita yang belum kunjung menunjukkan permainan terbaik, tetapi itu lebih karena faktor cedera. Selebihnya, rekrutan Klopp berhasil membuat Liverpool menjadi kekuatan yang mengerikan.
Klopp punya Ian Graham, Direktur Riset, untuk memberinya masukan soal pemain-pemain potensial yang perlu dipantau. Nama-nama seperti Mohamed Salah sampai Alisson Becker datang dari kantor Graham.
"Analisis data, karena sekarang seperti inilah sepakbola. Seorang manajer punya ratusan hal yang perlu diperhatikan, tetapi Juergen benar-benar menyimak penjelasan saya," kata Graham, seperti dikutip dari Liverpool Echo.
Â
8. Tidak Pernah Berhenti Beradaptasi
Ferguson menukangi United selama lebih dari 20 tahun, dan selama itu mayoritas diisi oleh kejayaan. Padahal sepakbola era 1980-an tentu berbeda dengan 2000-an, tetapi Ferguson tetap konsisten membawa United ke jalur kemenangan.
"Saya harus terus berubah, menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kami harus terus sukses, sehingga saya tidak punya pilihan selain menjadi lebih baik," kata Ferguson.
Sikap seperti ini diterapkan oleh Klopp. Kala dipecundangi Barcelona 0-3 di leg I semifinal Liga Champions musim lalu, Klopp mengubah pola permainan pada leg II.
Wijnaldum dipasang pada babak II di posisi nomor 10, bukan posisi naturalnya. Meski tidak dibekali skill layaknya Ronaldinho atau Philippe Coutinho, Wijnaldum berhasil memainkan peran itu dengan muncul dari belakang sebagai finisher.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Dalam berkomunikasi dengan pemain, Ferguson sangat berhati-hati dalam memilih kalimat. Termasuk ketika Ferguson menyampaikan kepada seorang pemain bahwa dia tidak akan bermain.
"Ini tidak mudah, dan saya mungkin membuat kesalahan. Namun saya pikir ini adalah yang terbaik bagi tim," begitu cara Ferguson.
Benar saja. Wijnaldum yang baru masuk pada babak II menggantikan Andrew Robertson yang cedera berhasil mencetak dua gol dan menjadi pemain penting yang meloloskan Liverpool ke final. Andai Wijnaldum bermain sejak awal pertandingan, apakah hasilnya akan sama?
6. Bersiap untuk Menang
Ferguson tidak pernah menyiapkan tim untuk sekadar seri, apalagi kalah. Menang adalah tujuan, tidak bisa ditawar.
Oleh karena itu, United era Ferguson dikenal tidak kenal lelah sehingga kerap mencetak gol pada menit-menit akhir pertandingan. Fergie Time...
Kini, Liverpool di bawah asuhan Klopp seakan melakukan hal serupa. Seperti yang sudah disebutkan, walau bermain jelek tetapi Liverpool masih bisa menang.
Liverpool yang punya determinasi tinggi juga sering mencetak gol pada Fergie Time. Musim lalu, Liverpool mencetak 18 gol pada menit 80 ke atas. Terbanyak di antara tim Liga Primer lainnya.
7. Mengandalkan Kekuatan Observasi
"Untuk memahami aspek teknis sepakbola, seorang pelatih harus bisa membuat keputusan yang tepat. Inilah sebabnya observasi adalah kunci dalam struktur manajemen," kata Ferguson.
Kekuatan observasi ini yang membuat Klopp begitu efisien di bursa transfer. Hampir tidak pemain yang direkrutnya terbuang sia-sia. Mungkin hanya Naby Keita yang belum kunjung menunjukkan permainan terbaik, tetapi itu lebih karena faktor cedera. Selebihnya, rekrutan Klopp berhasil membuat Liverpool menjadi kekuatan yang mengerikan.
Klopp punya Ian Graham, Direktur Riset, untuk memberinya masukan soal pemain-pemain potensial yang perlu dipantau. Nama-nama seperti Mohamed Salah sampai Alisson Becker datang dari kantor Graham.
"Analisis data, karena sekarang seperti inilah sepakbola. Seorang manajer punya ratusan hal yang perlu diperhatikan, tetapi Juergen benar-benar menyimak penjelasan saya," kata Graham, seperti dikutip dari Liverpool Echo.
8. Tidak Pernah Berhenti Beradaptasi
Ferguson menukangi United selama lebih dari 20 tahun, dan selama itu mayoritas diisi oleh kejayaan. Padahal sepakbola era 1980-an tentu berbeda dengan 2000-an, tetapi Ferguson tetap konsisten membawa United ke jalur kemenangan.
"Saya harus terus berubah, menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kami harus terus sukses, sehingga saya tidak punya pilihan selain menjadi lebih baik," kata Ferguson.
Sikap seperti ini diterapkan oleh Klopp. Kala dipecundangi Barcelona 0-3 di leg I semifinal Liga Champions musim lalu, Klopp mengubah pola permainan pada leg II.
Wijnaldum dipasang pada babak II di posisi nomor 10, bukan posisi naturalnya. Meski tidak dibekali skill layaknya Ronaldinho atau Philippe Coutinho, Wijnaldum berhasil memainkan peran itu dengan muncul dari belakang sebagai finisher.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular