Jelang #MUNLIV, Apakah Liverpool adalah MU yang Dulu?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 October 2019 14:04
Klopp Membangun Fondasi
Juergen Klopp, Manajer Liverpool (REUTERS/Kai Pfaffenbach)
1. Membangun Fondasi.

Kala datang ke United pada 1986, Ferguson menekankan bahwa fokusnya adalah membangun masa depan. Pemain-pemain dari akademi digembleng dan diberi kepercayaan, hingga terciptalah mereka yang akrab dengan sebutan Class of 1992.

Sedikit banyak Klopp mencoba menerapkan ini. Trent Alexnder-Arnold, bek kanan yang baru berusia 21 tahun, kini menjelma menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Bahkan Alexander-Arnold sudah masuk ke Guiness Book of World's Record sebagai bek dengan assist terbanyak yaitu 12 pada musim lalu.

Perlahan, Klopp juga memberikan jam terbang kepada pemain-pemain muda. Rhian Brewster, Curtis Jones, Ki-Jana Hoever, sampai Harvey Elliott adalah talenta-talenta yang prospektif. Dengan polesan yang tepat, bukan tidak mungkin mereka bisa menjadi fondasi kesuksesan Liverpool pada masa mendatang.

2. Berani untuk Membongkar Ulang Tim

"Kami mengidentifikasi pemain-pemain dalam tiga level yaitu berusia 30 tahun ke atas, 23-30 tahun, dan anak-anak muda. Idenya adalah pemain-pemain muda akan berkembang dan mencapai standar para pemain senior. Hasilnya adalah sebuah tim yang punya siklus," demikian kata Ferguson.

Well, membongkar tim yang sudah ada juga dilakukan oleh Klopp. Hanya Adam Lallana, James Milner, dan Divock Origi yang masih bertahan di tim yang disusun Klopp pada laga perdananya menghadapi Tottenham Hotspur empat tahun lalu.

Klopp boleh dibilang sudah membangun tim sesuai dengan visinya. Kini, Liverpool sudah menjadi sebuah unit gegenpressing yang utuh. Kala kehilangan bola, seluruh pemain langsung mengubah mode dengan menerapkan pressing tinggi, dan kala bola berhasil direbut kembali pola permainan berubah menjadi serangan cepat.

"Untuk saat ini, saya tidak ingin pemain Barcelona, Bayern, atau Dortmund. Saya bahagia dengan tim saya. Ini adalah tim yang membuat saya bahagia," tegas Klopp, seperti diberitakan Reuters.

3. Menetapkan Standar Tinggi

Roy Keane, eks kapten United era Ferguson, pernah mengungkapkan sesuatu yang mencerminkan betapa tingginya standar di Old Trafford kala itu. "Anda bermain di United untuk menang. Demi Tuhan, di ruang ganti zaman saya kalau ada yang bilang finis di posisi empat adalah sebuah pencapaian, maka dia akan dibantai," tegasnya kala menjadi pandit, seperti dikutip dari Sky Sports.

Standar serupa juga diterapkan oleh Klopp, terutama setelah melihat kontestasi musim lalu. Penampilan Liverpool yang nyaris sempurna pun tidak bisa membuahkan trofi Liga Primer. Oleh karena itu, Klopp ingin agar Liverpool semakin dekat dengan kesempurnaan.

"Musim lalu kami tampil sangat luar biasa. Namun selama masih ada City, dengan segala kualitas dan kekuatan finansialnya, maka tidak ada tim yang bisa dengan mudah melampaui mereka. Jadi, kami harus sangat-sangat dekat dengan kesempurnaan agar bisa menjuarai Liga Primer.

"Kami harus membuat langkah besar, dan saya berharap pemain-pemain mengeluarkan lebih banyak lagi. Walau hasilnya entah bagaimana, lakukan saja," papar Klopp, seperti dikutip dari ESPN.

Well, sejauh ini catatan Liverpool masih sempurna di Liga Primer. Mungkin kah ini adalah kesempurnaan yang dicari oleh Klopp?

4. Tidak Pernah Kehilangan Kontrol

Ferguson adalah sosok yang tegas, tidak pernah kehilangan wibawa di depan para pemainnya. Salah satu bentuknya adalah mengomeli anak asuhnya habis-habisan ketika ada yang berbuat kesalahan. Sesuatu yang oleh pemainnya disebut hairdyer treatment.

Pemain-pemain besar macam Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo saja pernah disemprot. Bahkan yang disebut terakhir sampai menangis.

"Kau pikir siapa dirimu? Mau bermain sendiri? Kau tidak akan bisa menjadi pemain hebat kalau seperti ini terus!" tegas Ferguson kepada CR7 di ruang ganti kala jeda babak I pertandingan United vs Charlton Athletic pada musim 2005/2006. Ronaldo pun tidak kuasa membendung air mata.

Klopp, walau dikenal periang, juga punya ketegasan yang tidak bisa ditawar. Salah satu korbannya adalah Mamadou Sakho.

Klopp sebenarnya menyukai bek tengah Prancis ini. Terbukti Sakho menjadi pilar kala Liverpool menembus babak final Liga Europa musim 2015/2016.

Namun Sakho melakukan beberapa tindakan indisipliner. Dia melakukan diet obat tanpa berkonsultasi dengan dokter klub, sehingga kala Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) menggelar tes doping acak, Sakho dianggap positif. Obat diet yang dikonsumsinya ternyata tidak 'halal' bagi olahragawan.

Sakho juga terlambat datang ke bandara kala tim akan berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk tur pra-musim. Ada lagi, Sakho terlambat datang saat makan bersama.

Jengah, Klopp pun tidak lagi memasukkan Sakho dalam rencananya. Kini, yang bersangkutan bermain di Crystal Palace.

(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular