
Curhat Pengusaha Karet Soal Spekulan dan Jatuhnya Harga
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
27 November 2018 14:26

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga karet di pasar internasional menjadi salah satu komoditas RI yang tengah terpuruk.
Seperti diketahui, harga karet sepanjang 2018 (year-to-date/YTD) sudah turun parah sekitar 25,16%, berdasarkan data kontrak acuan Tokyo Commodity Exchange (TOCOM).
Kejatuhan harga karet sebenarnya tidak hanya terjadi di tahun ini. Harga karet bahkan sudah amblas nyaris 22% di sepanjang tahun 2017. Artinya, sudah dua tahun terakhir harga karet terjun bebas.
Berbicara kepada CNBC Indonesia, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo, mengungkapkan bahwa di bulan ini harga karet berfluktuasi di kisaran US$ 1.250-1.300 per metrik ton (MT).
Sejatinya, harga yang ideal menurutnya ada di level US$ 1.800 per metrik ton.
"Padahal, di akhir 2016 sampai awal 2017 harganya masih di kisaran US$ 2.200/MT. Gelombang paling jelek sendiri terjadi sebelumnya, di awal 2016 harganya pernah hampir menyentuh US$ 1.000/MT," kata Moenardji melalui telepon, Senin (26/11/2018).
Menurut Moenardji, kejatuhan harga ini disebabkan beberapa faktor.
Pertama, kondisi perekonomian global saat ini yang turut mencerminkan konsumsi bahan baku industri yang melemah, termasuk industri ban sebagai pengguna karet alam.
Kedua, faktor cuaca di negara-negara produsen utama, yakni Thailand, Indonesia, Vietnam dan Malaysia yang total menyuplai 75% dari produksi karet global.
Ketiga adalah gambaran fundamental supply and demand di pasar global. Seringkali terjadi ketidakakuratan dalam hal ini yang akhirnya menciptakan kesan seolah-olah suplai karet di tingkat global berlebihan (oversupply).
Tata cara perdagangan (trading syle) komoditas karet di tingkat internasional menurut Moenardji cenderung seringkali tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.
"Ini debatable dan tidak selalu reasonable dan akhirnya menciptakan faktor keempat, yakni spekulan. Harga menjadi tertekan. Jadi memang lebih banyak faktor luar negeri," jelasnya.
Menurut Moenardji, dengan medan tantangan yang lebih banyak di luar negeri, pihaknya membutuhkan peran aktif pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dalam melakukan lobi-lobi.
"Kita perlu Kemendag terus berbicara dalam forum ITRC [International Tripartite Rubber Council] untuk mencari celah-celah dan menempatkan harga yang lebih sehat sesuai kondisi fundamental, termasuk menghindari aspek-aspek ketidakakuratan tadi," harapnya.
ITRC sendiri saat ini baru beranggotakan Thailand, Indonesia dan Malaysia. Moenardji berharap peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turut mendorong agar Vietnam dapat segera bergabung.
Dengan bergabungnya Vietnam, Moenardji yakin keempat produsen utama ini dapat lebih berperan aktif dalam mengendalikan suplai dan akhirnya mengontrol harga karet agar lebih stabil.
Dia pun menyambut baik rencana pemerintah meningkatkan konsumsi karet dalam negeri melalui pengaspalan jalan. Menurutnya, ini resep yang dulu disuarakan oleh ITRC.
"Di tahun 2015, Gapkindo yang mendorong Menteri Perdagangan, waktu itu Pak Gobel supaya pemerintah lebih banyak membangun infrastruktur jalan. Dengan menggunakan karet, kualitas jalan lebih tahan lama dan awet," ujarnya.
Dia menjelaskan, sesuai saran ITRC, penggunaan karet ke dalam aspal jalan adalah sesuatu yang baru.
Dengan demikian, apabila Indonesia dapat mendorong negara-negara lain untuk menerapkan hal serupa, diharapkan akan terjadi adjustment stock di level global sehingga harga naik.
(ray) Next Article Spekulan Diduga Permainkan Harga Karet Global!
Seperti diketahui, harga karet sepanjang 2018 (year-to-date/YTD) sudah turun parah sekitar 25,16%, berdasarkan data kontrak acuan Tokyo Commodity Exchange (TOCOM).
Kejatuhan harga karet sebenarnya tidak hanya terjadi di tahun ini. Harga karet bahkan sudah amblas nyaris 22% di sepanjang tahun 2017. Artinya, sudah dua tahun terakhir harga karet terjun bebas.
Sejatinya, harga yang ideal menurutnya ada di level US$ 1.800 per metrik ton.
"Padahal, di akhir 2016 sampai awal 2017 harganya masih di kisaran US$ 2.200/MT. Gelombang paling jelek sendiri terjadi sebelumnya, di awal 2016 harganya pernah hampir menyentuh US$ 1.000/MT," kata Moenardji melalui telepon, Senin (26/11/2018).
![]() |
Menurut Moenardji, kejatuhan harga ini disebabkan beberapa faktor.
Pertama, kondisi perekonomian global saat ini yang turut mencerminkan konsumsi bahan baku industri yang melemah, termasuk industri ban sebagai pengguna karet alam.
Kedua, faktor cuaca di negara-negara produsen utama, yakni Thailand, Indonesia, Vietnam dan Malaysia yang total menyuplai 75% dari produksi karet global.
Ketiga adalah gambaran fundamental supply and demand di pasar global. Seringkali terjadi ketidakakuratan dalam hal ini yang akhirnya menciptakan kesan seolah-olah suplai karet di tingkat global berlebihan (oversupply).
Tata cara perdagangan (trading syle) komoditas karet di tingkat internasional menurut Moenardji cenderung seringkali tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.
"Ini debatable dan tidak selalu reasonable dan akhirnya menciptakan faktor keempat, yakni spekulan. Harga menjadi tertekan. Jadi memang lebih banyak faktor luar negeri," jelasnya.
Menurut Moenardji, dengan medan tantangan yang lebih banyak di luar negeri, pihaknya membutuhkan peran aktif pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dalam melakukan lobi-lobi.
"Kita perlu Kemendag terus berbicara dalam forum ITRC [International Tripartite Rubber Council] untuk mencari celah-celah dan menempatkan harga yang lebih sehat sesuai kondisi fundamental, termasuk menghindari aspek-aspek ketidakakuratan tadi," harapnya.
ITRC sendiri saat ini baru beranggotakan Thailand, Indonesia dan Malaysia. Moenardji berharap peran Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turut mendorong agar Vietnam dapat segera bergabung.
Dengan bergabungnya Vietnam, Moenardji yakin keempat produsen utama ini dapat lebih berperan aktif dalam mengendalikan suplai dan akhirnya mengontrol harga karet agar lebih stabil.
Dia pun menyambut baik rencana pemerintah meningkatkan konsumsi karet dalam negeri melalui pengaspalan jalan. Menurutnya, ini resep yang dulu disuarakan oleh ITRC.
"Di tahun 2015, Gapkindo yang mendorong Menteri Perdagangan, waktu itu Pak Gobel supaya pemerintah lebih banyak membangun infrastruktur jalan. Dengan menggunakan karet, kualitas jalan lebih tahan lama dan awet," ujarnya.
Dia menjelaskan, sesuai saran ITRC, penggunaan karet ke dalam aspal jalan adalah sesuatu yang baru.
Dengan demikian, apabila Indonesia dapat mendorong negara-negara lain untuk menerapkan hal serupa, diharapkan akan terjadi adjustment stock di level global sehingga harga naik.
(ray) Next Article Spekulan Diduga Permainkan Harga Karet Global!
Most Popular