AS Tuduh RI Langgar Keputusan WTO, Minta Ganti Rugi Rp 5 T

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
08 August 2018 06:53
AS secara resmi meminta adanya sanksi bagi Indonesia itu sesuai surat yang dikirimkan oleh delegasi AS ke WTO pada 2 Agustus 2018.
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) mengungkap industri di dalam negerinya menderita kerugian hingga US$350 juta (Rp 5 triliun) akibat kebijakan dagang Indonesia.

Kebijakan itu sendiri saat ini sudah dicabut oleh Indonesia karena larangan WTO.


Seperti diketahui, kebijakan dimaksud terkait terkait importasi hortikultura, hewan dan produk hewan yang diberlakukan RI pada 2012. AS menilai hal itu merupakan upaya pembatasan dan pelarangan impor, sehingga merugikan dunia usaha Negeri Paman Sam.

Sebagai bentuk tanggung jawab RI, AS meminta izin WTO untuk bisa menangguhkan pemberian konsesi tarif dan/atau kewajiban lainnya kepada Indonesia dengan batas jumlah menyesuaikan kerugian yang dialami industri Negeri Paman Sam itu.

"Kompensasi dengan penghentian konsesi bagi RI, dan bukan RI kena denda," jelas Hasan Kleib, Duta Besar Indonesia di Jenewa sekaligus Wakil Tetap Indonesia untuk PBB, WTO dan organisasi internasional lainnya, melalui keterangan tertulis dikutip Rabu (8/8/2018).

Adapun Negeri Paman Sam secara resmi meminta adanya sanksi bagi Indonesia itu sesuai surat yang dikirimkan oleh delegasi AS ke WTO pada 2 Agustus 2018.


"Delegasi AS untuk WTO mengirimkan surat ke Ketua DSB [dispute settlement body] WTO dan meminta diadakan pertemuan DSB guna membahas otoritasi bagi AS untuk dapat menangguhkan pemberian konsesi tarif dan/atau kewajiban lainnya kepada Indonesia," kata Hasan.

Langgar Keputusan WTO

Dia mengatakan AS berpendapat bahwa RI belum sepenuhnya mematuhi keputusan WTO pada 22 November 2017, yang meminta agar RI mengubah sejumlah kebijakan di bidang importasi hortikultura, hewan dan produk hewan.

Hasan menceritakan sengketa terkait kasus importasi itu pertama kali dibahas di WTO pada 8 Mei 2014. Pembahasan itu melibatkan tiga negara yakni RI (pemilik kebijakan) dan AS serta Selandia Baru (negara yang berkeberatan). Namun, ketiga negara tidak menemui titik temu sehingga kemudian WTO membentuk panel.


Pada 22 Desember 2016, panel merilis laporan yang akhirnya memenangkan tuntutan AS dan Selandia Baru. RI kemudian melakukan banding pada 17 Februari 2017. Sayangnya, lagi-lagi keputusan banding pada 9 November 2017 memenangkan AS dan Selandia baru.

RI lalu diminta mengubah kebijakan importasi sesuai yang disengketakan AS dan Selandia Baru secara penuh pada 22 November 2017.

"Sesuai kesepakatan antara RI, AS dan Selandia Baru, maka disepakati reasonable period of time [RPT] untuk merevisi kebijakan-kebijakan tersebut dalam berbagai peraturan importasi dimaksud adalah 8 bulan terhitung tanggal disahkannya laporan banding dan panel yaitu tanggal 22 November 2017 [sehingga batas waktu revisi peraturan hingga 22 Juli 2018]," ujar Hasan.

"Sebenarnya sesuai kesepakatan RPT, RI telah melakukan revisi-revisi berbagai kebijakan importasi terkait sesuai yang disengketakan dan sejalan dengan ketentuan WTO. Namun, pihak AS masih melihat ada beberapa yang belum sesuai dan karenanya meminta diadakan sidang DSB [agar AS dapat menjatuhkan sanksi ke RI] sesuai permintaan tanggal 2 Agustus 2018 tersebut," tambah Hasan.

(ray/prm) Next Article Dari Positif Jadi Kacau: Ketika RI Digugat AS Rp 5 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular