Internasional

4 Senjata Ampuh China untuk Kalahkan AS dalam Perang Dagang

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
23 July 2018 13:50
4 Senjata Ampuh China untuk Kalahkan AS dalam Perang Dagang
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, Amerika Serikat (AS) kembali melancarkan serangan dalam perang dagang dengan China ketika mengungkapkan sebuah daftar tarif yang rencananya diterapkan ke produk impor China senilai US$200 miliar (Rp 2.892 triliun).

Sementara itu, China sampai saat ini telah menyamakan tarifnya secara dolar terhadap produk impor AS. Kedua negara sama-sama telah memberlakukan tarif terhadap produk senilai US$34 miliar di bulan Juni. Jika AS terus menyerang, maka China harus menggunakan perangkat senjata berbeda dan lebih merusak.

Secara teori, AS bisa memberlakukan tarif terhadap produk China senilai US$505 miliar yang merupakan total nilai dalam dolar dari produk-produk impor China ke AS di tahun 2017. Presiden AS Donald Trump sudah mengatakan dia mau menerapkan tarif ke semua produk itu jika diperlukan pada hari Jumat (27/7/2018).

Sementara itu, China hanya mengimpor produk AS senilai US$130 miliar, sehingga tidak mungkin Negara Tirai Bambu itu bisa menyamakan ancaman tarif terbaru dari Trump.


Namun, bukan berarti China tidak bisa membalas. Justru dalam hal serangan non-tarif, negara itu bisa lebih membuat AS rugi, kata Kristina Hooper selaku Kepala Strategis Pasar Global di Invesco.

"China memiliki gudang persenjataan yang lebih besar ketimbang AS," katanya. "Tarif hanyalah puncak gunung es dari apa yang China miliki."

Lalu, bagaimana China membalas tanpa tarif? Berikut adalah empat senjata yang bisa digunakan Negara Tirai Bambu untuk melakukan pembalasan, dilansir dari CNBC International. China adalah salah satu pemegang terbesar surat utang AS dengan kepemilikan obligasi sekitar US$1 triliun di tahun 2017, menurut bank sentral AS Federal Reserve/The Fed. Seperti sebagian besar investor, negara itu ingin menyimpan dolar atau greenback dengan instumen aman dan obligasi AS masih menjadi investasi yang kuat.

Meskipun begitu, jika pemerintah China terlalu ditekan, maka mereka bisa memutuskan untuk menjual kepemilikannya atau berhenti membeli obligasi AS yang baru. Hal itu dapat memberi dampak signifikan ke perekonomian AS.

"Itu adalah opsi nuklir," kata Hooper.

Jika China membanjiri pasar dengan Surat Utang AS, maka imbal hasil (yield) obligasi akan naik. Itu adalah hal problematik karena pemegang surat utang di seluruh dunia, termasuk pemerintah AS dan rata-rata warga, akan melihat harga obligasi mereka anjlok.

Yield lebih tinggi juga menyebabkan ongkos yang lebih mahal bagi pemerintah AS untuk meminjam lewat penerbitan utang baru. Sementara perusahaan yang menerbitkan utang korporasi juga harus membayar ongkos peminjaman yang lebih tinggi.

Ada banyak alasan mengapa China tidak akan menggunakan senjata ini karena itu akan membuat kepemilikan China kehilangan nilainya dan tidak ada alternatif aman untuk dolar mereka. Namun, jika mereka sangat ingin menyerang Amerika, maka mereka bisa saja melakukannya.

"Ini akan menarik pendapatan di saat yang sama ketika pemerintah sudah mengalami defisit besar, sehingga memberi lebih banyak tekanan ke AS," kata Hooper.

Defisit AS diprediksi akan menyentuh US$804 miliar untuk tahun fiskal 2018, menurut Kantor Anggaran Kongres (Congressional Budget Office). Jika China ingin membuat Presiden Trump jengkel dan tarif dipertanyakan, negara itu bisa mendevaluasi yuan. Faktanya, ini bisa menjadi senjata terbaik untuk melawan AS.

"Nilai tukar adalah tuas paling efektif untuk mengimbangi dampak tarif," kata Salman Baig selaku manajer investasi multi-aset di Unigestion, sebuah perusahaan investasi yang berbasis di Geneva, Swiss.

Jika yuan anjlok sekitar 8%, yang mana telah terjadi sejak pertengahan Maret, maka US$1 dolar saat ini akan sama dengan 6,77 yuan (Rp 14.486). Jika itu terjadi, para importir AS hanya akan melihat kenaikan ongkos 2% dari produk-produk China. Mengapa? Karena jika ongkos untuk membeli barang-barang China turun, maka segala tarif yang ditambahkan ke label harga akan membuat nilai total barang menjadi sama dengan sekarang. Artinya, perusahaan tidak akan merasakan perubahan berarti, kata Baig.

Sembari mengambil langkah untuk menurunkan nilai tukar mata uangnya, Negara Tirai Bambu juga bisa menurunkan suku bunga yang akan melemahkan yuan, kata Hooper.

Sementara Baig berkata negara itu tidak perlu melakukan terlalu banyak hal. Penurunan nilai tukar mata uang adalah konsekuensi alami dari tarif. Semakin banyak tarif yang dikenakan, semakin turun nilai tukarnya.

Tetap saja, China tidak ingin nilai tukarnya anjlok drastis terlalu cepat. Negara itu mencoba beralih ke nilai tukar mata uang asing yang mengambang bebas, tetapi setidaknya dalam jangka pendek negara itu akan senang membiarkan yuan terdepresiasi demi menetralisir tarif.

"Yang tidak mereka inginkan adalah gejolak di mata uang mereka," kata Baig. "Namun mereka sangat senang untuk mendevaluasi 2% atau 5% lagi, selama devaluasinya teratur." Pemerintah China memiliki banyak kekuasaan terhadap rakyatnya. Jika mereka ingin para warga berhenti bepergian ke AS atau membeli produk AS, negara bisa mewujudkannya, kata Geraro Zamorano selaku direktur grup investasi Brandes Investment Partners.

Misalnya, ketika Korea Selatan (Korsel) sepakat untuk menjadi tuan rumah dari sistem pertahanan misil, perusahaan mobil Korsel kehilangan pangsa pasarnya di China. Pada tahun 2016, ketika orang-orang di Hong Kong mulai memprotes kemerdekaan dari China, aliran pariwisata dari China ke Hong Kong mengering.

Pemerintah China tidak memberi aturan baru apapun yang melarang masyarakat membeli mobil Korsel ataupun berkunjung ke Hong Kong, tetapi warga China tetap berhenti mendukung negara-negara itu.

"Tidak ada larangan yang diberlakukan, tetapi pemerintah China berkata 'wink wink' kemudian mereka meminta media negara untuk berkomentar, dan tiba-tiba bisnis kehilangan pangsa pasar," kata Zamorano. "Itu bisa terjadi pada McDonald's atau Burger King, simbol-simbol AS."

Hal itu juga bisa mempersulit perusahaan AS untuk mendapatkan uang dari China. Transfer uang perlu disetujui dan bisa saja prosesnya diperlambat, katanya. China bisa mempersulit warga Amerika untuk mendapatkan visa, menopang perusahaan domestik secara finansial atau meningkatkan beban peraturan ke perusahaan AS, kata Hooper.

Negara bisa saja memungut pajak ke bisnis-bisnis tertentu, melaksanakan investigasi anti monopoli atau membentuk regulasi lingkungan.

"Banyak [perusahaan] bisa terkena regulasi, yang akan sangat memperlambat bisnis AS," katanya. China bisa menunggu, apalagi dengan rencana Presiden Xi Jinping untuk berkuasa seumur hidup yang berarti dia dapat mengambil waktu guna menjalin kemitraan dagang dengan negara-negara lain di seluruh dunia dan mengisolasi AS. China sudah terlihat merayu Eropa, sementara Kanada dan China juga sudah berdiskusi masalah perdagangan.

Jika China benar-benar ingin membuat gebrakan, negara itu bisa bergabung ke Trans Pacific Partnership (TPP) yang ditinggalkan AS ketika Trump menjabat sehingga dapat memiliki perdagangan lebih terbuka ke 11 negara. Tarif antara China dan negara-negara ini bisa dikurangi atau dieliminasi, serta akan lebih mudah memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya setelah kesepakatan dagang dilakukan.


"Bayangkan jika China memutuskan untuk masuk," kata Baig. "Itu akan menjadi kesepakatan dagang global yang besar."

Ini adalah permainan jangka panjang karena kesepakatan dagang tidak terjadi dalam semalam, tetapi Baig berkata tindakan ini bisa menjadi yang paling efektif dari perspektif China. Ketika AS juga bertarung dalam perang dagang dengan Kanada, Eropa dan negara lain, negara-negara di seluruh dunia akan lebih berkenan untuk mendirikan sebuah aliansi dagang baru dan meninggalkan AS.
(prm) Next Article Jika Perang Dagang adalah Mimpi Buruk, Corona adalah Neraka!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular