Banjir Kritik Divestasi Freeport, Terbawa ke Ranah Politik

Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
15 July 2018 18:19
Paska-penandatanganan HoA divestasi antara PT Inalum (Persero) dan Freeport McMoran, kritik ke pemerintah datang bertubi-tubi
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia- Momen penandatanganan kesepakatan awal (Head of Agreement) antara pemerintah dan Freeport-McMoRan memancing kritik dari berbagai pihak. Hal yang paling disorot adalah bagaimana penandatanganan antara kedua belah pihak dianggap hanya sebagai pencitraan, bahkan lebih kasar lagi pembodohan publik.

Ekonom Senior The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad Wibowo menjadi salah satu yang mengutarakan hal tersebut. Dia menegaskan bahwa penandatanganan HoA hanyalah kesepakatan soal harga.



"Tiga pihak, yaitu Indonesia (pemerintah dan Inalum), Freeport-McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto sepakat pada harga US$ 3.85 milyar, atau sekitar Rp 55 triliun. Ini adalah harga bagi pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI," jelas Dradjad dalam keterangan resminya, Jumat (13/7/2018).

Anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan proses transaksi pengakuisisian masih jauh dari tuntas. Dia pun mengutip kata-kata CEO Freeport McMoran Richard Adkerson tentang bagaimana walau kesepakatan awal diteken, belum ada kepastian bahwa transaksinya akan tuntas.

Selain Dradjad, kritikan juga muncul Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana. Menurut dia, penandatanganan antara kedua belah pihak tidak perlu dianggap sebagai suatu kemenangan besar. Sebab, dari perspektif hukum HoA merupakan perjanjian payung yang mengatur hal-hal prinsip saja.

"Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51% adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI. Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%," tutur Hikmahanto.



Menurut dia, hingga penandatanganan HoA berlangsung belum jelas pula apakah akan ada perpanjangan konsesi PT FI atau tidak. Selain itu, dia menilai penting untuk diperhatikan pengaturan ketentuan untuk sahnya posisi pemerintah dengan porsi 51% kepemilikan nanti. Sebab, dia menilai masih ada potensi walau pemerintah memiliki mayoritas saham, pengendalian perusahaan masih ada ditangan Freeport McMoran.



Suara-suara miring juga muncul dari beberapa tokoh negara seperti Amien Rais. Dia berani mengatakan penandatanganan HoA yang dilakukan pemerintah hanya sebagai pembohongan publik.

"Seolah-olah kita sudah senang karena Freeport kembali ke tangan Ibu Pertiwi. Buat saya itu hanya, maaf, bohong-bohongan, karena operasional masih mereka. Semuanya masih mereka," kata Amien, Sabtu (14/7/2018).

Selanjutnya, Mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier berpendapat hal sama. Menurut dia, kesepakatan HoA hanya sebagai pencitraan menuju tahun politik 2019.



"Bagi yang mengerti bisnis dan hukum, HoA ini sebenarnya hanya sebuah deklarasi politik alias belum ada hasil atau perjanjian yang mengikat antara kedua belah pihak, tapi rupanya pemerintah perlu pencitraan untuk mendongkrak Jokowi di tahun politik ini," tutur Fuad dalam keterangan tertulisnya.

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia akhirnya meneken kesepakatan awal dengan Freeport McMoran untuk mengambil alih 51% saham di PT Freeport Indonesia pada Kamis (12/7/2018) lalu.



Penandatanganan perjanjian awal berupa Head of Agreement (HoA) ini dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Direktur PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin, dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoran Richard Adkerson.

Sedari awal, PT Inalum (Persero) selaku eskekutor memang menyebut bahwa HoA ini hanya sebagai payung transaksi. Isi HoA pun termasuk teknis, yakni soal struktur divestasi dan valuasi nilai divestasi yang disepakati para pihak.

Perjalanan untuk divestasi ini tergolong panjang, sejak diteken Kontrak Karya kedua pada 1991, kata divestasi hampir tak pernah terdengar lagi hingga akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Undang-Undang Mineral dan Batu Nomor 4 Tahun 2009.

Dalam kurun periode 1991-2009, tokoh reformasi 98 pun jarang yang menyinggung isi ini. Periode 2009 - 2014, renegosiasi dengan Freeport dilancarkan namun tak berbuah hasil kecuali gonta-ganti peraturan agar 'kedaulatan' negara terjaga.

Kini, begitu Freeport dan RI membuka pintu awal divestasi, ramai suara berdatangan memberikan masukan seperti apa harusnya divestasi dieksekusi.
(gus/gus) Next Article Terungkap, Ini 3 Program Inalum Usai Sukses Rebut Freeport

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular