Tepatkah Langkah RI dalam Akuisisi 51% Saham Freeport?
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
12 July 2018 07:55

Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah, bisa dibilang, menempuh jalan yang panjang dan penuh drama demi mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI).
Semangat pemerintah adalah mengibarkan bendera merah putih di tambang emas Papua, sama seperti impian seluruh rakyat di negeri ini. Tapi, bagaimana cara menancapkan benderanya yang banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan.
Persoalan pertama adalah akuisisi sekarang atau nanti?
Buat pemerintah, lebih cepat divestasi lebih baik. Untuk itu, sejak tahun lalu tim yang dibentuk Presiden Joko Widodo sibuk bolak-balik negosiasi dengan pihak Freeport McMoran, selaku induk dan pemegang saham mayoritas PT Freeport Indonesia.
Presiden Jokowi seakan gemas, kok sudah lebih dari separuh abad menambang emas tembaga di tanah Papua, RI cuma punya kepemilikan saham 9,36% dan sisanya masih dikuasai AS?
Padahal, jika mengikuti ketentuan kontrak karya (KK) 1991, di 2011 RI semestinya sudah menguasai 51% saham PTFI. Proses divestasi kerap buntu salah satunya karena ketidakpastian regulasi dari pemerintah di kala itu.
Proses negosiasi berjalan dan Freeport McMoran menyepakati untuk divestasi, tentunya dengan konsekuensi pemerintah harus membayar sejumlah harga berdasar hitungan yang ditentukan. Sampai saat ini belum ada angka pasti nilai divestasi yang ditawarkan Freeport dan disanggupi oleh pemerintah.
Namun, mengutip pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, nilainya berkisar US$3 miliar-US$4 miliar. Tapi, PT Inalum (Persero) selaku induk BUMN Pertambangan yang jadi eksekutor transaksi memperkirakan nilainya tak sampai US$4 miliar. Kisarannya diperkirakan US$3 miliar sampai US$3,5 miliar atau maksimal setara Rp 50 triliun.
Buat pemerintah, atau lebih tepatnya Inalum, angka ini tidak masalah. Toh, dengan mengajukan pinjaman ke beberapa bank uang bisa terkumpul dan dilunasi kemudian.
Tapi, ada yang menyayangkan jika pemerintah keluar uang puluhan triliun rupiah. Lebih baik, kata mereka, tunggu kontrak habis saja dan RI akan dapat tambang Grasberg cuma-cuma.
Tambang Freeport Ternyata Tidak Gratis
Terdapat ketentuan dalam KK Freeport yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mendapat tambang bekas Freeport secara gratis saat kontrak habis.
Pasal 22 ayat 1 KK mengatur setelah jangka waktu berakhir, semua kekayaan milik Freeport yang bergerak atau tidak di wilayah proyek harus ditawarkan ke pemerintah dengan nilai pasar yang tidak lebih rendah dari nilai buku.
Menurut laporan keuangan PTFI yang diterima CNBC Indonesia, nilai buku perusahaan saat ini minimal US$6 miliar.
"Ditambah, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya diestimasi lebih dari Rp 2 triliun," tutur Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegero. Jadi, opsi RI saat ini adalah bayar US$3 miliar sekarang atau US$6 miliar (berpotensi naik) pada 2021 nanti.
[Gambar:Video CNBC]
Persoalan Kedua, Apakah Nilai Divestasi Sepadan dengan Hasil?
Atau lebih mudahnya, apa RI tidak rugi beli tambang dengan harga segitu besar?
Berdasarkan laporan keuangan PT Freeport Indonesia tahun 2017 yang didapat CNBC Indonesia, total pendapatan bersih PTFI mencapai US$4,45 miliar atau setara Rp 63,6 triliun (perhitungan kurs Rp 14.300). Sementara untuk keuntungan dalam setahun mencapai US$1,2 miliar atau Rp 17,2 triliun.
Informasi yang diterima CNBC Indonesia, Inalum cukup optimistis uang yang dikeluarkan Indonesia bisa balik modal dengan cepat. Dengan potensi keuntungan dalam setahun mencapai US$1,2 miliar, diyakini dalam kisaran tiga tahun utang untuk beli saham Freeport ini bisa dilunasi.
Ini juga diamini oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara.
"Tidak ada masalah bagi holding tambang, bagi Inalum. Yang diperlukan adalah dukungan penuh dari pemerintah yakni Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Presiden yang harus intervensi agar jangan sampai ada pemburu rente di prosesnya ke depan," kata dia.
(prm) Next Article RI Mesti Kuasai 51% Saham Freeport di 31 Juli 2018
Semangat pemerintah adalah mengibarkan bendera merah putih di tambang emas Papua, sama seperti impian seluruh rakyat di negeri ini. Tapi, bagaimana cara menancapkan benderanya yang banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan.
Buat pemerintah, lebih cepat divestasi lebih baik. Untuk itu, sejak tahun lalu tim yang dibentuk Presiden Joko Widodo sibuk bolak-balik negosiasi dengan pihak Freeport McMoran, selaku induk dan pemegang saham mayoritas PT Freeport Indonesia.
Presiden Jokowi seakan gemas, kok sudah lebih dari separuh abad menambang emas tembaga di tanah Papua, RI cuma punya kepemilikan saham 9,36% dan sisanya masih dikuasai AS?
Padahal, jika mengikuti ketentuan kontrak karya (KK) 1991, di 2011 RI semestinya sudah menguasai 51% saham PTFI. Proses divestasi kerap buntu salah satunya karena ketidakpastian regulasi dari pemerintah di kala itu.
Proses negosiasi berjalan dan Freeport McMoran menyepakati untuk divestasi, tentunya dengan konsekuensi pemerintah harus membayar sejumlah harga berdasar hitungan yang ditentukan. Sampai saat ini belum ada angka pasti nilai divestasi yang ditawarkan Freeport dan disanggupi oleh pemerintah.
Namun, mengutip pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, nilainya berkisar US$3 miliar-US$4 miliar. Tapi, PT Inalum (Persero) selaku induk BUMN Pertambangan yang jadi eksekutor transaksi memperkirakan nilainya tak sampai US$4 miliar. Kisarannya diperkirakan US$3 miliar sampai US$3,5 miliar atau maksimal setara Rp 50 triliun.
Buat pemerintah, atau lebih tepatnya Inalum, angka ini tidak masalah. Toh, dengan mengajukan pinjaman ke beberapa bank uang bisa terkumpul dan dilunasi kemudian.
Tapi, ada yang menyayangkan jika pemerintah keluar uang puluhan triliun rupiah. Lebih baik, kata mereka, tunggu kontrak habis saja dan RI akan dapat tambang Grasberg cuma-cuma.
Tambang Freeport Ternyata Tidak Gratis
Terdapat ketentuan dalam KK Freeport yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mendapat tambang bekas Freeport secara gratis saat kontrak habis.
Pasal 22 ayat 1 KK mengatur setelah jangka waktu berakhir, semua kekayaan milik Freeport yang bergerak atau tidak di wilayah proyek harus ditawarkan ke pemerintah dengan nilai pasar yang tidak lebih rendah dari nilai buku.
Menurut laporan keuangan PTFI yang diterima CNBC Indonesia, nilai buku perusahaan saat ini minimal US$6 miliar.
"Ditambah, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya diestimasi lebih dari Rp 2 triliun," tutur Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegero. Jadi, opsi RI saat ini adalah bayar US$3 miliar sekarang atau US$6 miliar (berpotensi naik) pada 2021 nanti.
[Gambar:Video CNBC]
Persoalan Kedua, Apakah Nilai Divestasi Sepadan dengan Hasil?
Atau lebih mudahnya, apa RI tidak rugi beli tambang dengan harga segitu besar?
Berdasarkan laporan keuangan PT Freeport Indonesia tahun 2017 yang didapat CNBC Indonesia, total pendapatan bersih PTFI mencapai US$4,45 miliar atau setara Rp 63,6 triliun (perhitungan kurs Rp 14.300). Sementara untuk keuntungan dalam setahun mencapai US$1,2 miliar atau Rp 17,2 triliun.
Informasi yang diterima CNBC Indonesia, Inalum cukup optimistis uang yang dikeluarkan Indonesia bisa balik modal dengan cepat. Dengan potensi keuntungan dalam setahun mencapai US$1,2 miliar, diyakini dalam kisaran tiga tahun utang untuk beli saham Freeport ini bisa dilunasi.
Ini juga diamini oleh Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara.
"Tidak ada masalah bagi holding tambang, bagi Inalum. Yang diperlukan adalah dukungan penuh dari pemerintah yakni Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Presiden yang harus intervensi agar jangan sampai ada pemburu rente di prosesnya ke depan," kata dia.
(prm) Next Article RI Mesti Kuasai 51% Saham Freeport di 31 Juli 2018
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular