LSM Minta Akuisisi Freeport Dibatalkan, Inalum: Tidak Jelas
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
06 February 2019 18:45

Jakarta, CNBC Indonesia- PT Inalum (Persero) baru saja berhasil mengakuisisi 51,2% saham tambang PT Freeport Indonesia Desember 2018 lalu. Kini, sudah ada desakan dari LSM agar akuisisi tersebut dibatalkan.
Atas nama koalisi rakyat untuk kedaulatan SDA Minerba, sejumlah pakar yang di antaranya terdiri dari Marwan Batu Bara IRESS, Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi, dan Bisman Bakhtiar PUSHEP menilai aksi pembelian saham senilai US$ 3,85 miliar itu terlalu mahal dan berpotensi merugikan negara.
Menurut mereka proses divestasi tidak harus diwujudkan dengan korbankan banyak hal, termasuk kedaulatan negara.
"Tujuan penguasaan saham mayoritas tidak boleh dicapai at any cost, dengan membayar sangat mahal, dan berpotensi merugikan negara. Apalagi jika di dalam nilai sebesar US$ 3,85 miliar tersebut terkandung unsur-unsur manipulasi atau dugaan korupsi oleh oknum-oknum yang berburu rente," tulis para pengamat tersebut, Rabu (6/2/2019).
Setidaknya ada beberapa alasan yang dilontarkan oleh para pengamat ini untuk membatalkan akusisi Freeport, di antaranya;
- Soal pembelian saham partisipasi Rio Tinto yang dinilai merugikan karena pada hakikatnya saham tersebut bodong,
- Dugaan adanya penyimpangan hukum dalam perpanjangan kontrak pada 1991. Ini pernah diungkap oleh Menko Perekonomian Rizal Ramli mengungkapkan bahwa pada tahun 1991 CEO Freeport, yakni James Moffett mengaku telah menyuap seorang menteri di Indonesia guna memperoleh perpanjangan kontrak dan beberapa ketentuan lain dalam KK. Bahkan menurut Rizal Ramli, James Moffett telah mengaku bersalah dan bersedia membayar uang ganti rugi dari pada masuk penjara.
- Selain masalah PI Rio Tinto, berdasarkan temuan BPK RI terdapat perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sampai ke laut. Berdasarkan perhitungan Tim IPB dan LAPAN, nilai ekosistem yang dikorbankan berkisar USD 13.592.229.295 atau sekitar Rp 185 triliun. Dan Freeport hanya didenda Rp 460 miliar.
Terkait hal ini, PT Inalum yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk akuisisi Freeport pun buka suara. Inalum menilai argumen-argumen yang dilontarkan oleh para pakar tersebut tidak berdasar.
"Argumennya tidak jelas, soal Rio Tinto misalnya sudah pernah dijelaskan juga. Penandatanganannya dilakukan dua menteri saat itu (1996)," ujar Head of Corporate Communication Inalum Rendi Witular.
Rendi juga menyebut kesalahpahaman soal Rio Tinto oleh para pakar tersebut karena adanya kekeliruan menafsirkan kontrak. Soal nilai akusisi yang mahal juga disebut Rendi hitungan yang kurang berdasar. "Kapasitasnya untuk menghitungnya dari mana?"
Suara seperti kontrak perpanjangan tidak valid karena dinilai ada indikasi penyimpangan saat penekenan, dalam hal ini Inalum berpatokan pada pendapat pakar Mahfud MD.
Mahfud menyebut itu harus diputus oleh peradilan pidana dan peradilan pidana. Namun sebuah kasus mempunyai masa kedaluwarsa selama 18 tahun. Sementara KK itu terjadi pada tahun 1991 dan kedaluwarsanya pada 2009.
"Kenapa ribut-ributnya sekarang? Kenapa tidak sewaktu dulu?" ujar Rendi.
Permasalahan lingkungan juga telah diselesaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dari denda yang dijatuhkan, Inalum hanya mengganti 9,36% sesuai porsi saham yang dipegang waktu itu.
(gus/dob) Next Article Sabar, RI Baru Balik Modal Akuisisi Freeport di 2025
Atas nama koalisi rakyat untuk kedaulatan SDA Minerba, sejumlah pakar yang di antaranya terdiri dari Marwan Batu Bara IRESS, Pakar Hukum Pertambangan Ahmad Redi, dan Bisman Bakhtiar PUSHEP menilai aksi pembelian saham senilai US$ 3,85 miliar itu terlalu mahal dan berpotensi merugikan negara.
"Tujuan penguasaan saham mayoritas tidak boleh dicapai at any cost, dengan membayar sangat mahal, dan berpotensi merugikan negara. Apalagi jika di dalam nilai sebesar US$ 3,85 miliar tersebut terkandung unsur-unsur manipulasi atau dugaan korupsi oleh oknum-oknum yang berburu rente," tulis para pengamat tersebut, Rabu (6/2/2019).
Setidaknya ada beberapa alasan yang dilontarkan oleh para pengamat ini untuk membatalkan akusisi Freeport, di antaranya;
- Soal pembelian saham partisipasi Rio Tinto yang dinilai merugikan karena pada hakikatnya saham tersebut bodong,
- Dugaan adanya penyimpangan hukum dalam perpanjangan kontrak pada 1991. Ini pernah diungkap oleh Menko Perekonomian Rizal Ramli mengungkapkan bahwa pada tahun 1991 CEO Freeport, yakni James Moffett mengaku telah menyuap seorang menteri di Indonesia guna memperoleh perpanjangan kontrak dan beberapa ketentuan lain dalam KK. Bahkan menurut Rizal Ramli, James Moffett telah mengaku bersalah dan bersedia membayar uang ganti rugi dari pada masuk penjara.
- Selain masalah PI Rio Tinto, berdasarkan temuan BPK RI terdapat perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah tambang (tailing) di sungai, hutan, estuary dan sampai ke laut. Berdasarkan perhitungan Tim IPB dan LAPAN, nilai ekosistem yang dikorbankan berkisar USD 13.592.229.295 atau sekitar Rp 185 triliun. Dan Freeport hanya didenda Rp 460 miliar.
Terkait hal ini, PT Inalum yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk akuisisi Freeport pun buka suara. Inalum menilai argumen-argumen yang dilontarkan oleh para pakar tersebut tidak berdasar.
"Argumennya tidak jelas, soal Rio Tinto misalnya sudah pernah dijelaskan juga. Penandatanganannya dilakukan dua menteri saat itu (1996)," ujar Head of Corporate Communication Inalum Rendi Witular.
Simak Penjelasan Bos Inalum Soal Rio Tinto di Video Ini
[Gambas:Video CNBC]Rendi juga menyebut kesalahpahaman soal Rio Tinto oleh para pakar tersebut karena adanya kekeliruan menafsirkan kontrak. Soal nilai akusisi yang mahal juga disebut Rendi hitungan yang kurang berdasar. "Kapasitasnya untuk menghitungnya dari mana?"
Suara seperti kontrak perpanjangan tidak valid karena dinilai ada indikasi penyimpangan saat penekenan, dalam hal ini Inalum berpatokan pada pendapat pakar Mahfud MD.
Mahfud menyebut itu harus diputus oleh peradilan pidana dan peradilan pidana. Namun sebuah kasus mempunyai masa kedaluwarsa selama 18 tahun. Sementara KK itu terjadi pada tahun 1991 dan kedaluwarsanya pada 2009.
"Kenapa ribut-ributnya sekarang? Kenapa tidak sewaktu dulu?" ujar Rendi.
Permasalahan lingkungan juga telah diselesaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dari denda yang dijatuhkan, Inalum hanya mengganti 9,36% sesuai porsi saham yang dipegang waktu itu.
(gus/dob) Next Article Sabar, RI Baru Balik Modal Akuisisi Freeport di 2025
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular