
Akuisisi Saham Freeport Disebut Hanya Pencitraan, Benarkah?
Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
13 July 2018 14:44

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia meneken perjanjian awal dengan Freeport McMoran untuk mengambil alih 51% saham di PT Freeport Indonesia (PTFI). Setelah separuh abad lebih, akhirnya Indonesia bisa jadi pemegang saham mayoritas di tambang emas raksasa yang ada di Papua itu.
Tetapi, upaya pemerintah 'merebut' kembali Freeport ini banyak disebut pencitraan semata Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom Dradjad Wibowo mengatakan, penandatanganan HOA yang dilakukan Inalum dan Freeport McMoran hanya pencitraan saja.
"Pencitraan yang dilakukan oleh oknum pemerintah sangat kelewatan. Sangat membodohi rakyat. Saking berhasilnya, tidak sedikit yang menulis "terima kasih Pak Jokowi" tanpa melakukan fact-check. Sampai-sampai seorang mahasiswa Indonesia di Inggris pun melakukan kebodohan yang sama," kata Dradjad.
"Saya mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport Indonesia. Yang saya kritisi adalah pencitraan dan pembodohan rakyat yang kelewatan," ujarnya.
Dia mencatat fakta yang harus dicek adalah soal belum adanya transaksi, baru sebatas HOA. Kemudian, Dradjad menyinggung soal harga pembelian participating interest Rio Tinto di Freeport Indonesia senilai US$ 3,5 miliar dan tidak bisa ditawar.
"Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas. Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX (Freeport McMoran) ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang," kata Dradjad.
Benarkah upaya negosiasi selama 3,5 tahun tanpa henti ini hanya sekedar pencitraan? Mari bedah dan bandingkan bersama dari data Inalum.
1. Soal Keberadaan Rio Tinto, dan pertanyaan mengapa RI harus beli Rio Tinto?
Saat rencana divestasi Freeport oleh RI mulai matang di Agustus 2017, yakni usai ada 4 kesepakatan dasar perundingan yang disetujui Freeport dan Menteri ESDM. Belakangan diketahui ternyata terdapat hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg, Papua.
Apakah masuknya Rio Tinto itu diam-diam?
Ternyata tidak, masuknya Rio Tinto ke PT Freeport Indonesia sudah diketahui oleh pemerintah Indonesia. Tetapi pemerintahan zaman Orde Baru yang tahu, pemerintahan orde orde berikutnya tidak ada yang tahu.
Dalam laporan keuangan terkonsolidasi PT Freeport Indonesia tahun 2017 disebut perjanjian kerja sama Rio Tinto dengan Freeport dijalin 1996. PT Freeport Indonesia juga menyebut soal masuknya Rio Tinto sudah disampaikan ke pemerintah, yakni Menteri Pertambangan dan Energi. Jabatan tersebut waktu itu dipangku oleh Ida Bagus Sudjana dan diketahui oleh Direktur Jenderal Pertambangan Umum, yang dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto.
Di laporan keuangan PTFI disebut Rio Tinto menyuntik investasi US$ 75 juta untuk menggarap tambang Grasberg. Untuk investasi itu, Rio Tinto kemudian mendapat hak partisipasi 40%. Hingga 2017, total investasi yang telah dikucurkan Rio Tinto mencapai US$ 166 juta.
Perjanjian antara PTFI dan Rio Tinto juga agak rumit, PTFI mengatur Rio Tinto dapat jatah bagi hasil 40% untuk tambang-tambang tertentu (di sini adalah tambang blok A). Tapi setelah 2022, Rio Tinto bisa bagi hasil 40% untuk seluruh hasil tambang PTFI.
Kontraknya rumit, tapi intinya mengatur jika nanti tambang Freeport menghasilkan mineral jumlah tertentu, begitu terangkat dari perut bumi harus dipotong 40% terlebih dulu untuk Rio Tinto.
Kerumitan ini pun diakui oleh Direktur PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin. "Ada saham, ada participating interest. Ada dua periode, 2018-2022, terus 2022-2041, jadi banyak," jelasnya, bulan lalu dalam acara buka bersama media.
Nah, ketimbang didiamkan dan nanti begitu Indonesia jadi pemegang saham mayoritas tanpa akuisisi Rio Tinto, risikonya begitu dapat hasil tambang tidak langsung jatuh ke Indonesia terlebih dulu, tapi dipotong 40% untuk Rio Tinto. Ini akibat kontrak yang dijalin oleh Freeport dan Rio Tinto pada 1996 dulu.
"Transaksinya complicated (rumit). Ini transaksi tersulit yang pernah saya lakukan dengan pengalaman sebagai bankir selama 25 tahun," kata Budi
2. Transaksi Masih Jauh dari Tuntas, RI Belum Resmi Kuasai 51%
Ya, karena memang yang diteken kemarin masih berupa Head of Agreement (HoA) atau kesepakatan awal.
Seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja.
HoA ditindak-lanjuti dengan sejumlah perjanjian. Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51% adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI. Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%.
"Perjanjian-perjanjian diatas harus benar-benar dicermati karena bagi lawyer ada adagium yang mengatakan 'the.devil is on the detail' (setannya ada dimasalah detail)," kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/7/2018).
Belajar dari pengalaman Indonesia negosiasi dengan Freeport selama ini, memang ada baiknya jika sudah ada kesepakatan diformalkan dulu dengan perjanjian payung. Terakhir, Indonesia berhasil negosiasi dengan Chairman Freeport James Bob Moffet, kesepakatan sudah dicapai tapi tidak dituangkan dalam bentuk tertulis.
Freeport McMoran kemudian berulah, Moffet digantikan oleh Richard Adkerson yang kemudian menihilkan kesepakatan yang terjalin dahulu. Adkerson mengirim surat panjang ke pemerintah RI pada September 2017, menolak mentah-mentah divestasi dan berprinsip bahwa Kontrak Karya Freeport berlaku sampai 2041.
Nah, biat negosiasi ada buahnya sedikit, kiranya RI memang perlu menuangkan kesepakatan awal dalam bentuk formal seperti HoA kemarin.
3. Mana lebih baik, divestasi sekarang atau nanti tunggu kontrak 2021 selesai?
Ini paling banyak jadi pertanyaan orang-orang, bukankah kalau menunggu 2021 bisa mendapat divestasi saham gratis?
Nah, ini juga yang sempat dipikirkan terlebih dulu. Tetapi, Freeport memang ahli dalam menyusun kontrak. Terdapat ketentuan dalam KK Freeport yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mendapat tambang bekas Freeport secara gratis saat kontrak habis.
Pasal 22 ayat 1 KK mengatur setelah jangka waktu berakhir, semua kekayaan milik Freeport yang bergerak atau tidak di wilayah proyek harus ditawarkan ke pemerintah dengan nilai pasar yang tidak lebih rendah dari nilai buku.
Menurut laporan keuangan PTFI yang diterima CNBC Indonesia, nilai buku perusahaan saat ini minimal US$6 miliar.
"Ditambah, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya diestimasi lebih dari Rp 2 triliun," tutur Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegero. Jadi, opsi RI saat ini adalah bayar US$3 miliar sekarang atau US$6 miliar (berpotensi naik) pada 2021 nanti.
Lalu, terdapat pula risiko diajukannya Indonesia ke Arbitrase Internasional mengingat kontrak berakhir pada 2021 sendiri masih jadi perdebatan. Freeport McMoran berkeras KK mengikat RI sampai 2041 tanpa ada pengecualian.
Jadi pemerintah dihadapi opsi beli US$ 3,85 miliar sekarang atau US$ 6 miliar di 2021 mendatang yang serba belum pasti.
(wed) Next Article Peralihan 51% Saham Freeport ke RI Maksimal di Agustus
Tetapi, upaya pemerintah 'merebut' kembali Freeport ini banyak disebut pencitraan semata Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom Dradjad Wibowo mengatakan, penandatanganan HOA yang dilakukan Inalum dan Freeport McMoran hanya pencitraan saja.
"Saya mendukung penuh usaha pemerintah mengambil alih saham mayoritas Freeport Indonesia. Yang saya kritisi adalah pencitraan dan pembodohan rakyat yang kelewatan," ujarnya.
Dia mencatat fakta yang harus dicek adalah soal belum adanya transaksi, baru sebatas HOA. Kemudian, Dradjad menyinggung soal harga pembelian participating interest Rio Tinto di Freeport Indonesia senilai US$ 3,5 miliar dan tidak bisa ditawar.
"Transaksi belum terjadi karena ada isu-isu besar yang belum tuntas. Itu pun Indonesia nerimo saja harga yang dipatok oleh Rio Tinto. Jika transaksinya terwujud nanti, Indonesia harus membayar Rp 55 triliun. Tapi, FCX (Freeport McMoran) ngotot kontrol operasional tetap mereka yang pegang," kata Dradjad.
Benarkah upaya negosiasi selama 3,5 tahun tanpa henti ini hanya sekedar pencitraan? Mari bedah dan bandingkan bersama dari data Inalum.
1. Soal Keberadaan Rio Tinto, dan pertanyaan mengapa RI harus beli Rio Tinto?
Saat rencana divestasi Freeport oleh RI mulai matang di Agustus 2017, yakni usai ada 4 kesepakatan dasar perundingan yang disetujui Freeport dan Menteri ESDM. Belakangan diketahui ternyata terdapat hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grasberg, Papua.
Apakah masuknya Rio Tinto itu diam-diam?
Ternyata tidak, masuknya Rio Tinto ke PT Freeport Indonesia sudah diketahui oleh pemerintah Indonesia. Tetapi pemerintahan zaman Orde Baru yang tahu, pemerintahan orde orde berikutnya tidak ada yang tahu.
Dalam laporan keuangan terkonsolidasi PT Freeport Indonesia tahun 2017 disebut perjanjian kerja sama Rio Tinto dengan Freeport dijalin 1996. PT Freeport Indonesia juga menyebut soal masuknya Rio Tinto sudah disampaikan ke pemerintah, yakni Menteri Pertambangan dan Energi. Jabatan tersebut waktu itu dipangku oleh Ida Bagus Sudjana dan diketahui oleh Direktur Jenderal Pertambangan Umum, yang dijabat oleh Kuntoro Mangkusubroto.
Di laporan keuangan PTFI disebut Rio Tinto menyuntik investasi US$ 75 juta untuk menggarap tambang Grasberg. Untuk investasi itu, Rio Tinto kemudian mendapat hak partisipasi 40%. Hingga 2017, total investasi yang telah dikucurkan Rio Tinto mencapai US$ 166 juta.
Perjanjian antara PTFI dan Rio Tinto juga agak rumit, PTFI mengatur Rio Tinto dapat jatah bagi hasil 40% untuk tambang-tambang tertentu (di sini adalah tambang blok A). Tapi setelah 2022, Rio Tinto bisa bagi hasil 40% untuk seluruh hasil tambang PTFI.
Kontraknya rumit, tapi intinya mengatur jika nanti tambang Freeport menghasilkan mineral jumlah tertentu, begitu terangkat dari perut bumi harus dipotong 40% terlebih dulu untuk Rio Tinto.
Kerumitan ini pun diakui oleh Direktur PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin. "Ada saham, ada participating interest. Ada dua periode, 2018-2022, terus 2022-2041, jadi banyak," jelasnya, bulan lalu dalam acara buka bersama media.
Nah, ketimbang didiamkan dan nanti begitu Indonesia jadi pemegang saham mayoritas tanpa akuisisi Rio Tinto, risikonya begitu dapat hasil tambang tidak langsung jatuh ke Indonesia terlebih dulu, tapi dipotong 40% untuk Rio Tinto. Ini akibat kontrak yang dijalin oleh Freeport dan Rio Tinto pada 1996 dulu.
"Transaksinya complicated (rumit). Ini transaksi tersulit yang pernah saya lakukan dengan pengalaman sebagai bankir selama 25 tahun," kata Budi
2. Transaksi Masih Jauh dari Tuntas, RI Belum Resmi Kuasai 51%
Ya, karena memang yang diteken kemarin masih berupa Head of Agreement (HoA) atau kesepakatan awal.
Seperti yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. HoA merupakan perjanjian payung sehingga mengatur hal-hal prinsip saja.
HoA ditindak-lanjuti dengan sejumlah perjanjian. Perjanjian yang harus dilakukan untuk benar-benar pemerintah memiliki 51% adalah Perjanjian Jual Beli Participating Rights antara Rio Rinto dengan Pemerintah yang nantinya dikonversi menjadi saham sebesar 40% di PT FI. Lalu perjanjian jual beli saham antara Pemerintah dengan Freeport McMoran sejumlah 5,4%.
"Perjanjian-perjanjian diatas harus benar-benar dicermati karena bagi lawyer ada adagium yang mengatakan 'the.devil is on the detail' (setannya ada dimasalah detail)," kata Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (13/7/2018).
Belajar dari pengalaman Indonesia negosiasi dengan Freeport selama ini, memang ada baiknya jika sudah ada kesepakatan diformalkan dulu dengan perjanjian payung. Terakhir, Indonesia berhasil negosiasi dengan Chairman Freeport James Bob Moffet, kesepakatan sudah dicapai tapi tidak dituangkan dalam bentuk tertulis.
Freeport McMoran kemudian berulah, Moffet digantikan oleh Richard Adkerson yang kemudian menihilkan kesepakatan yang terjalin dahulu. Adkerson mengirim surat panjang ke pemerintah RI pada September 2017, menolak mentah-mentah divestasi dan berprinsip bahwa Kontrak Karya Freeport berlaku sampai 2041.
Nah, biat negosiasi ada buahnya sedikit, kiranya RI memang perlu menuangkan kesepakatan awal dalam bentuk formal seperti HoA kemarin.
3. Mana lebih baik, divestasi sekarang atau nanti tunggu kontrak 2021 selesai?
Ini paling banyak jadi pertanyaan orang-orang, bukankah kalau menunggu 2021 bisa mendapat divestasi saham gratis?
Nah, ini juga yang sempat dipikirkan terlebih dulu. Tetapi, Freeport memang ahli dalam menyusun kontrak. Terdapat ketentuan dalam KK Freeport yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mendapat tambang bekas Freeport secara gratis saat kontrak habis.
Pasal 22 ayat 1 KK mengatur setelah jangka waktu berakhir, semua kekayaan milik Freeport yang bergerak atau tidak di wilayah proyek harus ditawarkan ke pemerintah dengan nilai pasar yang tidak lebih rendah dari nilai buku.
Menurut laporan keuangan PTFI yang diterima CNBC Indonesia, nilai buku perusahaan saat ini minimal US$6 miliar.
"Ditambah, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya diestimasi lebih dari Rp 2 triliun," tutur Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegero. Jadi, opsi RI saat ini adalah bayar US$3 miliar sekarang atau US$6 miliar (berpotensi naik) pada 2021 nanti.
Lalu, terdapat pula risiko diajukannya Indonesia ke Arbitrase Internasional mengingat kontrak berakhir pada 2021 sendiri masih jadi perdebatan. Freeport McMoran berkeras KK mengikat RI sampai 2041 tanpa ada pengecualian.
Jadi pemerintah dihadapi opsi beli US$ 3,85 miliar sekarang atau US$ 6 miliar di 2021 mendatang yang serba belum pasti.
(wed) Next Article Peralihan 51% Saham Freeport ke RI Maksimal di Agustus
Most Popular