Internasional
Hapus Sanksi, AS Denda ZTE Rp 19,4 T
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
08 June 2018 12:21

Washington, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) dan China telah meraih kesepakatan untuk meringankan sanksi yang membuat produsen ponsel pintar asal China, ZTE, berada di ambang kehancuran, kata pihak Negeri Paman Sam hari Kamis (7/6/2018). Kesepakatan itu menjadi indikasi kemungkinan perkembangan perbincangan dagang antara kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross, yang mengumumkan kesepakatan itu, kembali menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara kesepakatan ZTE dengan perbincangan dagang kedua negara.
Namun, penyelesaian masalah ZTE itu muncul hanya beberapa hari setelah Beijing dikabarkan menawarkan kenaikan pembelian barang Amerika untuk membantu memangkas ketidakseimbangan dagang yang melebar dengan AS. Tawaran itu mengarah ke pemenuhan permintaan utama Presiden AS Donald Trump.
Menurunnya ketegangan dengan Beijing adalah kabar baik untuk Trump, yang sedang bersiap menghadapi pertentangan dari para sekutunya di konferensi tingkat tinggi Group of Seven (G7) di Kanada pekan ini. Melansir dari AFP, di acara itu Eropa dan Kanada akan menyuarakan penolakan mereka terhadap tarif baja dan logam AS.
Meskipun begitu, tidak semua pihak merasa optimistis. Para anggota dewan AS justru mengancam langkah hukum terhadap kesepakatan ZTE dengan mengatakan perusahaan telekomunikasi itu memberi "risiko pengintaian" ke AS karena melanggar sanksi terhadap Iran dan Korea Utara (Korut).
Ross mengatakan kepada CNBC International pada hari Kamis bahwa kesepakatan itu sukar dan akan sangat mengekang ZTE.
"Ini adalah penyelesaian yang cukup ketat, penyelesaian denda terketat dan terbesar yang pernah dilakukan Kementerian Perdagangan terhadap segala pelanggar kontrol ekspor," katanya.
Pada bulan April, Washington melarang penjualan komponen-komponen AS yang penting ke perusahaan itu setelah menemukan ZTE berulang kali berbohong dan gagal mengambil langkah tegas ke karyawan yang bertanggung jawab atas pelanggaran sanksi.
Perusahaan didenda US$1,2 miliar (Rp 16,7 triliun) tahun lalu. Namun, dengan kesepakatan yang diumumkan hari Kamis itu, ZTE akan membayar penalti tambahan senilai US$1 miliar dan jaminan sejumlah US$400 juta sebagai jaminan atas pelanggaran di masa depan.
ZTE juga diwajibkan mengganti seluruh dewan direksi dan merekrut spesialis kepatuhan hukum dari luar yang akan melapor ke Kementerian Perdagangan selama 10 tahun.
Sebagai gantinya, Washington akan menghapuskan perusahaan dari daftar sanksi. Baik anggota dewan dari partai Republik maupun Demokrat mengancam mengambil langkah kongres yang bisa menghalangi atau mengubah kesepakatan, dengan menyebut ZTE mengancam keamanan nasional AS.
"Tentu saja tidak ada alasan bagus agar ZTE memperoleh kesempatan kedua dan keputusan ini menandakan perubahan 180 derajat dari janji presiden untuk lebih tegas ke China," kata Senator papan atas partai Demokrat Chuck Schumer dalam pernyataan resmi.
"Sekarang tergantung Kongres dalam bertindak memutarbalikkan kesepakatan."
Senator partai Republik Marco Rubio mengatakan, "Setelah keputusan hari ini untuk meloloskan #ZTE, kami telah memperkenalkan amandemen bipartisan untuk kembali berlakukan denda ke ZTE".
Perselisihan itu meningkatkan prospek bahwa Partai Republik yang notabene kubu Trump sendiri bisa menggangu rancangan kunci dari agenda perdagangannya.
Meskipun ada penyelesaian ini, tidak ada tanda bahwa Trump sudah berbelok dari rencananya di bulan ini untuk menerapkan tarif terhadap US$50 miliar produk impor dari China. Keputusan itu dibuat untuk menghukum Beijing karena diduga mencuri teknologi dan hak intelektual Amerika.
Washington dan Beijing berupaya untuk melanjutkan rangkaian diskusi dagang yang tertunda, dengan Trump yang meminta pengurangan defisit dagang dengan China sebesar US$200 miliar.
Ross bersikeras kesepakatan ZTE adalah masalah penegakan hukum yang tidak ada hubungannya dengan diskusi perdagangan yang dia pimpin.
"Kebetulan saya terlibat dengan negosiasi lain dengan China, tapi itu cukup terpisah," katanya kepada CNBC International.
Namun, penyangkalan Ross nampaknya bertentangan dengan pernyataan publik Trump.
Dalam sebuah cuitan di Twitter tertanggal 14 Mei, Trump mengatakan kesepakatan ZTE yang baru adalah "cerminan kesepakatan dagang lebih besar yang sedang kami negosiasikan dengan China."
Pejabat AS mengatakan pekan lalu China menawarkan untuk menambah pembelian barang AS senilai US$70 miliar demi memangkas defisit perdagangan, ketika Trump mengumumkan rencana tarif di sektor teknologi.
William Reinsch, pakar perdagangan di Center for Strategic and International Studies, mengatakan penawaran ZTE menunjukkan bahwa Beijing telah membuat konsesi perdagangan dengan Trump tetapi tetap belum jelas apakah nilainya setara.
Penawaran Beijing untuk membeli US$70 miliar barang itu tergolong "remeh" jika dibandingkan dengan pemangkasan defisit dagang AS dengan China senilai $200 miliar yang diminta Trump, kata Reinsch kepada AFP.
"Sulit untuk percaya tidak ada hubungannya, tetapi Ross benar-benar pergi dari Beijing akhir pekan lalu tanpa apapun," katanya.
"Menurut saya akan ada penundaan lagi."
(prm) Next Article Rangkaian Kejadian Penyebab Perang Dagang AS-China
Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross, yang mengumumkan kesepakatan itu, kembali menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara kesepakatan ZTE dengan perbincangan dagang kedua negara.
Namun, penyelesaian masalah ZTE itu muncul hanya beberapa hari setelah Beijing dikabarkan menawarkan kenaikan pembelian barang Amerika untuk membantu memangkas ketidakseimbangan dagang yang melebar dengan AS. Tawaran itu mengarah ke pemenuhan permintaan utama Presiden AS Donald Trump.
Meskipun begitu, tidak semua pihak merasa optimistis. Para anggota dewan AS justru mengancam langkah hukum terhadap kesepakatan ZTE dengan mengatakan perusahaan telekomunikasi itu memberi "risiko pengintaian" ke AS karena melanggar sanksi terhadap Iran dan Korea Utara (Korut).
Ross mengatakan kepada CNBC International pada hari Kamis bahwa kesepakatan itu sukar dan akan sangat mengekang ZTE.
"Ini adalah penyelesaian yang cukup ketat, penyelesaian denda terketat dan terbesar yang pernah dilakukan Kementerian Perdagangan terhadap segala pelanggar kontrol ekspor," katanya.
Pada bulan April, Washington melarang penjualan komponen-komponen AS yang penting ke perusahaan itu setelah menemukan ZTE berulang kali berbohong dan gagal mengambil langkah tegas ke karyawan yang bertanggung jawab atas pelanggaran sanksi.
Perusahaan didenda US$1,2 miliar (Rp 16,7 triliun) tahun lalu. Namun, dengan kesepakatan yang diumumkan hari Kamis itu, ZTE akan membayar penalti tambahan senilai US$1 miliar dan jaminan sejumlah US$400 juta sebagai jaminan atas pelanggaran di masa depan.
ZTE juga diwajibkan mengganti seluruh dewan direksi dan merekrut spesialis kepatuhan hukum dari luar yang akan melapor ke Kementerian Perdagangan selama 10 tahun.
Sebagai gantinya, Washington akan menghapuskan perusahaan dari daftar sanksi. Baik anggota dewan dari partai Republik maupun Demokrat mengancam mengambil langkah kongres yang bisa menghalangi atau mengubah kesepakatan, dengan menyebut ZTE mengancam keamanan nasional AS.
"Tentu saja tidak ada alasan bagus agar ZTE memperoleh kesempatan kedua dan keputusan ini menandakan perubahan 180 derajat dari janji presiden untuk lebih tegas ke China," kata Senator papan atas partai Demokrat Chuck Schumer dalam pernyataan resmi.
"Sekarang tergantung Kongres dalam bertindak memutarbalikkan kesepakatan."
Senator partai Republik Marco Rubio mengatakan, "Setelah keputusan hari ini untuk meloloskan #ZTE, kami telah memperkenalkan amandemen bipartisan untuk kembali berlakukan denda ke ZTE".
Perselisihan itu meningkatkan prospek bahwa Partai Republik yang notabene kubu Trump sendiri bisa menggangu rancangan kunci dari agenda perdagangannya.
Meskipun ada penyelesaian ini, tidak ada tanda bahwa Trump sudah berbelok dari rencananya di bulan ini untuk menerapkan tarif terhadap US$50 miliar produk impor dari China. Keputusan itu dibuat untuk menghukum Beijing karena diduga mencuri teknologi dan hak intelektual Amerika.
Washington dan Beijing berupaya untuk melanjutkan rangkaian diskusi dagang yang tertunda, dengan Trump yang meminta pengurangan defisit dagang dengan China sebesar US$200 miliar.
Ross bersikeras kesepakatan ZTE adalah masalah penegakan hukum yang tidak ada hubungannya dengan diskusi perdagangan yang dia pimpin.
"Kebetulan saya terlibat dengan negosiasi lain dengan China, tapi itu cukup terpisah," katanya kepada CNBC International.
Namun, penyangkalan Ross nampaknya bertentangan dengan pernyataan publik Trump.
Dalam sebuah cuitan di Twitter tertanggal 14 Mei, Trump mengatakan kesepakatan ZTE yang baru adalah "cerminan kesepakatan dagang lebih besar yang sedang kami negosiasikan dengan China."
Pejabat AS mengatakan pekan lalu China menawarkan untuk menambah pembelian barang AS senilai US$70 miliar demi memangkas defisit perdagangan, ketika Trump mengumumkan rencana tarif di sektor teknologi.
William Reinsch, pakar perdagangan di Center for Strategic and International Studies, mengatakan penawaran ZTE menunjukkan bahwa Beijing telah membuat konsesi perdagangan dengan Trump tetapi tetap belum jelas apakah nilainya setara.
Penawaran Beijing untuk membeli US$70 miliar barang itu tergolong "remeh" jika dibandingkan dengan pemangkasan defisit dagang AS dengan China senilai $200 miliar yang diminta Trump, kata Reinsch kepada AFP.
"Sulit untuk percaya tidak ada hubungannya, tetapi Ross benar-benar pergi dari Beijing akhir pekan lalu tanpa apapun," katanya.
"Menurut saya akan ada penundaan lagi."
(prm) Next Article Rangkaian Kejadian Penyebab Perang Dagang AS-China
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular