Internasional
Buntut Skandal Data Facebook, Cambridge Analytica Akan Tutup
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
03 May 2018 13:53

London, CNBC Indonesia - Cambridge Analytica (CA), perusahaan analitik pemasaran asal Inggris, pada hari Rabu (2/5/2018) mengumumkan penutupan perusahaannya. CA juga akan mengajukan permohonan kepailitan di Inggris dan Amerika Serikat (AS) setelah gagal bangkit kembali dari skandal kebocoran data Facebook.
Keputusan itu adalah ujung dari tekanan intens terhadap perusahaan, yang jasanya digunakan dalam kampanye kepresidenan Donald Trump, setelah munculnya dugaan peretasan data 87 juta pengguna Facebook.
Perusahaan itu mengklaim telah "difitnah" oleh "begitu banyak tuduhan tidak berdasar" yang menghancurkan bisnisnya dan membuat perusahaan itu "tidak memiliki alternatif realistis" selain pailit.
"Meskipun Cambridge Analytica tetap teguh dan percaya diri karyawannya berperilaku sesuai etika dan undang-undang [...] kepungan peliputan media telah membuat semua pelanggan dan pemasok perusahaan menjauh," kata pihak perusahaan dalam pernyataan resmi yang dikutip AFP.
"Alhasil, sudah diputuskan bahwa tidak layak lagi untuk meneruskan operasi bisnis."
Sebagai afiliasi dari perusahaan asal Inggris Strategic Communication Laboratories (SCL), CA memiliki kantor di London, New York, Washington, serta Brazil dan Malaysia.
CA mencuri perhatian publik setelah Steve Bannon, mantan kepala strategis Trump, dikabarkan menjabat sebagai direksi perusahaan itu dan menerima biaya senilai US$15 juta (Rp 209,5 miliar) dari miliuner AS sekaligus penyumbang partai Republik Robert Mercer.
Perusahaan itu mulai terlibat ke dalam skandal di bulan Maret ketika whistleblower Christopher Wylie, pria berusia 28 tahun asal Kanada yang sempat bekerja sebagai analis di perusahaan itu, mengungkapkan CA telah membuat profil psikologis dari puluhan juta pengguna Facebook lewat aplikasi prediksi kepribadian.
Pengungkapan itu langsung menggema di seluruh dunia, menghapuskan miliaran dolar nilai pasar raksasa media sosial itu dan menarik perhatian dan pengawasan dari politisi dan regulator di berbagai negara.
Memperburuk keadaan CA, CEO Alexander Nix juga diberhentikan dalam hitungan hari setelah seorang reporter yang menyamar merekam Nix ketika sesumbar tentang cara memenangkan kampanye politik, termasuk lewat pemerasan dan penjebakan.
Seiring dengan memanasnya masalah itu, CEO Facebook Mark Zuckerberg dipaksa untuk meminta maaf kepada miliaran pengguna yang semakin meninggalkan situs itu.
Pada akhirnya dia hadir di hadapan Kongres untuk disidang selama dua hari berturut-turut oleh para anggota dewan, lalu bersumpah akan merombak cara Facebook membagikan data penggunanya.
Sementara itu di Inggris, para regulator meningkatkan penyelidikan terhadap CA, menggeledah kantor-kantornya di London, kemudian memperpanjang investigasi ke 30 organisasi termasuk Facebook.
Whistleblower kedua dari perusahaan itu juga muncul dalam rapat dengar pendapat parlemen di bulan April. Dia mengklaim data pribadi warga negara Inggris bisa jadi telah disalahgunakan oleh kampanye pro-Brexit menjelang referendum di tahun 2016, ketika Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa.
Setelah itu, Facebook meningkatkan jumlah pengguna yang terdampak skandal ini dengan mengakui data 87 juta pengguna bisa jadi ikut "dipanen".
CA terus mengelak tuduhan eksploitasi data untuk kampanye pemilu Trump dengan mengklaim perusahaan itu menghapus data yang diperoleh dari pelanggaran ketentuan layanan jejaring sosial.
Saat menghadiri konferensi pers di London pekan lalu, seorang Juru Bicara CA mengatakan perusahaan itu "bukanlah penjahat Bond" dan tidak melanggar hukum.
CA merekrut seorang pengacara Inggris bernama Julian Malins untuk melakukan investigasi independen terhadap apa yang disebut "arus spekulasi kurang informasi dan tidak akurat", serta mempublikasikan laporannya di situs pada hari Rabu.
"Laporan itu [...] menyimpulkan bahwa tuduhan-tuduhan tidak 'dibuktikan dengan fakta'," kata pihak CA.
"[CA] sudah difitnah karena aktivitas yang tidak hanya legal, tapi juga sangat diterima sebagai komponen standar dari periklanan online di arena politik maupun komersial," tambahnya.
Namun, perusahaan itu mengakui krisis ini telah menyebabkan dampak yang sangat berat dan direksi telah menunjuk seorang pengacara di Inggris untuk mengawasi proses kepailitan, diikuti dengan gugatan di AS.
CA mengatakan meski kondisi keuangannya "genting", perusahaan itu berniat "untuk sepenuhnya memenuhi kewajiban terhadap karyawan".
Reaksi awal terhadap pemberitaan ini di Inggris terjaga.
Damian Collins MP, Ketua Komite Parlemen yang menyelenggarakan rapat dengar pendapat tentang masalah ini dan melemparkan pertanyaan kepada Nix di bulan Februari dan eksekutif Facebook bulan lalu, memperingatkan CA "tidak diperbolehkan menghapus riwayat datanya dengan penutupan".
"Investigasi terhadap pekerjaan mereka sangat penting," tambahnya.
(prm) Next Article CubeYou Respons Dugaan Kebocoran Data Facebook
Keputusan itu adalah ujung dari tekanan intens terhadap perusahaan, yang jasanya digunakan dalam kampanye kepresidenan Donald Trump, setelah munculnya dugaan peretasan data 87 juta pengguna Facebook.
Perusahaan itu mengklaim telah "difitnah" oleh "begitu banyak tuduhan tidak berdasar" yang menghancurkan bisnisnya dan membuat perusahaan itu "tidak memiliki alternatif realistis" selain pailit.
"Alhasil, sudah diputuskan bahwa tidak layak lagi untuk meneruskan operasi bisnis."
Sebagai afiliasi dari perusahaan asal Inggris Strategic Communication Laboratories (SCL), CA memiliki kantor di London, New York, Washington, serta Brazil dan Malaysia.
CA mencuri perhatian publik setelah Steve Bannon, mantan kepala strategis Trump, dikabarkan menjabat sebagai direksi perusahaan itu dan menerima biaya senilai US$15 juta (Rp 209,5 miliar) dari miliuner AS sekaligus penyumbang partai Republik Robert Mercer.
Perusahaan itu mulai terlibat ke dalam skandal di bulan Maret ketika whistleblower Christopher Wylie, pria berusia 28 tahun asal Kanada yang sempat bekerja sebagai analis di perusahaan itu, mengungkapkan CA telah membuat profil psikologis dari puluhan juta pengguna Facebook lewat aplikasi prediksi kepribadian.
Pengungkapan itu langsung menggema di seluruh dunia, menghapuskan miliaran dolar nilai pasar raksasa media sosial itu dan menarik perhatian dan pengawasan dari politisi dan regulator di berbagai negara.
Memperburuk keadaan CA, CEO Alexander Nix juga diberhentikan dalam hitungan hari setelah seorang reporter yang menyamar merekam Nix ketika sesumbar tentang cara memenangkan kampanye politik, termasuk lewat pemerasan dan penjebakan.
Seiring dengan memanasnya masalah itu, CEO Facebook Mark Zuckerberg dipaksa untuk meminta maaf kepada miliaran pengguna yang semakin meninggalkan situs itu.
Pada akhirnya dia hadir di hadapan Kongres untuk disidang selama dua hari berturut-turut oleh para anggota dewan, lalu bersumpah akan merombak cara Facebook membagikan data penggunanya.
Sementara itu di Inggris, para regulator meningkatkan penyelidikan terhadap CA, menggeledah kantor-kantornya di London, kemudian memperpanjang investigasi ke 30 organisasi termasuk Facebook.
Whistleblower kedua dari perusahaan itu juga muncul dalam rapat dengar pendapat parlemen di bulan April. Dia mengklaim data pribadi warga negara Inggris bisa jadi telah disalahgunakan oleh kampanye pro-Brexit menjelang referendum di tahun 2016, ketika Inggris memilih untuk keluar dari Uni Eropa.
Setelah itu, Facebook meningkatkan jumlah pengguna yang terdampak skandal ini dengan mengakui data 87 juta pengguna bisa jadi ikut "dipanen".
CA terus mengelak tuduhan eksploitasi data untuk kampanye pemilu Trump dengan mengklaim perusahaan itu menghapus data yang diperoleh dari pelanggaran ketentuan layanan jejaring sosial.
Saat menghadiri konferensi pers di London pekan lalu, seorang Juru Bicara CA mengatakan perusahaan itu "bukanlah penjahat Bond" dan tidak melanggar hukum.
CA merekrut seorang pengacara Inggris bernama Julian Malins untuk melakukan investigasi independen terhadap apa yang disebut "arus spekulasi kurang informasi dan tidak akurat", serta mempublikasikan laporannya di situs pada hari Rabu.
"Laporan itu [...] menyimpulkan bahwa tuduhan-tuduhan tidak 'dibuktikan dengan fakta'," kata pihak CA.
"[CA] sudah difitnah karena aktivitas yang tidak hanya legal, tapi juga sangat diterima sebagai komponen standar dari periklanan online di arena politik maupun komersial," tambahnya.
Namun, perusahaan itu mengakui krisis ini telah menyebabkan dampak yang sangat berat dan direksi telah menunjuk seorang pengacara di Inggris untuk mengawasi proses kepailitan, diikuti dengan gugatan di AS.
CA mengatakan meski kondisi keuangannya "genting", perusahaan itu berniat "untuk sepenuhnya memenuhi kewajiban terhadap karyawan".
Reaksi awal terhadap pemberitaan ini di Inggris terjaga.
Damian Collins MP, Ketua Komite Parlemen yang menyelenggarakan rapat dengar pendapat tentang masalah ini dan melemparkan pertanyaan kepada Nix di bulan Februari dan eksekutif Facebook bulan lalu, memperingatkan CA "tidak diperbolehkan menghapus riwayat datanya dengan penutupan".
"Investigasi terhadap pekerjaan mereka sangat penting," tambahnya.
(prm) Next Article CubeYou Respons Dugaan Kebocoran Data Facebook
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular