Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan startup berstatus unicorn penyedia jasa ride-hailing PT Aplikasi Karya Anak Bangsa alias Gojek tampaknya bukan seorang Raja Midas, yang setiap sentuhannya niscaya mengubah sesuatu menjadi emas.
Memang, perusahaan yang didirikan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim ini seringkali membuat gebrakan yang menimbulkan keriuhan di dunia maya dan pasar saham akhir-akhir ini.
Tapi di pasar saham hal itu tidak seluruhnya berlaku. Gojek atau kini berada di bawah naungan induk GoTo yang membawahi Tokopedia, belum mampu mengangkat kinerja saham dan fundamental emiten pemilik taksi Blue Bird PT Blue Bird Tbk (BIRD) yang sejak awal tahun mencatatkan kinerja negatif.
Sebagaimana diketahui, Gojek resmi masuk ke saham BIRD dengan membeli 4,33% saham perusahaan jasa transportasi taksi tersebut pada 21 Februari tahun lalu.
Ini tentu saja kontras dengan kinerja dua saham milik Gojek lainnya, yakni saham PT Bank Jago Tbk (ARTO), bank besutan bankir kawakan Jerry Ng dan mitranya, serta milik pendiri perusahaan investasi Northstar Pasific Patrick Walujo. Satu saham lagi yakni emiten pengelola Hypermart milik Grup Lippo PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA). Kedua saham tersebut mencatatkan kinerja yang oke punya sejak awal tahun ini.
Gojek resmi berinvestasi di Bank Jago per 18 Desember 2020 dengan menggenggam sebanyak 22% saham perusahaan lewat PT Dompet Karya Anak Bangsa alias GoPay.
Sementara itu, Gojek juga masuk ke saham MPPA dengan membeli sebagian 4,76% saham yang sebelumnya dimiliki oleh sang induk MPPA, PT Multipolar Tbk (MLPL). Pada 11 Mei lalu, pihak Multipolar resmi mengumumkan masuknya Gojek ke MPPA lewat PT Pradipa Darpa Bangsa.
Sebanyak 99,996% saham Pradipa dipegang oleh Gojek, dan sebesar 0,004% dipegang oleh GoPay.
Nah, Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara singkat kinerja saham BIRD, dibandingkan dengan saham ARTO dan MPPA setelah Gojek resmi masuk ke ketiga saham tersebut, mengacu data per 21 Mei 2021.
Dengan mengacu pada tabel di atas, saham BIRD berada di posisi buncit, dengan mencatatkan kinerja yang tidak menggembirakan. Saham BIRD ambles 8,86% dalam sebulan, sementara secara year to date (ytd) anjlok 5,00%.
Kalau dibandingkan dengan saham MPPA dan ARTO, tentu kinerja saham BIRD sangat jomplang. Saham MPPA naik tajam 59,42% dalam sebulan belakangan. Sementara, sejak awal tahun saham ini sudah 'meroket to the moon' setinggi 947,62%.
Adapun saham ARTO memang ambles 6,71% dalam 30 hari perdagangan terakhir. Tetapi, secara ytd saham bank yang sebelumnya bernama Bank Artos Indonesia ini sudah membumbung tinggi 159,81%.
Bahkan, apabila jangka waktu kinerja saham kita perluas lagi, yakni sejak Gojek resmi mengambil secuil saham BIRD pada 21 Februari 2020, saham BIRD malah cenderung 'menuruni bukit'. (Lihat grafik di bawah ini).
Menilik grafik di atas, tercatat harga saham BIRD pada 21 Februari 2020 sebesar Rp 2.340/saham. Adapun pada penutupan pasar Jumat (21/5) lalu, harga saham ini Rp 1.235/saham, alias ambles sedalam 47,22%.
Memang, kecenderungan 'turun bukit' ini sudah lama terlihat sejak harga saham BIRD mencapai puncak tertinggi di Rp 12.100 pada 16 Januari 2015. Setelah itu, saham ini terus cenderung melorot sampai sekarang, semakin bergerak menjauhi harga penawaran saham perdana (IPO) yang sebesar Rp 6.500/saham pada 5 November 2014.
Menariknya, sebagaimana dicatat CNBC Indonesia, seiring isu masuknya Gojek ke Blue Bird yang beredar kalangan pelaku pasar, pada 19 Februari 2020, para investor tercatat tidak mengakumulasi saham BIRD. Malahan, pada penutupan pasar di hari tersebut, saham BIRD merosot 1,64% ke Rp 2.390/saham.
Tetapi, sentimen rumor Gojek masuk ke Blue Bird malah berhasil menggerakkan saham ini pada tahun sebelumnya. Dikutip dari pemberitaan CNBC Indonesia, pada 3 Juli 2019 saham BIRD sempat melesat 3,83% ke level Rp 2.980/saham, setelah beredar rumor Gojek dikabarkan akan masuk perusahaan yang didirikan pada 1972 ini.
Kala itu, Gojek dirumorkan masuk ke Blue Bird dengan membeli 20% saham perusahaan.
Blue Bird dan Gojek sebetulnya sudah menjalin kerja sama sebelumnya. Kolaborasi keduanya terwujud dalam layanan Go-Blue Bird yang diresmikan pada 30 Maret 2019.Go-Blue Bird menjadi jenis layanan baru di aplikasi Gojek. Dalam layanan ini, pengguna aplikasi bisa memesan kendaraan khusus untuk taksi Blue Bird.
Di samping hal di atas, apabila dibandingkan dengan saham ARTO dan MPPA, nilai transaksi dan kapitalisasi pasar (market cap) saham BIRD tercatat lebih kecil. Per Jumat (21/5), market cap saham BIRD sebesar Rp 3,09 triliun. Angka ini lebih kecil dibandingkan saham MPPA yang mencapai Rp 8,28 triliun.
Bahkan, market cap BIRD tidak ada apa-apanya dibandingkan saham ARTO yang senilai Rp 139,60 triliun. Saham ARTO sendiri saat ini termasuk ke dalam 10 besar big cap atau saham dengan market cap di atas RP 100 triliun.
Rerata nilai transaksi saham BIRD pun lebih kecil, yakni berada di kisaran ratusan juta hingga Rp 1-4 miliar. Sementara, saham ARTO dan MPPA di kisaran puluhan sampai ratusan miliar.
Selain itu, tidak seperti saham ARTO dan MPPA, saham BIRD cenderung minim sentimen. Bahkan, seperti yang disebutkan di atas, sentimen masuknya Gojek ke saham perusahaan tidak serta-merta mendongkrak harga saham BIRD.
NEXT: Saham ARTO-MPPA Banjir Sentimen
Kondisi saham Blue Bird berbeda dengan saham ARTO dan MPPA yang memang banjir sentimen, setidaknya sejak Gojek resmi mengambil porsi saham perusahaan.
Sejak perusahaan resmi mengumumkan masuknya Gojek pada 18 Desember 2020, saham ARTO sudah melesat 158,33% ke level Rp 10.075/saham.
Kabar masuknya Gojek ke saham ARTO sendiri sudah diantisipasi pasar beberapa hari sebelumnya, yakni pada 14 Desember 2020 ketika Gojek masuk ke saham Bank Jago melalui pasar negosiasi. Kala itu belum diketahui apakah transaksi tersebut akan dilakukan oleh Gojek atau GoPay.
Namun, masih berdasarkan rumor yang beredar di kalangan pelaku pasar modal pada tanggal tersebut, Gojek atau GoPay akan masuk ke bank eks Bank Artos Indonesia ini dengan kepemilikan di atas 20%.
Selain sentimen tersebut, sentimen terkait aksi Gojek lainnya yang ikut mendongkrak harga saham ARTO adalah merger Gojek-Tokopedia yang sudah tercium pasar pada awal tahun ini.
Pada pagi hari di tanggal 5 Januari 2021, pasar dikabarkan dengan rencana merger Gojek danTokopedia, menjelang IPO yang direncanakan dari entitas gabungan ini.
Sejurus dengan itu, investor merespons dengan memborong saham ARTO hingga melesat 4,95% ke Rp 4.450/saham. Tidak hanya itu, melonjaknya harga saham ARTO secara gila-gilaan sejak awal tahun ini juga didorong sentimen narasi bank digital dan pemenuhan modal inti oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sekitar Februari sampai pertengahan Maret tahun ini, saham ARTO bersama saham bank mini lainnya (bank dengan modal inti Rp 1-5 triliun) berhasil melonjak secara luar biasa, walaupun kemudian 'dibanting' habis-habisan.
Kenaikan saham bank mini akhir-akhir ini didorong oleh sentimen narasi bank digital, yang dinilai bakal memiliki prospek cerah di masah depan. Bank Jago beserta sejumlah bank bermodal 'cekak' lainnya dikabarkan ingin bertransformasi menjadi bank digital.
Selain soal narasi bank digital, sentimen pendorong lainnya ialah aturan pemenuhan modal inti oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK No 12/2020.
Peraturan tersebut mengharuskan bank untuk memiliki modal inti minimum bank umum sebesar Rp 1 triliun tahun 2020, Rp 2 triliun pada 2021 dan minimal Rp 3 triliun tahun 2022. Dengan aturan tersebut, bank-bank dengan modal mini harus mencari investor strategis untuk menyuntikkan modal.
Sentimen terbaru untuk saham ARTO ialah terkait resminya sinergi antara Gojek dan Tokopedia di bawah nama perusahaan holding GoTo pada Senin (17/5). Di hari peresmian GoTo, saham ARTO naik 1,90% ke Rp 10.075/saham, kendati sepanjang 3 hari setelahnya saham ini malah terus terpelanting.
Sinergi Gojek-Tokopedia bisa menjadi katalis positif bagi prospek bisnis Bank Jago. JP Morgan dalam risetnya, Senin (17/5), menjelaskan, Bank Jago dapat memperluas jangkauan ekosistem bank digital ke Tokopedia pascamerger GoTo.
Adapun, ketimbang kedua saham di atas yang sudah lebih duluan, Gojek masuk ke saham MPPA secara tidak langsung, yakni melalui anak perusahaannya PT Pradipa Darpa Bangsa, pada 26 April 2021 dengan menggenggam 4,76% saham perseroan.
Namun, pihak Multipolar, selaku induk usaha, baru mengungkapkan identitas Gojek sebagai induk Pradipa pada 11 Mei 2021.
Sebelum pernyataan resmi dari Multipolar dirilis, informasi soal masuknya Gojek ke MPPA sendiri sudah beredar di kalangan pelaku pasar pada 22 April 2021. Pada tanggal tersebut, saham MPPA sempat menyentuh batas auto rejection atas (ARA) setelah naik hampir 25% dalam sehari ke level Rp 860 per saham.
Imbas dari kenaikan yang signifikan tersebut, pihak bursa akhirnya menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham MPPA mulai sesi I perdagangan 23 April lalu.
Sebelumnya, pada 29 Januari 2021, saham MPPA juga melonjak tinggi 34,88% ke Rp 116/saham seiring kabar masuknya Grup TemasekSingapura keperusahaan.
Sekadar informasi, pada 28 Januari, Anderson InvestmentsPte. Ltd (Anderson), entitas yang secara tidak langsung dimiliki sepenuhnya olehTemasekHoldings (Private) Limited asal Singapura, resmi memegang 19% sahamMPPA.
Tidak hanya sentimen dari masuknya Gojek dan Grup Temasek, momentum puasa dan lebaran sepanjang bulan dan ini juga ikut mendorong kenaikan harga saham MPPA.
NEXT: Fundamental BIRD-MPPA-ARTO
Memang, kinerja saham BIRD di atas tampaknya selaras dengan kinerja keuangannya yang jeblok sepanjang tahun lalu. Pendapatan perusahaan melorot 49,44% menjadi Rp 2,46 triliun pada 2020.
Sejurus dengan pendapatan yang turun, laba bersih perusahaan yang sebesar Rp 314,56 miliar pada 2019 berubah menjadi rugi bersih sebesar Rp 161,35 miliar pada tahun lalu.
Seperti sektor lainnya, Blue Bird ikut terdampak pagebluk Covid-19 yang membatasi pergerakan orang-orang dan akhirnya membuat perekonomian lesu. Di sisi lain, persaingan dengan taksi online juga turut berdampak pada bisnis ini.
Adapun per kuartal I tahun ini, pihak Blue Bird juga kembali menelan rugi sebesar Rp 28,25 miliar, dari sebelumnya mencatatkan laba bersih Rp 13,74 miliar pada triwulan pertama 2020.
Namun, tidak seperti saham BIRD, kinerja saham ARTO dan MPPA tidak memperlihatkan kondisi fundamental perusahaan yang sedang tertekan. Kedua saham tersebut terus menanjak di tengah perusahaan yang masih membukukan rugi bersih.
Per 31 Desember 2020, ARTO kembali membukukan rugi bersih sebesar Rp 189,57 miliar, dari rugi bersih tahun sebelumnya yang sebesar Rp 121,97 miliar. Sementara, per akhir Maret 2021, ARTO masih menanggung rugi bersih Rp 38,13 miliar.
Adapun kinerja keuangan Matahari Putra Prima dalam 4 tahun belakangan tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Pasalnya, sejak 2017 MPPA terus mengalami rugi bersih.
Terbaru, pengelola Hypermartini membukukan rugi bersih Rp 405,31 miliar pada 2020. Angka ini berkurang 27% dari rugi bersih tahun sebelumnya yang sebesar Rp 552,68 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA