Ogah Beli GoTo, Tesla & Bank Jago, Ini 5 Alasan Lo Kheng Hong

Monica Wareza, CNBC Indonesia
20 May 2021 11:35
Lo Kheng Hong, Simas Invest
Foto: Lo Kheng Hong, Simas Invest

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor saham sekaliber Lo Kheng Hong yang sudah malang melintang berinvestasi di pasar modal sejak lama, ternyata menghindari untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi, terutama yang baru melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO).

Hal ini pun berlaku bagi Goto, perusahaan hasil merger dua raksasa teknologi Gojek dan Tokopedia yang berencana melakukan dual listing atau pencatatan saham di bursa saham sekaligus termasuk di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dia mengakui bahwa dirinya merupakan investor yang konvensional dan masih mementingkan kondisi fundamental perusahaan terlebih dahulu untuk membeli sahamnya.

Dalam sebuah video yang diposting dalam akun Instagram @lukas_setiaatmaja, dia memaparkan alasannya tidak mau membeli saham perusahaan teknologi ini.

1. Tidak Membeli Saham IPO 20 Tahun terakhir

Dalam video tersebut, Lo Kheng Hong mengakui sudah 20 tahun terakhir tidak pernah membeli saham-saham yang baru tercatat di bursa karena menilai valuasinya yang mahal. Sedangkan moto investasinya adalah saham dari perusahaan yang bagus dan membelinya di harga murah.

"Yang pertama saya sudah tidak membeli saham IPO 20 tahun lebih karena tidak mungkin pemilik perusahaan dan penjamin emisi mau menjual di harga undervalue, harga murah. Pasti mereka mau menjual harga IPO semahal-mahalnya," kata dia, dikutip Kamis (20/5/2021).

2. Saham Tech Jadi 'Barangnya' Fund Manager

Dia mengungkapkan bahwa perusahaan dengan valuasi yang besar itu malah justru membuat masa untuk mencapai periode break even point (BEP) alias balik modal semakin lama. Contohnya saja saham Tesla di bursa Wall Street AS yang saat ini memiliki price to earning (PER) 1.000 kali, artinya baru akan mencapai BEP dalam 10 abad ke depan.

Selain itu saham teknologi itu juga menjadi portofolio dari fund manager yang mengelola dana investor.

"Saham teknologi itu buat fund manager karena mereka kelola uang orang lain, bukan uang orang sendiri, kalau rugi pun ga apa-apa, mereka tetap untung," imbuh pemilik saham Petrosea (PTRO), Global Mediacom (BMTR), dan Mitrabahtera Segara Sejati (MBSS).

"Yang pertama saya sudah tidak membeli saham-saham IPO dalam 20 tahun lebih, karena tidak mungkin pemilik perusahaan dan penjamin emisi [underwriter] mau menjual saham di harga undervalue [di bawah pasar], harga murah, pasti mereka mau menjual harga IPO semahal-mahalnya, jadi 20 tahun lebih saya menghindari membeli saham IPO," katanya.

3. Lo Kheng Hong Tidak Mengerti Teknologi

Hal lain yang diungkapkannya adalah bahwa dirinya tidak terlalu paham dalam menggunakan teknologi. Bahkan untuk mengoperasikan komputer secara standar diakuinya masih membutuhkan bantuan dari anaknya.

"Saya ga mengerti teknologi, untuk zoom meeting ini aja kalau ga dibantu anak saya mungkin tidak akan terjadi zoom ini. Sampai saat ini saya ngetik di komputer aja ga bisa. Mungkin saudara kaget Lo Kheng Hong ngetik di komputer ga bisa, karena waktu saya kuliah dulu belum ada komputer, udah gitu saya ga mau belajar karena ga ada kebutuhan," papar dia.

4. Perusahaan Teknologi Valuasinya Tinggi

Selanjutnya dia memaparkan bahwa biasanya valuasi saham perusahaan teknologi ini sangat mahal, tidak sebanding dengan kinerja keuangannya, bahkan tidak jarang perusahaan ini masih merugi.

Dia mencontohkan saham PT Bank Jago Tbk (ARTO) dengan price to book value (PBV) bisa mencapai 90 kali namun perusahaan masih merugi dan nilai aset yang mencapai Rp 1 triliun.

"Saya ga mungkin mau beli saham Tesla yang PE [price to earning ratio]-nya 1000x, ga mungkin seperti itu. PE 1000x itu artinya kalau labanya ga tumbuh, investasi kita itu belum akan break even sebelum 10 abad. Jadi ga mungkin saya beli saham teknologi yang valuasinya mahal," ungkapnya.

PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.

Sedangkan PER juga merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.

Data BEI mencatat, rasio PBV Bank Jago sudah mencapai 17,31 kali, melebihi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) 4,38 kali dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), 2,41 kali.

5. Investor Konservatif

Dia juga mengungkapkan bahwa dirinya terlebih dahulu mengecek kinerja perusahaan sebelum membeli saham tertentu. Kinerja keuangan yang baik menjadi salah satu indikator bahwa saham perusahaan tersebut dinilai layak untuk dikoleksi.

"Saya seorang investor yang konservatif, saya ga mau liat kinerjanya yang berlebihan di masa yang akan datang. Jadi saya mau liat labanya dulu, tunjukin ke saya. Kalau sudah labanya besar, harganya murah, baru saya beli," jelasnya.


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Alasan Lo Kheng Hong Ogah Beli Saham IPO GoTo, Mahal Pak?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular