Jakarta, CNBC Indonesia - Jagat pasar modal dalam negeri sempat heboh, saat Gojek dan Tokopedia, dua decacorn domestik mengumumkan penggabungan usaha. Penggabungan ini sekalikus menjawab spekulasi seputar rencana penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) perusahaan technologi terbesar tersebut.
Adalah GoTo, hasil perkawinan antara startup Gojek dan Tokopedia yang disebut-sebut siap melantai di Bursa Efek Indonesia dalam waktu dekat.
Menurut laporan CBInsights bertajuk The Complete List of Unicorn Companies, pada april 2021, Gojek memiliki valuasi US$10 miliar (Rp 142,5 triliun, kurs Rp 14.250/US$) dan Tokopedia US$7 miliar. (Rp 99,7 triliun).
Maka dari itu dengan hitungan kasar tanpa mempertimbangkan kekuatan startup yang tentunya akan semakin solid mendominasi pasar pasca merger maka valuasi GoTo berada di kisaran US$ 17 miliar (Rp 242,2 triliun).
Apabia valuasi tersebut yang digunakan untuk melantai, nantinya GoTo akan langsung bertengger menjadi perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar kelima di BEI.
Ranking GoTo ini berada di atas perusahaan-perusahaan besar kenamaan lain seperti raja consumer goods PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), pemimpin pasar otomotif dalam negeri PT Astra Internasional Tbk (ASII), serta emiten rokok PT H M Sampoerna Tbk (HMSP).
Meskipun nilai kapitalisasi pasarnya jumbo ternyata investor kawakan Lo Kheng Hong enggan membeli saham GoTo karena valuasinya yang dianggap sangat mahal sekali dan belum ada track record mampu mencetak laba.
Hal ini tentu saja berbeda dengan ketiga emiten yang kapitalisasi pasarnya berada di bawah GoTo yang sudah terbukti berhasil mencetak laba jumbo secara konsisten dan bahkan rutin membagikan laba bersihnya sebagai dividen kepada investor.
Valuasi GoTo sendiri dijustifikasi sangat jumbo karena nilai transaksi di kedua platform atau biasa di kalangan perusahaan rintisan disebut Gross Merchant Value (GMT) dan Gross Transaction Value (GTT) sangatlah jumbo.
GoTo mengklaim memiliki GTV sebesar US$ 22 miliar (Rp 316 triliun) sepanjang tahun 2020 didukung oleh pengguna aktif bulanan sebesar 100 juta. Hasil merger kedua startup ini diklaim menggerakan 2% perekonomian Indonesia.
Akan tetapi meskipun total nilai transaksi yang terjadi di kedua aplikasi sangatlah jumbo, nyatanya kedua perusahaan disebut-sebut belum mampu membukukan laba bersih dan terus menerus melakukan aksi 'bakar uang' untuk melakukan promosi.
Tentunya hal ini merupakan kabar di kalangan para pelaku pasar saja, karena status kedua perusahaan masih merupakan perusahaan private sehingga tidak perlu merilis kinerja keuanganya pada publik.
Walaupun masih merugi, investor private, para venture capital serta perusahaan raksasa lain yang berinvestasi di Gojek dan Tokopedia berani membayar mahal untuk kedua startup karena dengan pertumbuhan kedua perusahaan yang pesat, Gojek dan Tokopedia digadang-gadang akan mampu membukukan laba yang jumbo dalam waktu mendatang.
Meskipun demikian, bagaimana sebenarnya prospek usaha lini bisnis utama GoTo, apakah memang kedepanya mampu membukukan laba, ataukah hal ini hanya ilusi semata? Simak analisis berikut.
Bisnis ride-hailing sejatinya masih belum terbukti mampu membukukan laba bersih. Hal ini bisa dilihat dari perusahaan serupa yang sudah melantai di bursa saham global seperti pencetus dan perusahaan ride hailing terbesar di dunia Uber serta sainganya Lyft.
Untuk Uber, ternyata perseroan sejak tahun 2014 belum mampu membukukan laba bersih sekalipun kecuali di tahun 2018, tepat sebelum Uber IPO di tahun 2019 dimana Uber berhasil untung US$ 997 miliar itupun karena tambahan dari laba lain-lain.
Sisanya Uber terus merugi dimana pada 2020 Uber terpaksa boncos hingga US$ 6,76 triliun meskipun sejatinya rugi bersih Uber turun dari tahun 2019 di angka US$ 8,5 triliun.
Penurunan rugi bersih terjadi karena perseroan menyerukan pemotongan biaya operasi di tahun 2020 kemarin dimana salah satunya dengan mengurangi iklan dan promo. Alhasil beban operasi Uber turun dari US$ 21,15 miliar di tahun 2019 menjadi US$ 17,48 miliar di tahun 2020.
Hal yang serupa terjadi pula di perusahaan pesaing Uber yakni Lyft dimana tak sekalipun sejak tahun 2016 Lyft berhasil membukukan laba bersih. Tercatat di tahun 2020 ini Lyft terpaksa merugi US$ 1,75 miliar meskipun turun dari kerugian bersih 2019 di angka US$ 2,6 miliar.
Menurunya rugi bersih Lyft, sama seperti Uberm juga terjadi karena di tahun 2020 perseroan berusaha memangkas beban operasinya hingga turun cukup drastis dari US$ 6,31 miliar di tahun 2019 menjadi US$ 4,17 miliar di tahun 2020.
Tren pemotongan iklan dan promo ini diharapkan kedepanya akan terus berlanjut hingga kedua perseroan mampu membukukan laba bersih, akan tetapi hingga laporan keuangan kedua perusahaan berubah menjadi hijau, cuan dari bisnis ride hailing masih berupa ilusi semata.
Setali tiga uang dengan bisnis ride hailing, bisnis pengantaran makanan terutama di Amerika Serikat juga masih kurang menjanjikan. Hal ini tercermin dari salah satu pemimpin pasar AS di bidang pengantaran makanan yakni DoorDash yang juga belum pernah membukukan laba bersih sekalipun.
Tercatat di tahun 2019 DoorDash terpaksa merugi US$ 667 juta, sedangkan di tahun 2020 rugi bersih tersebut terpangkas menjadi US$ 461 juta.
Meskipun demikian dalam berberapa kali kesempatan Co-CEO Gojek Andre Sulistyo mengatakan bahwa perseroan optimistis bahwa lini bisnis GoFood akan menjadi salah satu tumpuan utama monetisasi alias pencetak laba perusahaan.
"Ride-hailing bisa saja terus jadi bisnis negatif (rugi), tetapi itu tak masalah karena ride-hailing adalah cara termurah bagi kami untuk menarik pelanggan baru ke platform, kemudian kami memberikan mereka [tawaran] nilai tambah makanan , pembayaran digital dan pinjaman, dan monetisasi dari itu." Ujar Andre Sabtu (5/10/2019).
Menarik tentunya untuk dipantau apakah benar Gojek nantinya mampu memonetisasi bisnis pengantaran makanan GoFood di tengah kegagalan perusahaan serupa di negeri Paman Sam untuk mencetak laba.
Berbeda dengan kedua lini bisnis utama lain, lini bisnis Digital Payment Gojek yakni Gopay merupakan yang paling mungkin untuk dimonetisasi, paling tidak apabila berkaca dari perusahaan serupa di negeri Paman Sam.
Salah satu perusahaan digital payment pemimpin pasar ternama di AS yang sudah melantai di bursa adalah Square dimana setelah merugi selama 7 tahun sejak 2012, pada tahun 2019 Square mampu mencetak laba.
Bahkan perbalikan arah dari rugi bersih menjadi laba bersih berhasil dilakukan Square dengan spektakuler dimana pada tahun 2018 perusahaan masih merugi US$ 38 juta akan tetapi pada 2019 perseroan sudah berbalik untung hingga US$ 375,4 juta meskipun laba bersih perseroan pada 2020 terpaksa anjlok akibat Covid-19 menjadi US$ 213,1 juta.
Sejatinya peluang cuan dalam jumlah besar bukan datang dari lini bisnis utama Gojek akan tetapi dari bisnis Tokopedia di bidang E-Commerce yang memang sudah lama terbukti mampu mencetak pundi-pundi dolar dalam jumlah yang bukan main.
Sebut saja nama-nama besar di dunia 'toko online' seperti Amazon, Jingdong alias JD.Com, Alibaba, E-Bay, hingga Rakuten yang hampir seluruhnya terbukti berhasil membalikan kerugian yang diderita menjadi laba.
Pertama tentunya, raja E-commerce dunia Amazon yang ternyata sudah berhasil konsisten membukukan laba bersih sejak 2003 dimana saat itu perseroan berhasil mencetak laba US$ 35 juta berbalik dari rugi bersihUS$ 149 juta dari tahun sebelumnya.
Tercatat pada periode ini Amazon hanya merugi di tahun 2012 dan 2014, bahkan sejak membukukan laba pertama kali di tahun 2003, laba bersih Amazon sudah terbang ratusan kali lipat. Catat saja kini di tahun 2019 perusahaan besutan Jeff Bezoz ini berhasil mencetak laba US$ 11,58 miliar, bahkan angka ini naik hampir dua kali lipat di tahun 2020 menjadi US$ 21,331 miliar.
Bahkan setelah sukses di bisnis E-commerce, Amazon mulai merambah lini bisnis lain seperti cloud computing dan game streaming.
Selanjutnya e-commerce terbesar kedua di dunia asal China yakni JD.Com juga mampu membalikan keadaan dari rugi menjadi untung tepatnya di tahun 2018 setelah perseroan merugi.
Perseroan yang tadinya merugi RMB 2,49 miliar di tahun 2018 tiba-tiba berbalik membukukan keuntungan RMB 12,184 miliar di tahun 2019. Bahkan fantastisnya ternyata pandemi membawa berkah ke bisnis e-commerce karena laba bersihnya di tahun 2020 yang merupakan tahun pandemi berhasil naik 4 kali lipat menjadi RMB 49,4 miliar.
Di posisi ketiga e-commerce asal China Alibaba juga sudah mampu mencetak laba sejak 2011 dimana saat itu perseroan bebrbalik membukukan untung bersih RMB 1,18 miliar setelah tahun sebelumnya merugi RMB 803 juta.
Di tahun 2019 perusahaan besutan Jack Ma ini laba bersihnya juga terus tubuh sejak pertama kali cuan dimana perusahaan berkode BABA ini mencetak laba RMB 87,6 miliar dan terus naik ke angka RMB 149,26 miliar di tahun 2020.
Meskipun nantinya berpotensi merubah rugi menjadi laba sejatinya, menurut kabar yang beredar di kalangan para pelaku pasar, Tokopedia saat ini masih merugi.
Sehingga apabila nantinya perusahaan hasil perkawinan kedua startup melantai di bursa di tahun ini ataupun tahun depan, tidak usah kaget apabila anda mendapatkan prospektus perusahaan yang masih membukukan rugi bersih.
Pertanyaanya apakah investor dalam negeri mampu menyambut baik IPO tersebut dan memiliki kepercayaan terhadap manajemen GoTo dimana nantinya perseroan mampu merubah boncos menjadi cuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA