Analisis

Geger Gagal Bayar SRIL-TDPM, Reksa Dana Kena Pukulan Telak!

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
20 May 2021 10:53
Reksa dana
Foto: Reksa Dana (CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah sedang meningkatnya jumlah investor akhir-akhir ini, reksa dana malah terkena serangan bertubi-tubi. Mulai dari lesunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ikut mempengaruhi portofolio reksa dana hingga terseretnya sejumlah perusahaan manajer investasi (MI) di pusaran kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) Asabri dan Jiwasraya.

Tidak hanya itu, yang teranyar, kasus gagal bayar surat utang jangka menengah alias Medium Term Note (MTN) emiten ikut menyeret 2 MI, yang memiliki reksa dana terproteksi (RDT) dengan aset dasar (underlying asset) MTN emiten tersebut.

Berikut ini Tim Riset CNBC Indonesia akan membahas secara singkat hal di atas satu per satu.

Berdasarkan data Kustodian Sentra Efek Indonesia (KSEI) selama 2020, jumlah investor reksa dana menembus 3,16 juta investor, melesat 78,38% dibandingkan dengan akhir 2019 sebanyak 1,77 juta. Bila dirata-rata, investor reksa dana bertambah 115 ribu akun setiap bulan di 2020.

Namun, ternyata itu bukan yang terkencang.

Pada kuartal I-2021, investor reksa dana sudah menembus 4,17 juta orang. Artinya, dalam 3 bulan investor reksa dana bertambah lebih dari 1 juta, atau 336 ribu per bulan.

Berdasarkan data Asosiasi Pelaku Reksa Dana dan Investasi Indonesia (APRDI) dana kelolaan (asset under management/AUM) reksa dana pada akhir 2020 menembus Rp 573,5 triliun naik 6% dari posisi tahun lalu yang sebesar. Hal ini cukup positif karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 4,84% sepanjang tahun 2020 dengan posisi per 30 Desember di 5.979,07.

Namun, pada kuartal I-2021 AUM reksa dana terkoreksi menjadi Rp 566,1 triliun, karena adanya penurunan valuasi aset dasarnya.

IHSG Lesu, Portofolio Reksa Dana Terkikis

Antusiasme investor reksa dana akhir-akhir ini tampaknya tidak diiringi dengan gairah IHSG. Malahan, sejak awal tahun IHSG sudah terkoreksi sebesar 3,65%. Adapun dalam sebulan, IHSG juga anjlok 5,35%.

Bahkan, pada Rabu (20/5) kemarin IHSG malah meninggalkan level psikologis 5.800, setelah anjlok 1,27% ke 5.760,584.

Indeks LQ45, yang berisi saham-saham kelas kakap (blue chip) dan paling likuid, juga tersungkur sejak awal tahun, yakni sebesar 10,84%. Dalam sebulan terakhir dan sepekan pun LQ45 melorot secara berturut-turut sebesar 5,91% dan 3,85%.

Lesunya IHSG dan LQ45, yang biasa jadi acuan MI, akhir-akhir ini tentunya akan berimbas pada portofolio reksa dana MI, khususnya reksa dana pasar saham.

NEXT: Pukulan Berikutnya

Selain pasar modal yang sedang tidak bergairah, pasar reksa dana juga diterpa kabar tak sedap sejak tahun lalu. Hal ini lantaran sejumlah MI terseret menjadi saksi pemeriksaan kasus dugaan tindak pidana korupsi dua perusahaan asuransi pelat merah, PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) atau PT AJS.

Dalam kasus Jiwasraya ada 13 MI yang menjadi tersangka, dengan dugaan menimbulkan kerugian negara hingga Rp 12,15 triliun.

Sebanyak 13 MI tersebut ialah PT DMI/PAC, PT OMI, PT PPI, PT MDI/MCM, PT PAM, PT MAM, PT MAM, PT GAPC, PT JCAM, PT PAAM, PT CC, PT TFII, dan PT SAM.

Tidak hanya di kasus Jiwasraya, sejumlah MI juga masuk ke dalam daftar saksi terkait dengan skandal dugaan korupsi Asabri.

Pada 23 April lalu, Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa tiga orang sebagai saksi yang terkait dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pada Asabri.

Ketiga saksi tersebut berasal dari perusahaan sekuritas dan perusahaan manajemen investasi (MI), yakni AHM selaku Sales PT Yuanto Sekuritas Indonesia, LB selaku Komisaris PT. Prima Jaringan dan AAS selaku Direktur Investasi PT Victoria Manajemen Investasi.

Sebagai catatan, data BEI menunjukkan nama yang merujuk pada Yuanto Sekuritas tak ada sebagai anggota bursa (AB), hanya ada Yuanta Sekuritas Indonesia, broker dengan kode FS di pasar modal.

Hari sebelumnya, Kejagung memeriksa lima saksi termasuk dari perusahaan sekuritas hingga perusahaan MI.

Kelimanya ialah MR selaku Direktur PT Binaartha Sekuritas, GP selaku Kepala Divisi Investasi Asabri periode Juni 2017 s/d Juli 2018, DAP selaku Fund Manager PT Corfina Capital 2016-2018.

Kemudian, SS selaku Presiden Direktur PT Korea Investment Sekuritas Indonesia dan DA selaku Direktur Utama PT Treasure Fund Investama.

NEXT: Ada Gagal Bayar Emiten

Seolah tidak cukup sampai di situ, 'penderitaan' sektor manajemen investasi yang mengelola produk reksa dana terus berlanjut seiring adanya kasus gagal bayar surat utang jangka menengah (MTN, medium term notes) dua emiten yang melantai di bursa Tanah Air.

Pertama, emiten produsen bahan baku aneka industri, PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) yang belum dapat melunasi pokok MTN II Tridomain Performance Materials Tahun 2018 yang jatuh tempo pada 27 April 2021.

Selain MTN II, ada dua MTN lagi yang akan jatuh tempo di tahun ini, yakni MTN I Tridomain Performane Materials I Tahun 2017 yang akan jatuh tempo 18 Mei 2021 dengan pokok US$ 20 juta dan MTN III Tridomain Performance Materias yang akan jatuh tempo 4 Juli 2021 dengan pokok senilai Rp 100 miliar.

Gagal bayar MTN Tridomain membuat sorotan mengarah pada PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI), karena menjadikan MTN II Tridomain sebagai aset dasar RDT Reksa Dana Terproteksi Mandiri Seri 147 (CPF147).

Mengutip penjelasan OJK, Reksa Dana Terproteksi adalah jenis reksa dana yang akan memproteksi 100% pokok investasi investor pada saat jatuh tempo. Reksa Dana ini memiliki jangka waktu investasi yang telah ditentukan sebelumnya oleh MI, tetapi dapat dicairkan sebelum jatuh tempo tanpa jaminan adanya proteksi akan pokok investasi.

Pihak Tridomain mengaku, pandemi membuat operasional perusahaan terganggu sehingga membuat pendanaan menjadi seret.

Selain itu, faktor yang menjadi penyebab gagal bayar tersebut, perusahaan melakukan investasi jangka panjang sehingga pembiayaan ditempuh melalui penerbitan MTN.

Tak hanya Tridomain, kasus gagal bayar MTN juga menjerat emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex.

Sritex menunda untuk membayarkan pokok dan bunga dari MTN Sritex tahap III tahun 2018 ke-6, yang jatuh tempo pada Selasa (18/5)

Adapun nilai MTN yang dimaksud memiliki nilai emisi sebesar US$ 25 juta dengan tingkat bunga sebesar 5,8% dan dibayarkan dua kali dalam setahun.

Nah, mengacu pada laporan keuangan Sritex 2020, MTN Sritex tahap III tahun 2018 tersebut dibeli oleh MI PT Bahana TCW Investment Management, dengan nilai sebesar US$ 25 juta. MTN Sritex tersebut merupakan aset dasar RDT Bahana Core Protected Fund.

Mengenai kasus gagal bayar MTN Sritex, manajemen Sritex menjelaskan, penundaan bayar tersebut disebabkan karena perusahaan tengah dalam status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) sementara.

Wanti-Wanti dari APRDI

Menanggapi kasus gagal bayar MTN emiten, APRDI menyampaikan, investor harus menyadari bahwa instrumen investasi, termasuk RDTyang dikelola oleh MI selalu memiliki risiko investasi.

Ketua Presidium Dewan APRDI Prihatmo Hari Mulyanto mengatakan risiko dari instrumen investasi ini harus dipahami oleh investor, baik risiko dari instrumennya maupun risiko yang melekat pada aset dasar dari reksa dana tersebut.

"Reksa Dana Terproteksi bukan berarti bebas risiko. Resiko yang melekat pada aset dasarnya tetap harus dihadapi oleh investor RDT. Oleh karena itu investor dihimbau untuk mempelajari dan mengkritisi Prospektus dan Dokumen Keterbukaan Produk yang disiapkan oleh Manajer Investasi sebelum memutuskan membeli RDT tersebut," kata Prihatmo dalam keterangan resminya.

Reksa dana terproteksi ini memiliki mekanisme investasi untuk nilai investasinya, sehingga minimum 70% aset RDT harus diinvestasikan pada efek hutang dengan peringkat layak investasi sehingga bisa mendapatkan nilai proteksi atas pokok pada tanggal jatuh tempo. Sehingga tidak ada penjaminan atas pokok investasi oleh MI.

"Karena nilai proteksi dicapai melalui mekanisme investasi, maka benefit dan risiko yang melekat pada aset dasar RDT sepenuhnya akan menjadi benefit dan resiko investor RDT. Termasuk dalam hal ini adalah resiko default/gagal bayar penerbit efek hutang. Kondisi yang berlaku sama dengan jenis reksa dana lainnya," terang dia.

Untuk itu, APRDI menghimbau kepada investor RDT yang aset dasarnya berpotensi mengalami gagal bayar atau default untuk berkomunikasi dengan MI untuk mengetahui langkah-langkah apa yang akan dilakukan.

Dewan APRDI juga menghimbau masyarakat luas agar menyampaikan informasi terkait RDT sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta common practice di industri. Serta menghindari untuk menyampaikan pendapat dan opini pribadi yang tidak sesuai, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerancuan informasi pada masyarakat luas.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular