Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti yang sudah diduga, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Keputusan yang sepertinya cenderung main aman, karena sejatinya jika MH Thamrin berani sedikit agresif maka ada ruang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Januari 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,5%. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam keterangan pers usai RDG hari ini.
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan bisa dipahami. Sebab, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 125 basis poin (bps) sepanjang 2020. Di level Asia Tenggara, BI hanya kalah agresif ketimbang bank sentral Filipina dalam hal menurunkan suku bunga acuan.
Di sisi lain, perbankan juga sudah merespons dengan menurunkan suku bunga kredit. Namun laju penurunan suku bunga kredit perbankan belum secepat suku bunga acuan.
Sepanjang 2020, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) turun 87 bps secara point-to-point. Sementara suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masing-masing berkurang 65 bps dan 28 bps. Seluruhnya masih jauh dari penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate.
Oleh karena itu, wajar jika BI memilih bermain aman dan menunggu perbankan untuk lebih responsif terhadap penurunan suku bunga acuan. Jika BI 7 Day Reverse Repo Rate turun lagi tetapi perbankan lambat dalam menyesuaikan suku bunga kredit, sama saja bohong bukan? Mending pakai taktik 'parkir bus' saja daripada total football...
Selain itu, tanda pemulihan ekonomi setelah terpukul dahsyat oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) kian terlihat. Survei Perbankan BI memperkirakan penyaluran kredit pada kuartal I-2021 bakal tumbuh positif. Ini terlihat dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kuartal I-2021 sebesar 49,4%, naik dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 25,4%.
Untuk keseluruhan 2021, responden memperkirakan penyaluran kredit perbankan tumbuh 7,3%. Jauh membaik dibandingkan 2020 yang -2,41%.
"Hasil survei mengindikasikan responden tetap optimistis terhadap pertumbuhan kredit untuk keseluruhan 2021. Optimisme tersebut antara lain didorong oleh kondisi moneter dan ekonomi serta relatif terjaganya risiko penyaluran kredit," sebut laporan Survei Perbankan BI.
Situasi ini membuat BI lebih nyaman dengan status quo. Mungkin pelonggaran moneter yang digelontorkan sejak tahun lalu sudah mulai membuahkan hasil, sehingga BI bisa menunggu untuk memberikan 'dosis' tambahan.
Berbagai faktor tersebut membuat langkah BI yang menahan suku bunga bisa dipahami. Namun sejatinya BI bisa saja memilih tidak bermain aman. BI masih punya ruang untuk bermain sedikit lebih 'menyerang' dengan menurunkan suku bunga acuan.
Ada sejumlah faktor yang membuat BI bisa menurunkan suku bunga acuan. Satu, seperti yang sudah disebut di atas, laju inflasi masih terkendali. Memang selepas tren deflasi pada kuartal III-2020 laju inflasi terakselerasi, tetapi relatif lemah.
Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan II, BI memperkirakan inflasi Januari 2021 sebesar 0,38% secara bulanan (month-to-month/MtM). Ini membuat laju inflasi tahunan (year-on-year/YoY) menjadi 1,68%.
Inflasi tahunan 1,68% terbilang rendah, masih di bawah proyeksi BI yang berada di kisaran 2-4% pada 2021. Juga masih jauh di bawah rata-rata lima tahun terakhir yang sebesar 3,1%.
Dua, BI tidak perlu khawatir terhadap rupiah. Stabilitas rupiah kerap kali menjadi alasan yang membuat BI memilih untuk tidak menurunkan suku bunga acuan.
Sejak akhir 2020 hingga kemarin, rupiah menguat 0,14% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point. Bahkan rupiah jadi salah satu mata uang dengan kinerja terbaik di Asia.
Ke depan, peluang penguatan rupiah lebih lanjut masih terbuka lebar. Presiden AS Joseph 'Joe' Biden yang baru dilantik berjanji untuk mempercepat pengesahan stimulus fiskal bernilai US$ 1,9 triliun. Sepertinya tidak akan ada hambatan berarti, karena Partai Demokrat pendukung pemerintah kini menjadi kubu mayoritas di Kongres (House of Representatives dan Senat).
"Pasar punya ekspektasi yang besar terhadap paket stimulus bernilai triliunan dolar itu. Harapan tersebut menutup gaduh politik seputar pelantikan," ujar Ross Mayfield, Analis di Baird yang berbasis di Wisconsin (AS), sebagaimana dikutip dari Reuters.
Ditambah lagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kemungkinan besar masih menerapkan kebijakan ultra-longgar. Suku bunga acuan sepertinya masih akan mendekati 0% dalam hitungan tahun. Berdasarkan dotplot terbaru The Fed, kenaikan Federal Funds Rate baru terjadi pada 2023.
 Sumber: FOMC |
Likuiditas dolar AS yang berlimpah-ruah akibat kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif membuat mata uang ini tidak lagi disayang-sayang. Investor sepertinya enteng saja 'membuang' dolar AS, karena toh pasokannya banyak.
Berdasarkan perhitungan Reuters dan US Commodity Futures Trading Commission, posisi jual (short) terhadap dolar AS pada pekan yang berakhir 12 Januari 2020 mencapai US$ 34,04 miliar. Naik 11,35% dibandingkan pekan sebelumnya sekaligus menjadi yang tertinggi sejak Mei 2011.
Dalam jajak pendapat yang digelar Reuters pada 4-7 Januari 2021 terhadap 63 orang FX strategist, 46% di antaranya memperkirakan tren pelemahan dolar AS akan terjadi selama 1.-2 tahun. Naik dibandingkan survei bulan sebelumnya, di mana yang memperkirakan hal itu adalah 39%. Menjawab pertanyaan performa mata uang mana yang lebih baik, negara maju atau negara berkembang, 83% responden menjawab mata uang negara berkembang akan lebih josss.
Dengan dolar AS yang masih menjalani masa 'keprihatinan' seperti itu, maka peluang apresiasi rupiah terbuka lebar. Jadi BI sepertinya tidak perlu terlalu mengkhawatirkan rupiah. Tenang, rupiah akan baik-baik saja...
 Sumber: Reuters |
Tiga, Indonesia butuh 'suntikan adrenalin' untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar bebas dari resesi. Awal bulan depan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi kuartal IV dan keseluruhan 2020. Jangan heran kalau angka yang keluar masih negatif sehingga Indonesia belum 'lulus' dari ujian resesi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2020 adalah -0,9% hingga -2,9%. Dengan demikian, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang 2020 bakal tumbuh negatif untuk kali pertama sejak 1998.
Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 mengalokasikan anggaran stimulus fiskal dengan nama program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp 372,3 triliun. Namun peran pemerintah saja belum cukup, otoritas lain juga harus 'turun gunung' dan melancarkan all out attack untuk memulihkan perekonomian nasional.
Ini tentu berlaku pula untuk otoritas moneter. Caranya bisa dengan menurunkan suku bunga acuan agar biaya dana perbankan bisa lebih murah lagi dan kemudian berujung ke penurunan suku bunga kredit. Saat bunga kredit murah, diharapkan rumah tangga dan dunia usaha tergerak untuk melakukan ekspansi. Ketika itu terjadi, ekonomi akan tumbuh dan selamat tinggal resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA