Investor pasar modal sepertinya sudah tak sabar menanti salah satu calon emiten syariah yang akan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2 Februari nanti. Calon emiten itu yakni PT Bank Net Indonesia Syariah, dulunya bernama PT Bank Maybank Syariah Indonesia.
Bank Net Syariah mengincar dana dari pasar modal, lewat mekanisme penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO), berkisar antara Rp 515 miliar-Rp 525 miliar.
Nilai ini dihitung berdasarkan harga penawaran saham yang dipatok Rp 103-Rp 105/saham dengan nominal Rp 100/saham, dikali dengan jumlah saham yang ditawarkan kepada masyarakat, yakni 5 miliar saham atau setara dengan 37,90% dari modal disetor setelah penawaran umum saham.
"Keseluruhan dana hasil IPO akan digunakan oleh perseroan untuk modal kerja seperti biaya pemeliharaan IT dan penunjangnya dan modal kerja lainnya," kata Direktur Bank Net Indonesia Syariah Basuki Hidayat, dalam keterangan resminya, (12/1/2021).
Demi pemanis biar sahamnya banyak dibeli investor publik, perusahaan juga menerbitkan waran (sweetener) seri I sebanyak-banyaknya 2,8 miliar.
Bila tercatat di papan bursa, Bank Net Syariah akan masuk dalam deretan bank syariah yang sudah listing lebih dahulu yakni PT Bank BRISyariah Tbk (BRIS) dan PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk (PNBS).
Tak hanya bos rokok asal Kudus ini, ada pula nama partner bisnis dari Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang ikut menjadi pemegang saham Bank Net Syariah.
Mengacu informasi prospektus 21 Desember 2020, pemegang saham Bank Net Syariah adalah PT NTI Global Indonesia sebesar 70% dan PT Berkah Anugerah Abadi (BAA) 30%.
Setelah IPO nanti, pemegang saham Bank Net Syariah menjadi NTI Global 43,47%, BAA tersisa 18,63%, dan publik 37,90%.
Tapi pada informasi terbaru lewat prospektus 11 Januari 2021, terjadi perubahan pemegang saham.
Saham BAA ternyata dijual kepada PT Alphaplus Adhigana Asia (AAA), sehingga pemegang saham Bank Net Syariah ialah Alphaplus 2,50%, NTI Global 97,50%. Setelah IPO nanti, Alphaplus akan memegang 1,55%, NTI Global menjadi mayoritas 60,55%, dan investor publik 37,90%.
Lantas siapa NTI Global dan Alphaplus?
Siapa pula pemegang saham BAA yang mengalihkan sahamnya ke Alphaplus?
Sebelum itu, mari cerita sedikit soal awal mula bank ini sampai akhirnya NTI Global masuk.
Ceritanya begini.
Bank Net Indonesia Syariah ini sebelumnya bernama Bank Maybank Syariah Indonesia. Perusahaan ini pertama kali dibentuk dengan nama PT Bank Maybank Nusa International, di Jakarta pada 16 September 1994.
Prospektus IPO menyebutkan, tahun 1994, pemegang saham bank ini kala itu yakni PT Bank Nusa International 21%, dan Malayan Banking Berhad asal Malaysia 79%.
Tahun 2000, perseroan berganti nama menjadi PT Bank Maybank Indocorp dengan beralihnya kepemilikan saham Bank Nusa Nasional kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), selanjutnya kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia lewat PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Lalu, 10 tahun kemudian, tahun 2010, perseroan kembali berganti nama dari Bank Maybank Indocorp menjadi Bank Maybank Syariah Indonesia seiring dengan pergantian bidang usaha dari bank umum konvensional menjadi bank umum syariah.
Tahun 2019, perseroan bertransformasi lagi menjadi Bank Net Indonesia Syariah setelah terjadi pengambilalihan 100% saham Maybank Syariah Indonesia oleh NTI Global dan BAA.
NTI membeli 661.548 saham Bank Net Indonesia Syariah dengan porsi 70%, sementara BAA mencaplok 283.521 saham atau 30% saham Bank Net Syariah.
Akuisisi NTI Global dan BAA atas Bank Maybank Syariah dimulai pada 31 Januari 2020, dan pergantian nama perusahaan menjadi efektif setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan keputusan tertanggal 6 Juli 2020.
Saat ini perseroan memiliki kantor di Gedung Millennium Centennial Center Lt 7, Jalan Jendral Sudirman Kav. 25, Jakarta Selatan.
Dalam prospektus IPO disebutkan bahwa di balik nama NTI Global, ada pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) alias beneficial ownership yakni pengusaha bernama John Dharma J Kusuma.
Sementara di BAA, pemegang saham terakhir adalah Roby Tan. Informasi ini sesuai dengan surat OJK tertanggal 12 Desember 2019 perihal Hasil Keputusan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Calon Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan Calon PSPT.
Hanya saja tidak disebutkan berapa nilai akuisisi Bank Net Syariah oleh NTI Global dan BAA.
Namun sayangnya, BAA tak lama memegang saham Bank Net Syariah karena pada 17 Desember 2020, BAA menjual seluruh sahamnya sebanyak 2,45 miliar saham kepada NTI Global dan Alphaplus.
Ke NTI Global dilepas sebanyak 2,25 miliar saham dan 204.826.814 saham dijual kepada Alphaplus di harga harga Rp 105/saham, sehingga total BAA mengantongi dana Rp 258,08 miliar.
Sebagai informasi, BAA sebelumnya bernama PT Selular Makmur Sejahtera yang sahamnya dipegang oleh Roby Tan, yang juga menjabat direktur BAA.
Perusahaan ini juga memiliki saham PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS), emiten yang fokus pada bisnis jasa pengiriman uang, ecommerce dan penyedia plaftorm software untuk UMKM.
Roby Tan menjabat komisaris di KIOS. Pada September 2018, saham BAA di KIOS tercatat berkurang dari 9,59% menjadi 1,52%.
Sementara itu, laporan keuangan KIOS per September 2020, mencatat pemegang saham KIOS adalah PT Artav Mobile Indonesia 48,84%, PT Mitra Komunikasi Nusantara Tbk (MKNT) 3,44%, dan investor publik 47,72%.
Artav disebutkan memiliki beberapa direktur dan komisaris, dan pemegang saham yang sama, begitu juga MKNT juga memiliki beberapa pemegang saham yang sama.
MKNT fokus pada bisnis jasa, perdagangan, pembangunan, percetakan, industri, angkutan, perbengkelan dan pertanian. Roby juga menjadi Komisaris Utama MKNT ini. Sementara itu, pemegang saham terakhir dari MKNT adalah PT Monjess Investama.
Nah, NTI Global dan BAA sebetulnya sama-sama memiliki saham KIOS sebelum perusahaan ini IPO di BEI.
Saat itu, keduanya masih sama-sama memakai nama lama, NTI Global pakai nama PT Sinar Mitra Investama dengan porsi saham 12,50%, sementara BAA memakai nama PT Seluler Makmur Sejahtera.
KIOS didirikan sejak 2015 dengan founder Roby Tan dan Viperi Limiardi.
 Foto: Robby Tan/Prospektus IPO MKNT Robby Tan/Prospektus IPO MKNT |
Sebelumnya Viperi juga memiliki saham NTI Global bersama PT NTI Parama Indonesia ketika perusahaan masih bernama Sinar Mitra Investama.
Tapi berdasarkan prospektus terbaru IPO Bank Net Syariah di Januari 2021, ternyata pemegang saham terakhir NTI Global berganti. Sang pemegang saham terakhir Bank Net Syariah adalah John D Kusuma, pemilik NTI Global.
NEXT: Siapa sebetulnya John D Kusuma?
Nama John Dharma J Kusuma terkait dengan salah satu raksasa rokok Tanah Air asal Kudus, Jawa Tengah.
Dari beberapa literatur artikel dan situs resmi terkait, John adalah salah satu petinggi dari PT Nojorono Tobacco International (Nojorono), pabrik rokok dengan merek Minak Djinggo dan Class Mild. Saat ini perusahaan menduduki posisi kelima dalam industri rokok terbesar di Indonesia.
Situs resminya mencatat, Nojorono Kudus, merupakan salah satu perusahaan pelopor rokok kretek di Indonesia. Nojorono (baca: No-Yo-Ro-No) didirikan pada 14 Oktober 1932 oleh Ko Djee Siong dan Tan Djing Thay dan berpusat di Kudus, Jawa Tengah.
 Foto: Dok. Nojorono Dok. Nojorono |
Pada 14 Oktober 2020, Nojorono merayakan ulang tahun perusahaan yang ke-88, atau hampir mencapai sembilan dekade.
Saat didirikan tahun 1932, waktu itu perusahaan masih berbentuk industri rumahan. Firma yang didirikan oleh generasi pertama ini kemudian menjadi perusahaan rokok Nojorono seperti yang dikenal sekarang.
Tahun 1968, kesuksesan pertama membangun pondasi bisnis dilanjutkan oleh generasi kedua yaitu Liem Khee Thwan (Benediktus Dewansjah Batihalim), Djie Ing Khing (Ignatius Riandinata Pamudji), dan Tjoa Boen Swie (Subianto Djuhadi).
Era tahun 1970-an, mulai masuk generasi kedua. Pada 1973, Firma Nojorono berubah menjadi perseroan terbatas dengan nama PT Nojorono Tobacco Company Limited.
Memasuki tahun 1990, perusahaan mulai dipegang generasi ketiga. Hal ini juga disampaikan dalam sejarah perusahaan di situs resminya.
Secara berkala dimulai pada 1990, tongkat estafet dipercayakan kepada generasi ketiga keluarga Nojorono, yakni Stefanus JJ Batihalim, Harsono Djuhadi, John D Kusuma, Arifin Pamudji, dan L Surya Djuhadi.
Batihalim Stefanus bahkan sempat tercatat sebagai salah satu dari 150 orang terkaya di negeri ini versi Globe Asia tahun 2016, dengan catatan kekayaan bersih US$ 155 juta, setara Rp 2,2 triliun (kurs Rp 14.000/US$).
"Generasi ketiga inilah yang sebenarnya mengorbitkan Nojorono menjadi perusahaan rokok lima besar di Tanah Air," kata Managing Director Nojorono, Arief Goenadibrata, dalam siaran pers, 29 September 2020.
 Foto: Dok. Nojorono Dok. Nojorono |
Kini, John adalah pemegang saham terakhir NTI Global dan pengendali Bank Net Syariah, kendati tidak disebutkan bahwa NTI adalah bagian dari Nojorono, tapi besar kemungkinan berasal dari singkatan Nojorono Tobacco International.
Jika dilihat dari data prospektus, saham NTI Global dipegang oleh PT Seguna Cipta Permatajaya sebesar 99,99% dan John hanya 0,01%.
Tapi sebetulnya John adalah pemilik terakhir, mengingat pemegang saham Seguna Cipta adalah PT Cahya Anugerah Alam dan pemegang saham Cahya Anugerah adalah PT Cahaya Sumber Hidup. John mengendalikan 99,99% saham Cahaya Sumber.
 Foto: Pemegang saham NTI Global/Prospektus Bank Net Syariah Pemegang saham NTI Global/Prospektus Bank Net Syariah |
Komisaris NTI dijabat Budi Eryanto, sementara direktur diamanahkan kepada Agus Herlambang.
Fokus usaha NTI global adalah konsultasi manajemen lainnya dan perusahaan holding.
Lantas siapa Alphaplus Adhigana Asia yang menjadi partner NTI di Bank Net Syariah?
Alphaplus adalah perusahaan jasa dengan pemegang saham yakni PT Sinergi Optima Solusindo 60%, Simon Subrata 35% (mantan partner di EY) dan Andi Gunawan 5% (mantan partner di Kendall Court ESG Capital Asia, dan Cambridge Fund).
Coba tebak siapa pemegang saham terakhirnya?
Ternyata beneficial ownership dari Alphaplus adalah anak muda bernama Anthony Pradiptya.
Antnohy merupakan partner dari Kaesang, putra bungsu Presiden Jokowi, di bisnis GK Hebat, perusahaan induk yang berkantor di Generali Tower, Jakarta Selatan, yang membawahi sejumlah bisnis di antaranya Sang Pisang, Yang Ayam, Ternakopi, Siap Mas, Let's Toast, dan Enigma Camp.
GK Hebat juga menjalin kemitraan bisnis dengan para pelaku UMKM.
 Foto: Pemegang saham terakhir Bank Net Syariah/Prospektus IPO Pemegang saham terakhir Bank Net Syariah/Prospektus IPO |
Anak muda yang baru 34 tahun ini adalah putra Gandi Sulistiyanto, Managing Director Sinarmas Grup.
"Ya benar [putra saya]," kata Gandi, dalam pesan WhatsApp-nya kepada CNBC Indonesia, Sabtu (16/1/2021).
"Mohon doanya, mereka independen menentukan bisnisnya, tidak ada kaitan dengan posisi saya di Sinarmas. Saya orangtua hanya mendukung. Mereka startup, dan masih kecil. UMKM," kata Gandi.
Anthony masuk ke Bank Net Syariah lewat 'kendaraan' PT Gan Kapital. Mayoritas saham Alphaplus dipegang PT Sinergi Optima Solusindo, dan mayoritas saham Sinergi Optima dimiliki Gan Kapital, sementara Anthony punya 45% saham Gan Kapital.
Di jajaran direksi Gan Kapital, situs resmi mencatat, nama Anthony Pradiptya Gan sebagai CEO, Edwin Prasetya Gan sebagai Chief Operation Officer (COO), dan Wesley Harjono sebagai Chief Financial Officer (CFO).
Wesley juga menantu Gandi. Sayangnya Wesley belum bisa berkomentar soal masuknya Gan Kapital di Bank Net Syariah bersama Nojorono. "Mungkin bisa set waktu ya [ngobrol]," katanya, dalam pesannya kepada CNBC Indonesia.
Situs resminya menjelaskan, Gan Kapital adalah perusahaan konsultasi bisnis yang melayani kebutuhan digital venture, energi, dan sebagainya.
 Foto: Anthony Pradiptya/Gan Kapital Anthony Pradiptya/Gan Kapital |
Anthony lahir dan besar di Jakarta. Dia kembali ke Jakarta setelah mendapatkan gelar master di Australia. Dia pernah bergabung dengan private equity yang menggarap Pembangkit Listrik 2x150 MW di Sumatera Selatan.
Sementara itu, Edwin menyelesaikan sarjana di Monash University, Australia di bidang pemasaran sejak 2011.
Adapun Welsey juga merampungkan bachelor science di bidang administrasi bisnis di GS Fame Business Institute of Philippines, setelah itu bergabung di Bank Sinarmas sebagai Head of Treasury Departement.
NEXT: Kinerja dan prospek Bank Net Syariah
Saat ini, pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) Bank Net Syariah berkomitmen menambah modal minimal sebesar yang dibutuhkan untuk meningkatkan modal inti menjadi bank BUKU (bank umum kelompok usaha) 2, di mana modal inti antara Rp 1-5 triliun.
Sejak Juni 2020, OJK sudah meminta agar PSPT menambah setoran modal Rp 500 miliar atau minimal sebesar kekurangan modal inti bank guna memenuhi kriteria sebagai Bank BUKU 2. Modal inti Bank Net Syariah per 31 Juli 2020 yaitu sebesar Rp 652,79 miliar.
"Perseroan [sudah] memohon kepada OJK agar jadwal pemenuhan modal inti perseroan paling lambat pada akhir Januari 2021," tulis manajemen, berdasarkan surat perseroan kepada OJK nomor S.013.BOD/12.20, pada 21 Desember 2020.
Hingga akhir Juli 2020, bank ini mencatatkan laba bersih senilai Rp 59,97 miliar, naik dari posisi laba di periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 33,48 miliar.
Aset bank tercatat mencapai Rp 730,95 miliar, naik dari Desember 2019 senilai Rp 715,62 miliar
Dalam prospektus IPO disebutkan, potensi bisnis perbankan syariah sangat menjanjikan.
Hal ini ditunjang dengan tingginya tingkat masyarakat Indonesia yang unbankable dan market share perbankan syariah terhadap industri perbankan yang masih rendah, hanya sekitar 6,00% per 31 Desember 2019.
Jika dilihat dalam beberapa tahun terakhir, perbankan syariah selalu bertumbuh di atas perbankan konvensional, 2017 sebesar 18,98%, 2018 mencapai 12,53%, tahun 2019 sebesar 8,80%.
"Hal ini merupakan poin yang penting karena masyarakat mulai tertarik dengan pendanaan syariah sebagai alternatif pembiayaan baru selain perbankan konvensional."
"Selain itu, saat ini hanya terdapat 14 Bank Umum syariah yang beroperasi di Indonesia yang menyebabkan ruang gerak perbankan syariah masih sangat besar," tulis manajemen, dalam prospektus IPO.
Tak hanya itu, perkembangan teknologi digital juga akan mentransformasi ekosistem perbankan di Indonesia.
Menurut riset McKinsey tahun 2019, industri perbankan di Indonesia menunjukkan tren perpindahan pengguna pelanggan konvensional menuju perbankan digital yang cukup masif dibandingkan survei yang dilakukan tahun 2014.
Saat ini, penetrasi digital sudah mencapai 1,6 kali jika dibandingkan tahun 2014 dan telah mencapai posisi 58% sejalan dengan transformasi yang terjadi di negara-negara emerging market Asia.
"Hal ini diperkuat dengan hasil survei yang mengatakan 55% responden pengguna perbankan bersedia bermigrasi ke digital banking dalam kurun waktu 6 bulan."
Seiring dengan hasil riset dan survei yang dilakukan Mckinsey, Bank Net Syariah menegaskan berkomitmen untuk bertransformasi menjadi perbankan syariah dengan konsep digital banking.
"Transformasi ini juga mengokohkan posisi perseroan sebagai bank syariah digital pertama di Indonesia," tulis manajemen di prospektusnya.