RI Katanya Resesi, Tapi Bunga Bank Tertinggi di ASEAN!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 October 2020 14:54
Uang Rupiah/CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) telah menjelma dari krisis kesehatan menjadi masalah sosial-ekonomi. Dunia di ambang krisis ekonomi terparah sejak Perang Dunia II.

Berbagai lembaga multinasional memperkirakan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) dunia tumbuh negatif pada tahun ini. Bukan sembarang negatif, tetapi sangat dalam.

Krisis ekonomi muncul karena upaya yang ditempuh berbagai negara untuk meredam penyebaran virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu adalah dengan pembatasan sosial (social distancing). Masyarakat diminta (atau bahkan diperintahkan) untuk sebisa mungkin #dirumahaja, kegiatan di luar rumah sangat dibatasi.

Saat jutaan bahkan miliaran orang 'terpenjara' di rumah, maka aktivitas ekonomi jadi mati suri. Proses produksi terganggu, permintaan pun turun drastis.

Di Indonesia, kebijakan social distancing dikenal dengan nama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2020. Pasal 3 PP tersebut menyatakan bahwa PSBB minimal meliputi:

  1. Peliburan sekolah dan tempat kerja.
  2. Pembatasan kegiatan keagamaan.
  3. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

PSBB memang agak dilonggarkan mulai awal Juni, tetapi tetap belum bisa kembali ke kondisi pra-pandemi. Pembukaan kembali aktivitas masyarakat (reopening) masih bertahap dan wajib tunduk terhadap protokol kesehatan.

Misalnya, pusat perbelanjaan alias mal boleh beroperasi tetapi hanya bisa menerima pengunjung maksimal 50% dari kapasitas. Batasan yang sama juga berlaku untuk pengunjung di restoran. Pegawai sudah bisa kembali ke kantor, tetapi sebagian masih harus bekerja dari rumah (Work from Home/WfH).

Pelonggaran PSBB tidak serta-merta membuat aktivitas masyarakat kembali seperti dulu, karena memang masih ada batasan di sana-sini. Mengutip Covid-19 Community Mobility Report keluaran Google, kegiatan warga +62 di lokasi perbelanjaan ritel dan tempat rekreasi masih 19% di bawah normal. Sedangkan aktivitas di taman masih 9% di bawah hari biasa.

Kemudian di tempat transit transportasi umum (stasiun, terminal, halte, dan sebagainya) masih 34% di bawah normal. Mungkin ada hubungannya dengan mobilitas para pekerja yang sebagian masih WfH. Sebab kepadatan di tempat kerja masih 28% di bawah hari-hari biasa.

Data tersebut menggambarkan mobilitas warga masih belum seperti sedia kala. Padahal mobilitas masyarakat mencerminkan seberapa cepat laju roda perekonomian. Saat mobilitas terbatas, maka ruang pertumbuhan ekonomi menjadi sempit.

Makanya ekonomi Tanah Air menyusut pada kuartal II-2020. Kemungkinan besar penyusutan ekonomi akan kembali terjadi pada kuartal III-2020 sehingga Indonesia resmi masuk jurang resesi.

Dunia usaha dan rumah tangga yang 'tiarap' membuat ekonomi kini sangat bergantung kepada negara. Otoritas fiskal dan moneter diharapkan mampu menjadi aktor utama agar the show must go on, ekonomi tetap berputar saat pemain lain sedang sakit keras.

Pemerintah melalui stimulus fiskal yang diberi judul program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah menganggarkan dana ratusan triliun rupiah dengan rincian sebagai berikut:

  1. Kesehatan Rp 87,55 triliun.
  2. Perlindungan sosial Rp 203,9 triliun.
  3. Insentif usaha Rp 120,61 triliun.
  4. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun.
  5. Pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun.
  6. Sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun.

Sampai 16 September, anggaran PEN sudah terealisasi Rp 254,4% arau 36,6% dengan rincian sebagai berikut:

  1. Kesehatan Rp 18,45 triliun (21,57%).
  2. Perlindungan sosial Rp 134,45 triliun (65,94%).
  3. Insentif usaha Rp 22,23 triliun (18,43%).
  4. UMKM Rp 58,74 triliun (47,58%).
  5. Pembiayaan korporasi belum ada realisasi.
  6. Sektoral K/L dan pemda Rp 20,53 triliun (19,35%).

Stimulus fiskal saja tentu belum cukup untuk membangkitkan ekonomi yang dihajar habis-habisan. Perlu 'perangsang' lainnya yaitu suku bunga murah agar dunia usaha dan rumah tangga tergerak untuk melakukan ekspansi.

Per Agustus, rata-rata suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) adalah 9,38% per tahun. Kemudian rata-rata suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masing-masing-masing 9,16% dan 11,13%. Dibandingkan dengan posisi akhir 2019, rerata suku bunga KMK, KI, dan KK masing-masing turun 65 basis poin (bps), 74 bps, dan 49 bps.

Suku bunga perbankan di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN-5. Di Singapura, rata-rata suku bunga kredit adalah 5,25%, Malaysia 3,64%, Thailand 5,42%, dan Filipina 6,54%.

Padahal sepanjang 2020, Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga acuan 100 bps. Mungkin suku bunga acuan perlu dipangkas lagi untuk memberikan 'keteladanan' kepada perbankan agar mau menurunkan suku bunga kredit secara lebih agresif.

Tanpa dunia usaha dan rumah tangga yang ekspansif, akan sulit bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan resesi. Untuk itu, BI perlu memainkan peran dengan menurunkan suku bunga acuan.

Namun dalam UU No 3/2004, disebutkan bahwa mandat BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. BI tidak (atau belum, siapa yang tahu?) diberi tugas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Jadi wajar saja jika BI memilih untuk menjaga rupiah meski ada kebutuhan untuk menurunkan suku bunga demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Mau bagaimana lagi, BI hanya menjalankan amanat UU...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular