Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Faktor eksternal yang mendukung mampu menyokong penguatan rupiah di tengah sentimen negatif dari dalam negeri.
Pada Jumat (2/10/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.800 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,13% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,14% di hadapan dolar AS. penguatan tersebut membuat mata uang Tanah Air terapresiasi tiga hari beruntun.
Meski begitu, penguatan rupiah tidak terlampau signifikan. Dalam tiga hari tersebut, apresiasi rupiah hanya 0,2%.
Oleh karena itu, rupiah masih punya ruang untuk menguat. Apalagi selama kuartal III-2020, rupiah sudah melemah signifikan yaitu 4,65%. Rupiah jadi mata uang terlemah di Asia selama periode Juli-Agustus tahun ini.
Selain itu, hari ini investor juga terlihat enggan bermain aman. Ini sudah terlihat di bursa saham New York yang ditutup menguat. Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,13%, S&P 500 bertambah 0,53%, dan Nasdaq Composite melesat 1,42%.
Perkembangan pembahasan stimulus fiskal di AS yang positif mendongkrak optimisme pasar. Pemerintah mengajukan paket stimulus baru bernilai US$ 1,6 triliun sementara kubu Partai Demokrat di House of Representatives (salah satu dari dua kamar legislatif yang membentuk Kongres AS) mengedepankan proposal bernilai US$ 2,2 triliun.
Melalui voting di House, akhirnya paket Demokrat yang diloloskan dengan suara 2014 berbanding 2017. Hasil itu akan dibawa ke Senat.
Namun sepertinya jalan menuju kesepakatan di Senat akan terjal, karena pimpinan Partai Republik di Senat Mitch McConnell menilai paket usulan Demokrat tersebut berlebihan.
Bahkan nada pesimisme muncul dari kalangan Demokrat sendiri. "Paket ini adalah hasil partisan yang tidak akan menjadi UU," tegas Abigail Spanberger, Anggota House dari Demokrat yang menolak, seperti dikutip dari Reuters.
Akan tetapi, setidaknya sudah ada langkah maju. Ekonomi AS memang masih membutuhkan rangsangan dari pemerintah, terutama pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Semua mata mengarah kepada stimulus, dan bola sekarang berada di tangan Kongres. Kami tetap yakin bahwa mereka semakin dekat (menuju kesepakatan), tetapi babak terakhir memang yang paling sulit," kata Ryan Detrick, Senior Market Strategist di PL Financials yang berbasis di North Carolina, seperti diberitakan Reuters.
Faktor eksternal yang positif itu mampu menutup sentimen negatif yang beredar di dalam negeri. Kemarin, ada dua rilis data yang semakin memberi konfirmasi bahwa Indonesia sudah masuk zona resesi ekonomi.
Data pertama adalah Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang pada September berada di 47,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,8.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50 berarti kontraksi, di atas 50 berarti ekspansi.
Data kedua adalah inflasi, yang pada September tercatat -0,05% month-to-month (MtM). Ini menjadi deflasi ketiga dalam tiga bulan beruntun.
Kini, deflasi bukan mencerminkan kemampuan untuk menyediakan barang dan jasa sesuai dengan kebutuhan, tetapi lebih karena amblesnya konsumsi. Padahal konsumsi adalah pilar penting dalam pembentukan output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB).
Di Indonesia, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh PDB. Separuh nyawa perekonomian nasional adalah konsumsi rumah tangga. Deflasi yang menggambarkan kelesuan konsumsi rumah tangga membuat PDB mustahil tumbuh positif, yang ada malah negatif alias terkontraksi.
Dengan deflasi yang terjadi sepanjang kuartal III-2020, maka sepertinya PDB Tanah Air pada periode Juli-September akan negatif. Proyeksi terbaru Kementerian Keuangan untuk pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 adalah -2,9% hingga -1%.
Pada kuartal sebelumnya, Indonesia membukukan kontraksi ekonomi 5,32%. Jadi PDB Tanah Air mengalami kontraksi dua kuartal beruntun, yang merupakan definisi resesi.
Data resmi memang baru diumumkan pada awal November mendatang. Namun sepertinya Indonesia sudah resmi masuk resesi, bergabung dengan banyak negara lainnya di dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA