Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di kuartal III-2020 buruk, bahkan sangat buruk jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya. Selain rupiah, hanya baht Thailand yang melemah, sisanya membukukan penguatan.
Ironisnya, rupiah merupakan mata uang yang digadang-gadang bakal cemerlang di tahun ini, sementara baht Thailand.
Sepanjang kuartal III-2020, rupiah merosot 4,65% ke Rp 14.840/US$, sementara baht yang juga melemah jauh lebih baik dengan pelemahan 2,27%.
Yuan China menjadi mata uang terbaik dengan penguatan 3,9%. Maklum saja, China merupakan negara yang sudah menang melawan penyakit virus corona (Covid-19), dan perekonomiannya perlahan menunjukkan kebangkitan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia di kuartal III-2020.
Saat China sukses meredam virus corona, Indonesia justru sedang menghadapi kenaikan kasus Covid-19 hingga saat ini. Bahkan, penambahan kasus perharinya masih cenderung tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kasus baru Covid-19 di Indonesia bertambah sebanyak 4.284 orang kemarin. Jumlah kasus baru tersebut membuat akumulasi kasus positif menjadi 287.008 orang.
Dari akumulasi tersebut, sebanyak 214.947 orang sembuh, dan 10.740 orang meninggal dunia, sehingga kasus aktifnya sebanyak 61.321 orang.
Akibat tren penambahan kasus yang masih menanjak, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terus berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Di DKI Jakarta, sebagai pusat perekonomian Indonesia bahkan kembali menerapkan PSBB yang lebih ketat dalam 3 pekan terakhir.
Alhasil, roda bisnis berputar dengan lambat, dan perekonomian Indonesia pasti mengalami resesi di kuartal III, hanya seberapa dalamnya yang masih menjadi misteri. Di kuartal II-2020 lalu, perekonomian Indonesia minus 5,32% year-on-year (YoY).
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada pekan lalu memberikan proyeksi terbaru pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020. Tetapi proyeksi tersebut lebih buruk dari sebelumnya.
"Kemenkeu yang tadinya melihat ekonomi kuartal III minus 1,1% hingga positif 0,2%, dan yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9% sampai minus 1,0%. Negatif teritori pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal IV. Namun kita usahakan dekati nol," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita September, Selasa (22/9/2020).
Sri Mulyani mengatakan Kemenkeu memprediksi perekonomian di kuartal III-2020 minus 2,9% sampai minus 1,0%. Melihat prediksi tersebut, resesi pasti terjadi di Indonesia, dan menjadi yang pertama sejak tahun 1999.
Rupiah berada dalam tren pelemahan sejak 9 Juni lalu, artinya sudah berlangsung dalam lebih dari 2 bulan, meski pelemahnya terbilang smooth. Salah satu penyebab rupiah terus melemah adalah pemangkasan suku bunga BI.
Pada pertengahan Juli lalu, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4%.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juli 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Youtube Resmi Bank Indonesia, Kamis (16/7/2020).
"Keputusan ini juga mendukung pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga terkendalinya inflasi dan stabilitas nilai tukar," kata Perry.
Total di tahun ini, BI sudah memangkas suku bunga sebanyak 4 kali dengan total 100 bps. Tidak hanya memangkas suku bunga, BI juga memberikan banyak stimulus moneter, tujuannya, guna memacu perekonomian yang nyungsep.
Penurunan suku bunga oleh BI menjadi salah satu penyebab melempemnya rupiah. Rupiah merupakan mata uang yang mengandalkan yield tinggi untuk menarik minat investor. Kala suku bunga dipangkas, yield tentunya juga akan menurun, sehingga rupiah menjadi kurang menarik.
Apalagi, pelaku pasar berekspektasi BI masih akan memangkas suku bunga sekali lagi di sisa tahun ini, mengingat inflasi yang sangat rendah, sehingga memberikan ruang pemangkasan yang lebih besar.
Namun, setelah memangkas suku bunga di bulan Juli, BI dalam 2 edisi RDG tetap tidak mempertahankan suku bunganya sebesar 4%, dan mengindikasikan tidak akan memangkas suku bunga lagi.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 September 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%," papar Perry dalam keterangan usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode September 2020, Kamis (17/9/2020).
"Keputusan ini konsisten dengan perlunya menjaga stabilitas eksternal, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19," ujarnya.
Perry mengatakan BI tetap mempertahankan suku bunga acuan pada September ini dengan mempertimbangkan berbagai hal mulai dari inflasi hingga sistem keuangan baik di domestik maupun global.
"Keputusan ini mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah," ujar Perry melalui konferensi pers virtual, Kamis (17/9/2020).
Ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh BI yang terus berhembus sejak pertengahan tahun membuat investor menjauhi rupiah. Hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Setelah ekspektasi pemangkasan suku bunga BI mereda, kini isu revisi undang-undang BI yang membuat investor tidak tertarik terhadap rupiah.
Survei 2 mingguan terbaru yang dirilis Reuters menunjukkan investor kini kembali mengambil posisi jual (short) terhadap rupiah, setelah mengambil posisi beli (long) pada survei sebelumnya. Posisi beli tersebut menjadi yang pertama setelah 4 survei beruntun investor mengambil posisi jual.
Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.
Hasil survei yang dirilis pada Kamis (17/8/2020) kemarin, menunjukkan angka 0,39, berbalik cukup signifikan dibandingkan hasil survei sebelumnya -0,19.
Survei yang dilakukan Reuters tersebut konsisten dengan pergerakan di tahun ini. Selama periode aksi "buang" rupiah pada 4 survei sebelumnya, Mata Uang Garuda mengalami pelemahan 2,68%. Sementara saat investor mengambil posisi beli (long) rupiah menguat tipis 0,07%.
Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi jual (short) rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor.
Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni.
Kini dengan investor kembali mengambil posisi jual, rupiah tentunya berisiko kembali melemah.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan investor melakukan mengambil posisi jual rupiah akibat kekhawatiran akan revisi undang-undang BI, membuat bank sentral tidak lagi independen, dan rentan mengalami intervensi yang bersifat politis.
Kabar buruknya lagi, hanya rupiah mata uang utama Asia yang "dibuang" oleh investor dalam survei terbaru tersebut.
Bank investasi Societe Generale dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters memprediksi rupiah akan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia di semester II tahun ini. Sebagai aset dengan imbal hasil tinggi, rupiah masih akan dikalahkan oleh rupee India meski yield yang diberikan lebih rendah.
TIM RISET CNBC INDONESIA