Bukan Spekulasi, Rupiah ke 15.000/US$ karena Semakin Dicintai

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 May 2020 16:51
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Di bulan April, nilai tukar rupiah di bulan April menunjukkan kinerja impresif melawan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan melawan semua mata uang utama dari Asia hingga Eropa. Memasuki bulan Mei, rupiah mengalami koreksi yang cukup tajam, Senin kemarin rupiah melemah 1,52% dan kembali bergerak di atas Rp 15.050/US$. Sementara hari ini membukukan penguatan 

Sepanjang bulan lalu, total rupiah membukukan penguatan 9,05%, dan pada akhir perdagangan 30 April berada di bawah level Rp 15.000/US$, tepatnya Rp 14.825/US$. Selain itu Mata Uang Garuda juga sukses mencatat quattrick alias penguatan empat pekan beruntun melawan dolar AS.

Melawan mata uang Asia, rata-rata penguatan rupiah di atas 8% di bulan April. Sementara melawan mata uang Eropa, rupiah menguat lebih dari 9% melawan euro dan dan franc Swiss, sementara melawan poundsterling dan krona Swedia menguat lebih dari 7%. Mata Uang Garuda hanya mencatat penguatan lebih dari 3% melawan dolar Australia.



Di saat rupiah menguat tajam, arus modal asing (hot money) keluar masuk dari Indonesia, yang menjadi indikasi adanya aksi spekulan. Pergerakan rupiah memang sangat rentan oleh keluar masuknya aliran modal (hot money) sebagai sumber devisa. Sebabnya, pos pendapatan devisa lain yakni transaksi berjalan (current account), belum bisa diandalkan.

Sehingga muncul anggapan penguatan rupiah yang terjadi merupakan aksi spekulasi para pelaku pasar. Tetapi hasil survei Reuters menunjukkan hal yang berbeda, para pelaku pasar memang semakin "mencintai" rupiah.



Survei dua mingguan yang dilakukan Reuters menunjukkan para pelaku pasar mulai mengurangi posisi short (jual) rupiah sejak awal April. Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah yang mulai menguat sejak awal April.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (30/4/2020) pekan lalu menunjukkan angka 0,58, turun jauh dari rilis sebelumnya 16 April sebesar 0,86. Angka tersebut menunjukkan penurunan dalam tiga survei beruntun, sejalan dengan penguatan rupiah di bulan April.


Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) terhadap dolar AS dan jual (short) terhadap rupiah, begitu juga sebaliknya.

Semakin rendahnya angkat positif di hasil survei tersebut menunjukkan pelaku pasar semakin menurunkan posisi long dolar AS, yang berarti perlahan-lahan rupiah kembali diburu pelaku pasar.

Di bulan Maret, rupiah mengalami gejolak, hingga menyentuh level Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Hasil survei Reuters kala itu menunjukkan angka 1,57, artinya posisi jual rupiah sedang tinggi.

Sementara itu sebelum bulan Maret, hasil survei Reuters tersebut selalu menunjukkan angka minus (-) yang berarti pelaku pasar mengambil posisi short dolar AS dan long rupiah. Ketika itu rupiah masih membukukan penguatan secara year-to-date (YTD) melawan dolar AS.



Di bulan Januari, rupiah bahkan menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia alias mata uang dengan penguatan terbesar. Saat itu bahkan tidak banyak mata uang yang mampu menguat melawan dolar AS. Hal tersebut juga sesuai dengan survei Reuters pada 23 Januari dengan hasil -0,86, yang artinya pelaku pasar beli rupiah.

Rupiah bahkan disebut menjadi kesayangan pelaku pasar oleh analis dari Bank of Amerika Merryl Lycnh (BAML) saat itu.

"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu" kata Rohit Garg, analis BAML dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020).


[Gambas:Video CNBC]




Tingkat kepanikan global menurun menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah. Ketika kondisi pasar global sudah mulai stabil, maka aset-aset yang dianggap lebih berisiko tetapi memberi imbal hasil tinggi seperti rupiah perlahan menjadi target investasi kembali.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dua minggu lalu mengungkapkan kepanikan di pasar global sudah mereda. Puncaknya pada pekan kedua Maret 2020 lalu.

Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index (VIX).

"Data terakhir menunjukkan 43,8. Artinya memang kepanikan pasar keuangan global puncaknya pada pekan kedua Maret 2020. Berangsur mereda dan sekarang 43,8."

"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum Covid-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," kata Perry dalam konferensi persnya di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).



Volatility index sudah menurun lagi dibandingkan 2 pekan lalu, saat ini berada di kisaran 35,9. Sebelumnya pada bulan Maret, ketika rupiah mengalami gejolak VIX berada di atas 80.

Pergerakan antara rupiah dan VIX semakin terlihat beriringan jika melihat di bulan Januari dan Februari, ketika VIX bergerak di bawah angka 20. Rupiah saat itu sedang perkasa melawan dolar AS.



Meredanya kepanikan global juga sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Indonesia. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.

CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.

Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.



Pada 23 Maret, CDS tenor 5 tahun sempat mencapai 281,26 basis poin (bps) dan tenor 10 tahun 351,79 bps, yang merupakan lalu level tertinggi sejak September 2015. Saat ini CDS kedua tenor tersebut sudah menurun jauh berada di 209,47 bps dan 272,2 bps, tetapi masih cukup jauh di bandingkan bulan Februari lalu ketika CDS tenor 5 tahun sempat di bawah 60 bps dan tenor 10 tahun di kisaran 122 bps.

Naik turunnya VIX maupun CDS dipengaruhi oleh penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang sedang tinggi-tingginya di bulan Maret. Ketika itu episentrum penyebaran berpindah dari China ke Eropa, kemudian ke AS.

Kini penyebaran Covid-19 sudah mulai melandai secara global yang membuat pelaku pasar mejadi lebih tenang. Apalagi sudah ada obat remdesivir dari Gilead Sciences Inc. yang sudah disetujui penggunaannya untuk mengobati pasien Covid-19 di Negeri Paman Sam.

Indonesia melaporkan kasus pertama Covid-19 sejak awal Maret lalu, itu artinya sudah 2 bulan terjangkit pendemi yang berasal dari kota Wuhan China ini. Meski demikian, penambahan kasus di Indonesia terbilang stabil, bahkan lebih rendah dari estimasi yang diberikan pemerintah sebelumnya.

Hingga Senin kemarin tercatat total kasus sebanyak 11.587 orang, dengan 864 meninggal dunia, dan 1.954 dinyatakan sembuh. Persentase penambahan kasus juga terbilang stabil, dan sudah di bawah 5% per hari sejak 26 April lalu.

Total kasus di akhir April masih tidak jauh dari angka 10.000 orang, yang tentunya jauh di bawah estimasi pemerintah di atas 27.000 orang.

Di awal April lalu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo memaparkan pemodelan yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) terkait jumlah kasus di Indonesia.

Doni, yang juga menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ini menyampaikan paparan tersebut dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada Kamis (2/4/2020) lalu.

"Estimasi jumlah kasus di Maret 1.577 masukan BIN. Ini relatif akurat. Estimasi akhir April 27.300. Puncaknya pada akhir Juni dan akhir Juli," katanya seperti dikutip detik.com.

Berikut ini estimasi jumlah kasus positif COVID-19 sebagaimana pemodelan BIN:

- Estimasi jumlah kasus di akhir Maret: 1.577 kasus (realita 1.528, akurasi prediksi 99 persen)
- Estimasi jumlah kasus di akhir April: 27.307 kasus
- Estimasi jumlah kasus di akhir Mei: 95.451 kasus
- Estimasi jumlah kasus di akhir Juni: 105.765 kasus
- Estimasi jumlah kasus di akhir Juli: 106.287 kasus

Kemarin, Doni melaporkan hasil rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu poin utama pembahasan berkaitan dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Dapat kami sampaikan bahwa telah terjadi perlambatan (penambahan kasus konfirmasi positif Covid-19) di beberapa provinsi terkait dengan status PSBB," ujar Doni, Senin (4/5/2020).

Meski demikian, ada dua anggapan dari jumlah kasus di Indonesia, yakni terkandalinya atau akibat jumlah tes yang dilakukan pemerintah jika dibandingkan negara-negara lainnya.

Jakarta yang merupakan episentrum penyebaran sudah melaporkan penurunan laju penambahan harian.

Berdasarkan data yang dihimpun dari corona.jakarta.go.id, pada Senin (4/5/2020), penambahan kasus harian sebanyak 55.



Jumlah itu lebih rendah dibandingkan tiga hari sebelumnya yang masing-masing tercatat 62 kasus (3 Mei 2020), 72 kasus (2 Mei 2020), dan 145 kasus (1 Mei 2020).

Sementara itu, Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi mengklaim tidak ada penambahan jumlah pasien positif virus corona (Covid-19) sejak 2 hingga 4 April 2020 hari ini.

Hal itu juga berlaku bagi orang yang berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) serta Orang Dalam Pemantauan (ODP).

Jika tren tersebut berlanjut, Rahmat menegaskan Kota Bekasi bisa berjalan normal dengan kemungkinan tak memperpanjang penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Dari data yang ada, sebuah peningkatan yang bagus. Dalam 2 hari ini, tidak ada peningkatan baik ODP, PDP dan terkonfirmasi Positif di Kota Bekasi," ujar Rahmat dalam keterangan tertulis, Senin (4/5).

Sejak Senin kemarin, data yang dirilis dari Indonesia menunjukkan pelambatan ekonomi yang signifikan. Rupiah memang melemah Senin kemarin, tetapi hari ini lebih "santai", bahkan berakhir menguat 0,13% di Rp 15.030/US$, meski sebelumnya sempat melemah 0,23% akibat rilis data pertumbuhan ekonomi yang merosot tajam.

Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini melaporkan pertumbuhan ekonomi (produk domestic bruto/PDB) Indonesia triwulan I-2020 tumbuh 2,97% secara year-on-year (YoY), terendah sejak triwulan IV-2001.

Rilis tersebut jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekonomi domestik tumbuh 4,33% YoY.



Kepala BPS Suhariyanto memaparkan pada triwulan I-2020 ada beberapa catatan peristiwa yang mempengaruhi PDB.

"Penyebaran covid-19 ini membuat ekonomi global terkontraksi," kata Suhariyanto, Selasa (5/4/2020).

Sementara, ekonomi beberapa mitra dagang Indonesia terkontraksi sebagai akibat adanya pembatasan aktivitas lockdown untuk mengendalikan penyerbaran Covid-19

Harga komoditas migas dan hasil tambang pun pada Triwulan I-2020 menunjukkan penurunan. "Jadi apa yang bisa dilihat adalah semua indikator terpengaruh Covid-19," kata Suhariyanto.

"Pada triwulan I-2020, ekonomi ini mengalami perlambatan yang sangat dalam."




Merespon merosotnya PDB Indonesia, pergerakan rupiah terbilang "santai", tidak terjadi gejolak yang berlebihan.

Pelaku pasar sepertinya sudah "menerima" perekonomian Indonesia melambat, bahkan perekonomian global yang akan mengalami resesi akibat bencana kesehatan Covid-19, dan bukan ulah manusia.

Yang terpenting bagi investor saat ini adakah kemampuan meredam penyebaran Covid-19 dan segara memutar kembali roda perekonomian.
Rilis PDB hari ini melengkapi data yang dirilis awal pekan kemarin yang juga menunjukkan dampak buruk Covid-19.

IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia di angka 27,5 alias mengalami kontraksi. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI yang dimulai sejak April 2011.

Kemudian BPS merilis pada April 2020 terjadi inflasi sebesar 0,08%. Adapun secara tahunan inflasi berada di 2,67%.

Rendahnya inflasi tersebut menjadi salah satu indikasi penurunan daya beli masyarakat yang menurun, akibat banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) serta penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular