
Bukan Spekulasi, Rupiah ke 15.000/US$ karena Semakin Dicintai
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 May 2020 16:51

Tingkat kepanikan global menurun menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah. Ketika kondisi pasar global sudah mulai stabil, maka aset-aset yang dianggap lebih berisiko tetapi memberi imbal hasil tinggi seperti rupiah perlahan menjadi target investasi kembali.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dua minggu lalu mengungkapkan kepanikan di pasar global sudah mereda. Puncaknya pada pekan kedua Maret 2020 lalu.
Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index (VIX).
"Data terakhir menunjukkan 43,8. Artinya memang kepanikan pasar keuangan global puncaknya pada pekan kedua Maret 2020. Berangsur mereda dan sekarang 43,8."
"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum Covid-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," kata Perry dalam konferensi persnya di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).
Volatility index sudah menurun lagi dibandingkan 2 pekan lalu, saat ini berada di kisaran 35,9. Sebelumnya pada bulan Maret, ketika rupiah mengalami gejolak VIX berada di atas 80.
Pergerakan antara rupiah dan VIX semakin terlihat beriringan jika melihat di bulan Januari dan Februari, ketika VIX bergerak di bawah angka 20. Rupiah saat itu sedang perkasa melawan dolar AS.
Meredanya kepanikan global juga sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Indonesia. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.
Pada 23 Maret, CDS tenor 5 tahun sempat mencapai 281,26 basis poin (bps) dan tenor 10 tahun 351,79 bps, yang merupakan lalu level tertinggi sejak September 2015. Saat ini CDS kedua tenor tersebut sudah menurun jauh berada di 209,47 bps dan 272,2 bps, tetapi masih cukup jauh di bandingkan bulan Februari lalu ketika CDS tenor 5 tahun sempat di bawah 60 bps dan tenor 10 tahun di kisaran 122 bps.
Naik turunnya VIX maupun CDS dipengaruhi oleh penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang sedang tinggi-tingginya di bulan Maret. Ketika itu episentrum penyebaran berpindah dari China ke Eropa, kemudian ke AS.
Kini penyebaran Covid-19 sudah mulai melandai secara global yang membuat pelaku pasar mejadi lebih tenang. Apalagi sudah ada obat remdesivir dari Gilead Sciences Inc. yang sudah disetujui penggunaannya untuk mengobati pasien Covid-19 di Negeri Paman Sam.
(pap/pap)
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, dua minggu lalu mengungkapkan kepanikan di pasar global sudah mereda. Puncaknya pada pekan kedua Maret 2020 lalu.
Hal ini ditunjukkan dari premi risiko global atau biasa dilihat dari global volatility index (VIX).
"Ketidakpastian masih berlangsung, sebelum Covid-19 masih tinggi, tapi relatif rendah saat setelah pekan kedua Maret 2020," kata Perry dalam konferensi persnya di Channel Youtube BI, Rabu (22/4/2020).
Volatility index sudah menurun lagi dibandingkan 2 pekan lalu, saat ini berada di kisaran 35,9. Sebelumnya pada bulan Maret, ketika rupiah mengalami gejolak VIX berada di atas 80.
Pergerakan antara rupiah dan VIX semakin terlihat beriringan jika melihat di bulan Januari dan Februari, ketika VIX bergerak di bawah angka 20. Rupiah saat itu sedang perkasa melawan dolar AS.
Meredanya kepanikan global juga sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Indonesia. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi. Ketika premi CDS suatu negara meningkat, maka pasar derivatif mengasumsikan bahwa risiko berinvestasi atau memegang surat utang di negara tersebut juga meningkat.
Pada 23 Maret, CDS tenor 5 tahun sempat mencapai 281,26 basis poin (bps) dan tenor 10 tahun 351,79 bps, yang merupakan lalu level tertinggi sejak September 2015. Saat ini CDS kedua tenor tersebut sudah menurun jauh berada di 209,47 bps dan 272,2 bps, tetapi masih cukup jauh di bandingkan bulan Februari lalu ketika CDS tenor 5 tahun sempat di bawah 60 bps dan tenor 10 tahun di kisaran 122 bps.
Naik turunnya VIX maupun CDS dipengaruhi oleh penyebaran pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang sedang tinggi-tingginya di bulan Maret. Ketika itu episentrum penyebaran berpindah dari China ke Eropa, kemudian ke AS.
Kini penyebaran Covid-19 sudah mulai melandai secara global yang membuat pelaku pasar mejadi lebih tenang. Apalagi sudah ada obat remdesivir dari Gilead Sciences Inc. yang sudah disetujui penggunaannya untuk mengobati pasien Covid-19 di Negeri Paman Sam.
(pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular