Duh! Dana Asing Kabur Rp 14 T dari Bursa RI, Ini Pemicunya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 April 2020 18:05
Bursa efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Indonesia mencatatkan kinerja yang buruk di sepanjang tahun ini. Wabah corona (COVID-19) yang terus merebak di dalam negeri membuat investor asing kabur dan jaga jarak dari pasar ekuitas Tanah Air.

Hari ini, Kamis (16/4/2020) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles 3,14%. Dalam sepekan terakhir IHSG sudah terkoreksi 3,16% dan sejak awal tahun indeks bursa saham domestik terbenam di zona pesakitan dengan koreksi signifikan nyaris 29%.



Kala wabah COVID-19 merebak dan meluas di luar China akhir Februari lalu, pasar keuangan global luluh lantak. Tekanan jual yang masif di bursa saham global membuat pasar hancur porak-poranda, tak terkecuali bursa Indonesia.

Investor asing terus memperpanjang jaraknya dengan bursa saham RI. Hal ini tercermin dari aksi jual bersih yang sangat fantastis yang mereka lakukan. Hari ini saja, asing keluar Rp 1,19 T. Jika ditarik mundur ke awal tahun, asing telah kabur dari dalam negeri sebesar Rp 14,35 T.



Sudah lebih dari 2 juta orang di berbagai penjuru planet bumi sudah terinfeksi oleh virus yang diyakini berasal dari Wuhan, China ini. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah orang yang terenggut jiwanya akibat menderita sakit terserang virus mencapai lebih dari 125 ribu jiwa per hari ini.

Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan pandemi corona adalah sebuah fenomena "Great Lockdown" yang memicu terjadinya resesi global. Dalam laporannya itu, IMF mengungkap suramnya gambaran perekonomian dunia tahun ini.

Organisasi yang berbasis di Washington itu memperkirakan ekonomi global akan terkontraksi 3% pada 2020. Skenario ini masih mending.

Jika pandemi tak segera berhenti merebak hingga semester II 2020, maka kontraksi akan bertambah sebanyak 3 poin persentase (pp) menjadi -6%. Padahal, Januari lalu IMF masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia berada di angka 3,3% tahun ini.

"Kemungkinan besar tahun ini, ekonomi global akan mengalami resesi yang hebat sejak Great Depression, melampaui krisis keuangan global satu dekade lalu" kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, melansir CNBC International.


"Ini adalah sebuah periode krisis di mana guncangan yang terjadi tidak dapat dikendalikan dengan kebijakan ekonomi mengingat kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir" tambahnya.
Sampai saat ini investor masih terus memantau setidaknya tiga hal. 1) Perkembangan kasus pandemi corona 2) Respons penanganan wabah yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia 3) Dampak dari keberadaan virus.

Untuk poin pertama, jumlah pertambahan kasus baru infeksi corona secara global cenderung menurun. Penurunan pertambahan jumlah kasus secara global ini memang menjadi berita positif. Namun ada hal yang perlu diwaspadai yakni fase perkembangan wabah di tiap negara berbeda-beda.

Di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa bisa saja sudah mulai menurun pertambahannya. Namun di negara seperti India dan Indonesia lonjakan kasus signifikan masih terus terjadi.

Mengacu pada data Kementerian Kesehatan RI, jumlah kumulatif orang yang terinfeksi virus corona di dalam negeri mencapai 5.136 per kemarin. Angkanya sudah lebih dari lima ribu kasus sejak kasus pertama dilaporkan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).



Hanya dalam kurun waktu 44 hari, jumlah kasus per harinya bertambah signifikan. Di awal April, jumlah kasus bertambah 100 per hari. Namun kini pertambahannya makin signifikan, mencapai angka 300 kasus per hari.



Lonjakan kasus yang signifikan ini membuat Indonesia berada di ranking dua klasemen negara dengan jumlah infeksi COVID-19 di kawasan Asia Tenggara, setelah Filipina. Parahnya lagi, angka mortalitas infeksi virus corona di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara mencapai 9,1%.

Pemerintah tak tinggal diam, pemrintah mengambil dua langkah yakni membuat paket kebijakan ekonomi untuk menstimulasi ekonomi RI dan menggalakkan program pembatasan sosial.

Sejak corona mulai terlihat makin perkasa dan mengobrak-abrik ekonomi China, pemerintah RI sudah ambil jurus ancang-ancang dengan paket kebijakan ekonomi jilid I senilai Rp 10 triliun.

Anggaran sebesar Rp 10 triliun tersebut dialokasikan untuk insentif di sektor pariwisata, menjaga daya beli masyarakat lewat kartu sembako, mendorong roda perekonomian lewat subsidi KPR untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Kala corona makin buas dan menyerang seluruh penjuru dunia, pemerintah akhirnya meracik jamu yang kedua. Kali ini berfokus pada relaksasi pajak. Mulai dari relaksasi PPh 21 untuk pekerja di sektor manufaktur, PPh untuk ekspor-impor dan percepatan restitusi PPN.

Hingga akhirnya, jumlah kasus corona di dalam negeri pun melonjak signifikan. Mau tak mau jamu racikan yang ketiga juga dikeluarkan. Tak tanggung-tanggung, pemerintah tebar stimulus sebesar Rp 405,1 triliun.
Alamak! Asing Kabur Gila-gilaan dari Bursa RI, Ini PemicunyaSumber : CNBC Indonesia Research
Jatah anggaran kesehatan sebesar Rp 75 triliun, untuk kelonggaran pajak sebesar Rp 71 triliun, dana untuk program jaring pengaman sosial RP 110 triliun dan sisanya Rp 150 triliun untuk paket pemulihan ekonomi.

Angka Rp 405,1 triliun itu setara dengan 2,4% dari output perekonomian Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Inggris, Spanyol dan AS jelas besaran stimulus racikan pemerintah RI ini kalah besar. Namun jika melihat ruang fiskal yang selama ini memang sempit, stimulus ini tergolong jumbo untuk Indonesia.



Di sisi lain, untuk menstimulasi perekonomian Tanah Air, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter mengambil stance kebijakan BI masih longgar. Suku bunga acuan dipangkas menjadi 4,5%. Ada ruang untuk pemangkasan suku bunga lagi seiring dengan laju inflasi domestik yang rendah dan kebutuhan untuk mendorong perekonomian.

BI saat ini fokus untuk menjaga stabilitas dengan meningkatkan intensitas triple intervention di pasar spot, DNDF dan pembelian SBN di pasar sekunder.

Selain itu BI juga telah melakukan pelonggaran kuantitatif senilai Rp 300 triliun yang nilainya ke depan masih berpotensi untuk bertambah lagi sebesar Rp 102 T. Injeksi likuiditas juga diberikan BI melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 200 basis poin (bps) untuk bank umum, dan 50 bps untuk bank syariah. Intervensi di sektor kesehatan masyarakat juga dilakukan pemerintah melalui program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Beberapa kawasan episentrum penyebaran virus seperti Jabodetabek sudah mengantongi ijin PSBB dari Kementerian Kesehatan.

Namun ada yang perlu dicermati lebih lanjut. PSBB yang sudah mulai dilakukan di Jakarta sejak 10 April lalu masih terlihat membuahkan hasil. Memang masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan.

Namun yang perlu diwaspadai adalah adanya ketidaksinkronan antara kebijakan pusat dan daerah. Di tengah kondisi genting seperti sekarang ini seharusnya pusat dan daerah fokus pada langkah penanganan virus yang optimal.

Aturan dibuat jelas dan tegas, koordinasi harus ditingkatkan dan diperkuat begitu juga dengan surveilansi. Kalau jalan ini tak ditempuh akibatnya bisa fatal.

Di sisi lain yang juga perlu menjadi sorotan adalah upaya pemerintah dalam mendeteksi virus corona. Kasus di Korea Selatan sempat melonjak drastis di awal Maret lalu. Namun berhasil ditekan karena keberhasilan Korsel melakukan tes corona secara masif.

Deteksi dini sangatlah penting dalam penanganan wabah. Melalui deteksi dini orang yang terinfeksi bisa mudah diisolasi dan penyebaran bisa ditekan. Namun catatannya tes corona harus dilakukan secara masif sensitf dan cepat.

Alih-alih melakukan tes corona yang masif, sensitif dan cepat, Indonesia masih tertinggal jauh dari kawan-kawan di Asia Tenggara dari segi jumlah tes corona yang masif. Mengacu pada data Worldometers hari ini, Indonesia hanya mengetes 132 orang per 1 juta penduduk. Angka ini kalah jauh dengan mayoritas negara anggota ASEAN lain.

Tak bisa dipungkiri, dampak corona sudah mulai terasa. Pandemi ini telah menyerang ekonomi Tanah Air dari dua sisi yakni dari sisi bisnis dan konsumen.

Beberapa indikator perekonomian sebelumnya, mengkonfirmasi bahwa dampak corona tidak bisa disepelekan. Dimulai dari sektor manufaktur RI yang mengalami kontraksi pada Maret lalu.

Angka pembacaan Purchasing Manager Indeks (PMI) manufaktur Maret 2020 versi Markit berada di angka 45,9. Angka PMI di bawah 50 mengindikasikan adanya kontraksi pada sektor tersebut. Artinya pada bulan Maret, sektor manufaktur dalam negeri mengalami kontraksi dari ekspansi yang mampu dicatatkan pada bulan sebelumnya sebesar 51,9.



Data ekonomi lain yang juga menunjukkan adanya perlambatan pada ekonomi tanah air adalah data penjualan ritel. Pada Februari 2020, penjualan ritel dalam negeri mengalami kontraksi 0,8% (yoy). Walau realitanya lebih baik dari perkiraan sebesar -1,9%, BI memperkirakan pertumbuhan penjualan ritel bulan Maret masih mengalami kontraksi sebesar 5,4% (yoy).



Hal ini juga senada dengan angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terus tergerus sejak awal tahun. Optimisme konsumen tanah air terus mengalami penurunan. Pada Maret 2020, BI mencatat IKK berada di level 113,8 dan menjadi level terendah sejak Oktober 2016. Angka pembacaan di atas 100 mengindikasikan konsumen yang masih optimis dalam memandang perekonomian.



Walau neraca perdagangan Indonesia dalam dua bulan terakhir surplus besar, tetapi dari indikator-indikator tersebut saja sudah menunjukkan alarm tanda bahaya bagi perekonomian dalam negeri.



Wabah corona memang tidak bisa disepelekan. Imbas lain dari pandemi corona juga dirasakan di sektor tenaga kerja. CNBC Indonesia mencatat sudah ada 1,4 juta pekerja di seluruh Indonesia baik sektor formal maupun informal yang dirumahkan dan di PHK akibat corona.

Dari sisi pengusaha pun, kondisi keuangan mereka sudah goyah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah memberikan rambu-rambu bahaya bahwa mereka hanya kuat sampai Juni. Selebihnya keok sudah. Bukan menakuti tapi ini harus segera disikapi.

Dengan adanya pandemi corona ini, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2020 diprakirakan dapat menuju 2,3%.

Melihat kasus infeksi corona yakin melonjak dan parah di dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang masih menemui berbagai kendala dan tantangan serta belum terasa efektivitasnya hingga dampak ekonomi yang mulai terasa, wajar saja kalau investor asing jadi ragu dan jaga jarak dari bursa saham Indonesia untuk sementara ini. Saham merupakan instrumen investasi yang tergolong ke dalam kelas aset yang memiliki risiko tinggi. Apalagi saham-saham di negara berkembang sepeti Indonesia. Ketika kondisi global sedang tidak kondusif seperti sekarang ini, investor lebih melirik emas untuk dimasukkan ke dalam portofolionya.

Akibat dari aksi perburuan emas yang dilakukan oleh investor, harga emas global menjadi melambung tinggi dan kembali menyentuh level tertingginya dalam 7 tahun terakhir.



"Ada banyak pembelian aset safe-haven saat ini. Saat ini pasar diliputi dengan adanya kekhawatiran akan resesi/depresi. Prospek ekonomi terlihat cukup mengerikan," kata Bob Haberkorn, ahli strategi pasar senior di RJO Futures, melansir Reuters.

"The Fed AS baru saja menggelontorkan uang ke perekonomian sebesar US$ 2 triliun pekan lalu dan bank-bank sentral lainnya di seluruh dunia juga akan melakukan hal yang sama yakni memangkas tingkat suku bunga hingga mendekati nol. Ada banyak kekhawatiran di luar sana dan itu hanya akan menjadi lingkungan yang sempurna untuk emas untuk diperdagangkan di US$ 2.000. " tambahnya.

Sejak gelombang stimulus jumbo diberikan oleh berbagai negara di dunia terutama AS, pasar keuangan memang agak kalem. Volatilitas yang tadinya tinggi, kini jadi agak mereda. Outflow di Indonesia pun mulai mereda juga.

Namun ketimbang masuk di saham, investor masih melirik surat utang pemerintah. Hal ini tercermin dari penurunan imbal hasil surat utang pemerintah RI yang bertenor 10 tahun. Penurunan imbal hasil mengindikasikan adanya kenaikan harga.

Namun jangan senang dulu. Walau sentimen terhadap risiko membaik, bukan berarti risiko itu sudah hilang. Jika pandemi corona tak segera selesai dan dampaknya kian nyata maka tekanan di pasar keuangan terutama saham bisa terjadi lagi.

Ditambah sekarang sudah mulai memasuki rilis laporan keuangan di AS. Jika emiten-emiten saham AS membukukan kinerja yang lebih buruk dari ekspektasi, begitu juga rilis data ekonomi AS yang makin terlihat hancur maka koreksi di pasar keuangan akan hadir kembali.

Oleh karena itu, pemerintah terutama pemerintah Indonesia saat ini harus berfokus pada upaya memerangi musuh tak kasat mata bernama virus corona. Fokus harus dilakukan di sektor kesehatan. Tekan angka pertambahan jumlah kasus, itu fokusnya.

Lagipula pasar saham pasti akan kembali bersemi jika ekonomi menggeliat lagi. Kunci ekonomi akan terangsang ya intinya satu, basmi dulu virus corona!







TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular