Asing Cabut Rp 1 Triliun Lebih, IHSG Ambles 3,14%

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 April 2020 15:42
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia, Kamis 26/3/2020 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah di perdagangan sesi I Kamis (16/4/2020) akibat memburuknya sentimen pelaku pasar setelah rilis proyeksi perekonomian terbaru dari Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF).

Begitu perdagangan hari ini dibuka IHSG langsung masuk ke zona merah. Aksi jual terus terjadi sepanjang sesi I, bursa kebanggaan Tanah Air ini terus merosot hingga mengakhiri sesi I di 4.480,862 ambles 3,14%. 

Berdasarkan data RTI, nilai transaksi sepanjang sesi I sebesar Rp 3,39 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 576,44 miliar.
Memasuki perdagangan sesi II, IHSG kembali melemah hingga 3,5%, tetapi di akhir perdagangan berhasil dipangkas menjadi 3,14% di 4.480,607.

Nilai transaksi sepanjang perdagangan hari ini sebesar Rp 6,54 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih senilai Rp 1,19 triliun di pasar reguler dan non-reguler. 



Dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, IMF memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.

Lembaga yang berkantor pusat di Washington tersebut juga menyatakan krisis yang terjadi kali ini jauh lebih parah dibandingkan dengan krisis finansial global tahun 2008.

"Ini adalah krisis yang tidak sama dengan krisis lainnya. Sekarang begitu banyak ketidakpastian tentang bagaimana hidup dan kehidupan manusia. Kita bergantung kepada epidemologi dari sang virus, efektivitas upaya pencegahan penularan, pengembangan vaksin, yang semuanya tidak mudah untuk diprediksi," sebut Gita Gopinath, Penasihat Ekonomi IMF.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diprediksi sangat dalam, yang cukup membuat sentimen pelaku pasar kembali menjadi kurang bagus. Padahal beberapa hari terakhir ada kabar bagus dari dalam dan luar negeri.

Indonesia juga tidak lepas dari "hantu" resesi, meski IMF memprediksi ekonomi Indonesia masih tumbuh 0,5% di tahun ini.

Kemungkinan terjadinya resesi tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.



"Kalau kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB [produk domestik bruto] bisa negatif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (15/4/2020).

Sebelumnya Sri Mulyani juga memberikan 2 skenario dampak COVID-19 ke perekonomian, yakni berat dan sangat berat. Dalam skenario berat, PDB diprediksi tumbuh 2,3%, sementara skenario sangat pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa minus 0,4%.

"KSSK (Komite Stabilitas Sektor Keuangan) memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun jadi 2,3% dan lebih buruk bisa negatif 0,4%. Sehingga kondisi ini menyebabkan penurunan kegiatan ekonomi dan berpotensi menekan lembaga keuangan karena kredit tidak bisa dibayarkan dan perusahaan alami kesulitan dari revenue," tutur Sri Mulyani yang juga Ketua KSSK, Rabu (1/4/2020).

[Gambas:Video CNBC]



Meski perekonomian global termasuk Indonesia merosot tajam di tahun ini, tetapi ketika pandemi COVID-19 berhasil ditanggulangi perekonomian akan segera bangkit.

China sudah memberikan gambaran mampu segera bangkit ketika pandemi COVID-19 bisa semakin ditekan, hingga dihentikan penyebarannya.

China sudah sukses meredam penyebaran virus corona, meski kini sedang menghadapi penyebaran dari kasus "impor" atau mudiknya orang-orang China yang tinggal di luar negeri, tetapi jumlahnya tidak signifikan dibandingkan penyebaran lokal yang terjadi sejak awal tahun. Akfivitas ekonomi Negeri Tiongkok pun berangsur-angsur pulih kembali.

Akhir Maret lalu, Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China di bulan Maret dilaporkan sebesar 52, melesat dibandingkan bulan Februari 35,7.
Indeks PMI di atas 50 berarti sektor manufaktur sudah kembali berekspansi di bulan ini. Sementara di bawah 50 berarti kontraksi.



Kemudian, data neraca perdagangan Negeri Tiongkok yang dirilis Selasa kemarin memberikan gambaran yang sama. Memang ekspor dan impor Negeri Tiongkok menunjukkan penurunan, tetapi tidak seburuk prediksi.

Ekspor China denominasi dolar AS pada bulan Maret turun 6,6% year-on-year (YoY) jauh lebih baik dibandingkan prediksi Reuters yakni penurunan sebesar 14% YoY. Sementara impor pada periode yang sama turun 0,9% YoY, lebih bagus daripada prediksi penurunan 9,5% YoY.

Akibatnya neraca dagang China mengalami surplus US$ 19,9 miliar, lebih tinggi ketimbang prediksi US$ 18,55 miliar.

Rilis data yang lebih baik dari prediksi menunjukkan roda perekonomian China mulai berputar kembali pasca dihantam pandemi virus corona (COVID-19).

IMF dalam laporan terbarunya juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melesat di tahun 2021. Pertumbuhan ekonomi global diprediksi akan tumbuh 5,8% sementara perekonomian Indonesia sendiri diramal akan tumbuh 8,2% tahun depan.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular