Resesi Global Mengerikan, IHSG Ambles 3% Lebih di Sesi I

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 April 2020 12:05
Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah di perdagangan sesi I Kamis (16/4/2020) akibat memburuknya sentimen pelaku pasar setelah rilis proyeksi perekonomian terbaru dari Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF).

Begitu perdagangan hari ini dibuka IHSG langsung masuk ke zona merah. Aksi jual terus terjadi sepanjang sesi I, bursa kebanggaan Tanah Air ini terus merosot hingga mengakhiri sesi I di 4.480,862 ambles 3,14%. Level tersebut sekaligus menjadi terendah intraday.

Berdasarkan data RTI, nilai transaksi sepanjang sesi I sebesar Rp 3,39 triliun, dengan investor asing melakukan aksi jual bersih Rp 576,44 miliar.

Dalam laporan terbaru yang diberi judul The Great Lockdown, IMF memperkirakan ekonomi global akan mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif (-3%) pada tahun ini. Anjlok 6,3 poin persentase dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Januari.

Lembaga yang berkantor pusat di Washington tersebut juga menyatakan krisis yang terjadi kali ini jauh lebih parah dibandingkan dengan krisis finansial global tahun 2008.



"Ini adalah krisis yang tidak sama dengan krisis lainnya. Sekarang begitu banyak ketidakpastian tentang bagaimana hidup dan kehidupan manusia. Kita bergantung kepada epidemologi dari sang virus, efektivitas upaya pencegahan penularan, pengembangan vaksin, yang semuanya tidak mudah untuk diprediksi," sebut Gita Gopinath, Penasihat Ekonomi IMF.

Indonesia juga tidak lepas dari "hantu" resesi, meski IMF memprediksi ekonomi Indonesia masih tumbuh 0,5% di tahun ini.
Kemungkinan terjadinya resesi tersebut diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Kalau kondisi berat panjang, kemungkinan akan terjadi resesi di mana dua kuartal berturut-turut PDB [produk domestik bruto] bisa negatif," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers usai sidang kabinet paripurna, Rabu (15/4/2020).

Kontraksi pertumbuhan ekonomi global di tahun ini diprediksi sangat dalam, yang cukup membuat sentimen pelaku pasar kembali menjadi kurang bagus. Padahal beberapa hari terakhir ada kabar bagus dari dalam dan luar negeri.

Dari dalam Negeri, Bank Indonesia (BI) Selasa sore mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). Gubernur BI, Perry Warjiyo, melalui video conference mengumumkan suku bunga (7 Day Reverse Repo rate) tetap sebesar 4,5%, lending facility menjadi 5,25% dan deposit facility 3,75%.

Tetapi Perry menegaskan untuk mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19, Bank Indonesia akan meningkatkan pelonggaran moneter melalui instrumen kuantitas (quantitative easing).

"Untuk dukung upaya pemulihan ekonomi nasional, BI melakukan pelonggaran moneter," kata Perry, Selasa (14/4/2020).

"BI menurunkan GWM rupiah sebesar 200 bps untuk bank umum konvensional dan 50 bps untuk bank umum syariah. Berlaku 1 Mei 2020," imbuh Perry.

Perry mengatakan, dengan penurunan GWM tersebut maka akan tersedia likuiditas tambahan hingga Rp 102 triliun.

Selain itu BI juga melakukan ekspansi operasi moneter melalui penyediaan term-repo kepada bank-bank dan korporasi dengan transaksi underlying SUN/SBSN dengan tenor sampai dengan 1 (satu) tahun.

BI juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap Bank Umum Konvensional maupun Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah untuk periode 1 (satu) tahun, mulai berlaku 1 Mei 2020.



Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) pada Rabu (16/4/2020) melaporkan nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 14,09%. Turun tipis -0,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski terkontraksi (tumbuh negatif), tetapi lebih landai dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu -6,5%.

Sementara nilai impor tercatat US$ 13,35 miliar, turun -0,75% dibandingkan periode yang sama pada 2019. Juga lebih landai ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan di angka -8,24%.

Ini membuat neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 740 juta. Lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar yang sebesar US$ 544 juta.
Kabar baiknya lainnya, data BPS menunjukkan ekspor China ke Indonesia pada Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar dibandingkan Februari 2020. Pada Februari impor dari China tercatat US$ 1,98 miliar dan meningkat di Maret menjadi US$ 2,98 miliar.

Dengan total nilai impor Maret tersebut, maka ada kenaikan impor sebesar 50,43% dibandingkan bulan sebelumnya.

"Peningkatan terbesar berasal dari Tiongkok. Recovery di sana cepat, sehingga impor dari Tiongkok Maret 2020 meningkat US$ 1 miliar," jelas Kepala BPS Suhariyanto, Rabu (15/4/2020).

Bangkitnya perekonomian China tentunya memberikan bukti setelah pandemi penyakit virus corona (COVID-19) perekonomian global bisa segera keluar dari resesi.

Dari eksternal, penyebaran pandemi COVID-19 menunjukkan pelambatan secara global. Bahkan beberapa negara Eropa sudah mulai melonggarkan kebijakan lockdown. CNBC International melaporkan Italia dan Spanyol, mulai mencabut beberapa larangan pembatasan aktivitas warganya setelah jumlah kasus baru serta korban meninggal akibat COVID-19 terus menurun.

Spanyol sudah mengizinkan beberapa aktivitas konstruksi bekerja kembali, begitu juga dengan pabrik-pabrik sudah mulai beroperasi sejak hari Senin. Sementara itu Italia mulai mengizinkan beberapa usaha untuk kembali beraktivitas Sejak Selasa lalu.


[Gambas:Video CNBC]





TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Asing Cabut Rp 1 Triliun Lebih, IHSG Ambles 3,14%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular